Pada era Soekarno tepatnya tahun 1960-1965 Indonesia berada pada titik dengan kualitas partisipasi politik masyarakat yang tinggi, bahkan Indonesia menjadi mercusuar perjuangan rakyat-rakyat di seluruh dunia dalam melawan imperialisme. Kondisi ini ada karena tingginya partisipasi rakyat dalam politik (organisasi, membaca, diskusi, rapat akbar, aksi massa, dan terlibat dalam partai politik).
Pada tahun 1965, terjadi malapetaka Gerakan 30 September (G30S). Saat itu 7 jendral dan 2 perwira terbunuh dan dibuang ke sumur lubang buaya (pelakunya beberapa Batalyon dari Kodam Diponegoro, Cakrabirawa dan sedikit pasukan AU, yang dipimpin oleh Kolonel Untung). PKI dituduh oleh Suharto menjadi pelaku utama dalam malapetaka tersebut. Imbasnya terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh tentara dan milisi sipil reaksioner terhadap rakyat Indonesia yang menjadi anggota PKI dan organisasi yang mendukung pemerintahan Sukarno. Sarwo Edhie Wibowo yang saat itu mengomandoi pengerahan pasukan baret merah Kostrad mengakui bahwa dalam peristiwa ini telah terbunuh sebanyak tiga juta manusia dan memenjarakan ratusan ribu rakyat. Keberhasilan melakukan pembantaian terhadap pendukung Sukarno membuka jalan bagi Suharto untuk berkuasa membangun Orde Baru, yang berimplikasi pada dihancurkannya budaya dan partisipasi rakyat.
Adanya tekanan terhadap ruang-ruang demokrasi khususnya yang menyangkut malapetaka ‘65 masih sangat kuat. Alur sejarah yang direka oleh orde baru demikian kuat melekat dalam benak rakyat Indonesia. Doktrinisasi soal anti komunis begitu massif dipropagandakan semata-mata untuk menjaga tatanan oligarki ekonomi dan politik orde baru.
Reformasi yang dicita-citakan agar mampu memberikan antitesis baru terhadap pembingkaian sejarah orde baru nampaknya tak cukup bergerak. Cita-cita itu terkaburkan oleh berkuasanya kembali elit borjuis dalam ruang politik serta berbagai kepentingan politik semu segelintir aktivis ’98 yang telah menjadi reformis gadungan. Disisi lain kekuatan neo orde baru mulai dibangun kembali dalam ruang-ruang sipil. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis kanan yang diamini oleh kepolisian dan jajaran birokrasi kampus adalah contohnya. Kelompok semacam ini biasanya memakai isu agama sebagai alat pembenaran. Gerakan kelompok fundamentalis kanan seperti Forum Umat Islam (FUI) Front Pembela Islam (FPI) Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) Majelis Mujahidin Indonesia ( MMI), hari ini terbukti massif melakukan gerakan anti demokrasi, contohnya pembubaran kegiatan diskusi.
Gerakan kelompok itu sudah beberapa kali melakukan aksi-aksinya dalam skala nasional, khususnya di Yogyakarta. Dalam kurun 2 tahun terakhir saja kelompok seperti Front Umat Islam (FUI) pernah melakukan penyerangan, pengeroyokan hingga pemberangusan terhadap kelompok-kelompok masyarakat sipil (LSM, organisasi, aliran keyakinan, mahasiswa dan media). Contohnya: Penyerangan kegiatan diskusi LKIS 2012, Pembubaran Rosario Pada 2014, penyerangan gereja di Melati tahun 2014, penyerangan terhadap komunitas waria yang mengadakan peringatan Hari Waria Internasional di Jogja tahun 2014 Dan yang terbaru kelompok tersebut melakukan pembubaran pemutaran Film dokumenter sejarah 65, yakni film Senyap.
Rentetan aksi pembubaran pemutaran film Senyap di Yogyakarta terjadi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jogja, kampus UGM, ISI, Sanata Dharma, serta terakhir hampir membubarkan di kampus UIN Suka, namun berhasil dilawan oleh persatuan aksi pemuda dan mahasiswa. Motif aksi ini sama, yakni adanya anggapan bahwa film Senyap merupakan propaganda penyebaran paham komunis. Padahal film ini merupakan tawaran narasi sejarah baru terkait malapetaka ’65.
Sementara para akademisi di dalam kampus mengamini tindakan kelompok fundamentalis kanan yang menghancurkan kebebasan akademik, tak hanya mengamini saja, bahkan di beberapa kampus rektor yang menjadi pemimpin seperti raja di dalam kampus juga ikut terlibat langsung menghancurkan kebebasan akademik. Selayaknya kerajaan di dalam negara, kampus juga mempunyai prajurit yang setia terhadapnya, seperti Satpam. Kekuatan prajurit seperti ini pernah ditunjukkan dengan bangga oleh Rektor UMY saat menggunakan Satpam sebagai barisan terdepan untuk menggebuki mahasiswanya yang sedang melakukan demonstrasi pada tahun 2011. Rektor sebagai “Raja”, yang mempunyai kekuasaan begitu besar tanpa tandingan di dalam kampus bisa setiap saat bersikap sewenang-wenang. Seperti yang beberapa waktu lalu terjadi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dimana seorang “Raja” membredel penerbitan buletin salah satu UKM Jurnalis di dalam kampusnya. Belum hilang dari ingatan kebiadaban Rektor UNY, kini kita kembali tercengang marah melihat sikap Rektor Universitas Brawijaya Malang, Muhammad Bisri yang melarang pemutaran film Senyap di kampusnya. . Dan yang terakhir kita harus kembali marah melihat sikap rektor UIN yang melakukan pelarangan terhadap mahasiswanya, yang ingin menyelenggarakan pemutaran film Senyap sebagai upaya untuk mengetahui sejarah yang berbeda dari versinya orde baru. Ini adalah bukti-bukti nyata kalau mereka yang biasa disebut para akademisi, tidak bertanggung jawab terhadap ilmu pengetahuan.
Selama berdirinya Orde Baru, kampus bukan lagi menjadi tempat dimana ilmu pengetahuan bebas diperdebatkan. Kebebasan-kebebasan kecil memang didapatkan oleh mahasiswa namun dalam batas: asal tidak merugikan kampus. Sementara para dosennya dibuat seperti mayat tanpa hati nurani, selalu memoderasi mahasiswa dengan kesadaran palsu: bahwa mahasiswa harus menjadi orang sukses di tengah pemuda-pemuda tidak bekerja. Mahasiswa harus menyelesaikan kuliah secepat mungkin tanpa harus memikirkan lingkungan sosialnya. Seluruh ungkapan yang dikeluarkan para dosen seperti sudah diatur sebelumnya di dalam bilik perpustakaan, yang tentunya harus tunduk pada “raja”. “raja” tunduk pada Presiden. Presiden tunduk pada kekuatan modal.
Sementara para polisi yang seharusnya menjamin keamanan rakyat saat berkumpul dan berdiskusi tidak berbuat apapun untuk menghadang kelompok anti dmokrasi, justru sebaliknya meminta para panita pemutaran film Senyap untuk membubarkan acaranya dengan alasan “keamanan”. Bagaimana kita bisa percaya dengan pihak kepolisian, sedari awal kita mengetahui bahwa polisi adalah alat Negara yang kerap melakukan tindakan represif terhadap demonstrasi yang dilakukan rakyat, sebut saja aksi front mahasiswa yang memperingati Hari Pendidikan Nasional di Maliaboro tahun 2014 direpresif oleh pihak kepolisian, padahal saat itu para mahasiswa dari berbagai kampus yang berdemontrasi menyelenggarakan aksi damai.
Realita di atas menjadi dasar terbentuknya sebuah Front perjuangan. Front ini bertujuan untuk menggalang persatuan dari kelompok pro demokrasi untuk melawan aksi-aksi anti demokrasi. Salah satunya dilakukan oleh ormas fundamentalis agama seperti FUI dkk, birokrasi kampus serta aparat kepolisian.
Perjuangan ini akan terus berlanjut, sebab bagi kami demokrasi begitu penting untuk terus diperjuangkan, demokrasi bagi kami adalah kebebasan berdiskusi, berorganisasi, berideologi, berekspresi, berkeyakinan, orientasi seksual, dan dilibatkannya rakyat dalam menentukan kebijakan Negara. Perjuangan kami tidak hanya sebatas menuntaskan demokrasi namun disamping itu kami juga memperjuangkan penyelesaian kasus-kasus kejahatan Hak Asasi Manusia di masa lalu, seperti malapetaka 65, Kedung Ombo, Penculikan Aktivis 98, Penembakan Mahasiswa Trisakti, Tanjung Priok, Peristiwa kejahatan HAM di Papua, Aceh dll.
Berangkat dari kebutuhan menyatukan kekuatan untuk menghadapi serangan dari kelompok-kelompok anti demokrasi (ormas/kelompok milisi sipil fundamentalis/reaksioner) terhadap demokrasi, beberapa organisasi menginisiasi pembantukan Front Perjuangan Demokrasi (FPD). Pada tahapan awalnya pembentukan FPD ini difungsikan untuk mengawal pelaksanaan pemutaran & diskusi film “Senyap” di UIN SUKA yang diselangarakan oleh Kawan-kawan LPM Rethor. Untuk tahapan-tahapan kedepannya FPD akan terus melakukan perjuangan untuk tegaknya demokrasi. Menginggat dalam perkembangan kekinian ada gerakan-gerakan anti demokrasi yang terus menggerogoti ruang demokrasi yang ada, juga Negara melalui aparatusnya (polisi) sudah sangat jelas terlihat tidak mampu menjaga tegaknya demokrasi.
Dalam sejarahnya, perjuangan menegakkan demokrasi ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok anti demokrasi tidak bisa diselesaikan dengan hanya berdebat/berdialog menjelaskan apa itu demokrasi dan mengharapkan kehadiran Negara untuk mengamankan demokrasi juga tidak akan membuahkan hasil apa-apa, sehingga metode perjuangan yang dapat dilakukan adalah dengan menghadapi atau melakukan perlawanan langsung kepada kelompok-kelompok anti demokrasi. Kelompok-kelompok anti demokrasi dalam praktek gerakannya selalu menggunakan kekerasan yang terkoordinir, sehingga pengorganisiran individu-individu maju yang memiliki keberanian dan komitmen perjuangan untuk demokrasi kedalam suatu wadah merupakan kebutuhan. Namun perlu digaris bawahi bahwa ini bukanlah bentuk praktek yang sama dengan apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok anti demokrasi, karena dalam pengorganisiran individu kedalam wadah perjuangan berangkat dari perspektif & tujuan yang jelas yaitu memperjuangkan demokrasi.
Perjuangan demokrasi FPD terbukti berhasil dalam praktek. Hal ini terbukti dengan tetap dapat berjalannya pemutaran & diskusi film “Senyap” dan terpukul mundurnya kelompok-kelompok anti demokrasi yang berniat membubarkan agenda ini. Keberhasilan perjuangan ini dengan jelas memperlihatkan kepada kita, bahwa menghadapi & melakukan perlawanan langsung merupakan metode yang tepat untuk memperjuangkan demokrasi. Disisi lain keberhasilan ini mendapatkan apresiasi yang begitu besar dari publik, hal ini menunjukkan bahwa dukungan dan keinginan publik untuk memperjuangkan demokrasi sebenarnya sangat besar adanya walaupun selama ini tidak terlihat, belum adanya kepeloporan adalah poin yang dapat kita ambil dari kondisi ini.
Dalam agenda-agenda perjuangan demokrasi, adanya persatuan dan wadah perjuangan terorganisir yang memiliki perspektif perjuangan yang jelas menjadi titik kemajuan perjuangan demokrasi. Dengan adanya individu-individu yang sudah terorganisir kedalam satu wadah perjuangan maka telah ada alat untuk mengamankan tegaknya demokrasi dari ancaman kelompok-kelompok anti demokrasi dan juga dapat mempelopori rakyat untuk memperjuangkan demokrasi.
Adanya persatuan dan keberanian dari rakyat untuk memperjuangkan demokrasi akan semakin mendekatkan kita pada kemenangan-kemenangan perjuangan demokrasi yang lain. Oleh karena itu kami menyerukan kepada berbagai kelompok pro demokrasi untuk terlibat dalam konsolidasi demokratik dan meluaskan persatuan perjuangan demokrasi.
Pada prinsipnya, perjuangan front ini tak terbatas pada perjuangan menentang pembubaran nonton dan diskusi film senyap. Akan tetapi juga menyadari sepenuhnya bahwa gerakan-gerakan perjuangan demokrasi masih ditentang oleh fundamentalis kanan, milisi sipil reaksioner, birokrasi kampus, hingga aparat kepolisian. Sehingga, memperjuangkan kebebasan akademik, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berkumpul, kebebasan berdiskusi, berorganisasi, berideologi, berekspresi, berkeyakinan, orientasi seksual menjadi agenda utama front ini
Dalam perjuangannya, front ini juga membentuk barisan rakyat secara independent yang berfungsi untuk menjadi pelopor pertahanan secara independen dalam melawan aksi kontra demokrasi diatas. Bukti bahwa komitmen mempertahankan demokrasi di lapisan masyarakat benar-benar ada, saat front ini dengan lantang dan berani menyelenggarakan pemutaran film Senyap secara massal di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam aksi itu, front berhasil menggagalkan upaya kelompok fundamentalis kanan yang mencoba merencanakan pembubaran dan penyerangan terhadap forum diskusi film Senyap tersebut.
Barisan rakyat dibentuk sebab melihat ketidakmampuan aparat, birokrasi dan lembaga pemerintah dalam menjaga kebebasan demokrasi. Sehingga, kawan-kawan organisasi yang terlibat dalam front dengan segala pertimbangan dan konsekuensi membentuk barisan rakyat tersebut dengan semangat solidaritas dan persatuan perjuangan. Barisan rakyat sebenarnya tak hanya berfungsi untuk mengamankan front, akan tetapi sebagai unit pertahanan bagi aksi gerakan-gerakan prodemokrasi.
Mereka yang mengancam agenda demokrasi
Ancaman terhadap kedaulatan demokrasi tak hanya datang dari kelompok seperti FUI. Pembiaran oleh pihak kampus terhadap aksi pembubaran merupakan bukti nyata, bahwa birokrasi kampus tak mampu untuk diandalkan dalam mempertahankan kebebasan akademis di lingkungan kampus. Seperti yang terjadi di kampus UIN. Rektor dan jajarannya telah nyata ikut berkontribusi dalam pelarangan kegiatan pemutaran film Senyap.
Alasan pelarangan oleh kampus diantaranya karena film Senyap dilarang oleh pemerintah dan kampus wajib melakukan pelarangan juga. Mereka lupa, kampus adalah ruang keilmuan yang harusnya semua kajian-kajian wacana itu masuk dan dilindungi secara akademis. Karena mahasiswa sebagai masyarakat intelektual wajib mempelajari untuk memperkaya khazanah keilmuan mereka.
Aparat kepolisian yang memang selalu dipertanyakan kredibilitas serta perannya makin diperkuat dengan aksi yang mengancam pelemahan demokrasi dengan mendukung pembubaran yang dilakukan oleh kelompok radikal. Tindakan mereka terbukti dalam beberapa kasus seperti di ISI, UGM, Sanata Dharma, pun termasuk di UIN yang polisi sempat melakukan penekanan untuk membatalkan diskusi film.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya seluruh masyarakat bergerak bersama untuk menegakkan kedaulatan demokrasi dan melawan para pengancamnya. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan menggalang pesatuan antar gerakan mahasiswa, pemuda, LSM seperti yang dilakukan oleh kawan-kawan Front Perjuangan Demokrasi. Kita melihat dengan terang berbagai acara rakyat dibubarkan mau itu yang diselenggarakan oleh para akademisi di kampus, kelompok minoritas, dll, pembubaran masih terus dilakukan oleh pihak milisi sipil reaksioner maupun pihak kemanan Negara. Berlandaskan itu kepeloporan tidak hanya sebatas menggalang persatuan namun jauh lebih penting adalah kepeloporan harus memperlihatkan keberanian kaum muda untuk menghadang segala macam bentuk penyempitan ruang demokrasi, dengan berbagai cara (membangun unit pertahanan diri) yang tidak melanggar prinsip demokrasi. Kepeloporan kaum muda ini juga dapat menjadi contoh bagi kelompok-kelompok lain yang aktifitasnya selalu dibredel oleh milisi sipil reaksioner, untuk tetap bertahan mempertahankan haknya sebagai rakyat Indonesia, yang sudah diatur di dalam dasar Negara tentang kebebasan berbicara, berdiskusi, beorganisasi dan berideologi. Salam juang, terus berkobar.
Oleh karena itu kami dari front Perjuangan Demokrasi menuntut dan mengecam pihak-pihak yang mencoba mengancam terhadap kebebasan berdemokrasi rakyat Indonesia.
- Mengecam aksi intoleransi ormas islam fundamentalis dan radikal berupa, a).Pengeroyokan peserta diskusi dan bedah buku Allah Liberty and Love karya Irsyad Manji. serta perusakan kantor LKIS Yogyakarta oleh Majelis Mujahidin Indonesia pada tahun 2012. Mengusut dan menindak tegas pelakunya melalui jalur hukum. b).Pembubaran forum diskusi dan pemutaran film senyap oleh Forum Umat Islam dibeberapa lokasi, seperti ISI, Sintesa UGM, LPM Natas Universitas Sanata Dharma dan masih banyak kasus penyerangan dan intimidasi lainnya.
- Mengecam tindakan birokrasi kampus, khususnya Rektor, yang membiarkan aksi ormas dan oknum yang mencoba memberangus kebebasan berdemokrasi berupa diskusi, serta kajian-kajian mahasiswa dalam kampus.
- Mengecam aparat kepolisian yang melindungi, membiarkan dan tunduk terhadap massa milisi sipil reaksioner dan kelompok fundamentalis kanan dalam melakukan aksi pemberangusan ruang-ruang demokrasi.
- Mengecam aparat kepolisian yang ingin melakukan penangkapan terhadap panitia penyelenggara pemutaran film Senyap di UIN.
Menyerukan:
- Menyerukan seluruh kekuatan pro demokrasi di Yogyakarta untuk terlibat dalam konsolidasi demokratik.
- Seluruh rakyat, khususnya pemuda dan mahasiswa untuk mengawal proses demokrasi dan melawan segala bentuk gerakan yang mencoba memberangus hak-hak dan kebebasan demokratik dan terlibat di dalam persatuan demokratik.
Salam Demokrasi
Dibuat dan dirumuskan di Angkring Tongkrong Nusantara, Nologaten Yogyakarta. Selanjutnya dikonferensi perskan di kantor LPM RHETOR, Gedung Student Center Lt. 1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 19 maret 2015.
Mengetahui,
Organsasi-organisasi pro demokrasi yang terlibat dalam front :
- Pers Mahasiswa RHETOR UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Pers Mahasiswa Natas Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
- Pers Mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia
- Pers Mahasiswa Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Pers Mahasiswa Ekpresi Universitas Negeri Yogyakarta
- Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan
- Pers Mahasiswa Paradigma
- Pers Mahasiswa Humaniush
- Forum Mahasiswa Progresif Revolusioner (FMPR)
- Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI)
- Front Mahasiswa Nasional (FMN)
- Sosial Movement Institute (SMI)
- Partai Pembebasan Rakyat (PPR)
- Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP)
- Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Yogyakarta
- Pusat Perjuaangan Mahasiswa Untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN)
- Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat UIN Suka Yogyakarta
- Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) UIN Suka
- Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat UIN Suka
- PLU Satu Hati
- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
- Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SEBUMI)
Comment here