Pada bulan Juni lalu sekelompok orang yang bernama ISIS (Negara Isram Irak dan Syria) merebut Mosul, kota terbesar kedua di Irak. Pasca itu mereka mendeklarasikan berdirinya sebagai ‘Khilafah’ di daerah-daerah yang mereka kuasai. Berita tentang perang yang mereka lancarkan di Timur Tengah pun bermunculan. Perang yang mereka lancarkan telah menggambarkan kebrutalan manusia serta politik fundamentalisme dan sektarianisme yang berbasis agama. Ribuan orang dieksekusi, terutama mereka yang berasal dari suku, agama ataupun perspektif politik yang berbeda dengan ISIS, yang kemudian diikuti dengan penerapan hukum Islam versi ISIS. Rejim Maliki di Irak tidak berdaya menghadapi gempuran ISIS.
Kebangkitan ISIS bukanlah sekedar karena ada sekelompok orang biadab yang menafsirkan Islam secara tekstual sesuai versi mereka sendiri. Kemunculannya terkait erat dengan kebijakan Imperialis AS dan Uni Eropa di Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir ini.
‘Perang melawan teror’, menghancurkan senjata pemusnah massal, intervensi kemanusiaan, membawa demokrasi atau seperti janji Obama “untuk menata ulang Timur Tengah menjadi daerah yang makmur dan bebas” hanyalah selubung untuk kepentingan Imperialis AS. Kepentingan mereka sebenarnya adalah untuk menghancurkan rejim serta negara (kekuatan militer, polisi dan birokrasi) yang memiliki kebijakan nasionalis independen, menentang atau mengancam rejim-rejim monarkis boneka di Teluk serta yang menentang penjajahan Israel atas Palestina. Termasuk juga menghancurkan rejim-rejim yang mendukung gerakan anti imperialis, sekuler atau islam-nasionalis di berbagai belahan dunia [Sumber : The James Petras Website].
Setelah kekalahan memalukan dari kekuatan rakyat Vietnam saat Perang Vietnam, Imperialis AS sempat membatasi penggunaan militernya untuk melakukan intervensi. Namun invasi ke Irak pada tahun 1991 kembali menunjukan bahwa Imperialis AS sanggup menggunakan kekuatan militernya dalam skala besar untuk melancarkan invasi. Penggunaan kekuatan militer tersebut semakin membesar paska 11 September 2001. Timur Tengah semakin lama semakin penuh dengan intervensi, invasi dan perang yang dilancarkan oleh kekuatan Imperialis AS dan Uni Eropa.
Kini, jutaan rakyat Palestina hidup tidak jauh berbeda seperti di dalam penjara. Dengan tembok apartheid, pos pemeriksaan, kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, penggusuran dan kekurangan kebutuhan hidup dasar. Ribuan hingga puluhan ribu aktivis pro-demokrasi ditahan di penjara-penjara rejim Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Turki serta Irak yang mendukung Imperialis AS. Bahkan Bahrain, sebuah negara kecil, memiliki perbandingan jumlah tahanan politik paling banyak di dunia, yaitu 4 ribu tahan politik dibandingkan dengan 750 ribu penduduknya. Sementara itu Libya paska intervensi dari Imperialis AS dan Uni Eropa yang berhasil menggulingkan Qadafi mengalami konflik sektarian dimana-mana. Timur Tengah yang terkenal kaya dengan sumber daya alamnya, terkhusus sekali minyak bumi, ternyata tidak mampu memberikan kesejahtearan bagi rakyatnya.
Dibanyak Negara Timur Tengah, mayoritas kaum muda adalah pengangguran. Sementara kekayaan digunakan untuk pembangunan kemewahan infrastruktur (mall-mall terbesar didunia, hotel-hotel termegah, gedung-gedung pencakar langit), penguatan persenjataan dan militer dari Imperialis AS serta hura-hura para raja, kaum bangsawan, keluarga dan sanak-saudara serta pemuka agama. Pendeknya: kekacauan serta kemiskinan dimana-mana. Kekejaman, perang, kemiskinan, putus asa, penindasan serta ketiadaan alternatif diluar diktator kejam menjadi landasan bagi berkembangnya dukungan terhadap kelompok fundamentalis (kanan) yang hari ini ada.
Hampir satu dekade setelah invasi Irak oleh George W Bush, tidak ada senjata pemusnah massal, demokrasi ataupun kemakmuran yang ditemukan. Sekitar 1,5 juta orang menjadi korban dari invasi Imperialis AS dan kebanyakan darinya adalah rakyat sipil. Dibawah kepemimpinan Maliki, Negara Irak telah mengambil-alih semua pusat penyiksaan (termasuk Abu Graib), teknik serta penjara penyiksaan yang sebelumnya dijalankan oleh Imperialis AS. Dia mengandalkan Brigade 56, pasukan khusus yang terkenal kejam untuk menghabisi semua oposisi. Irak telah menjadi medan konflik sektarian antara Suni dan Syiah akibat kebijakan adu domba Imperialis AS dan bonekanya Maliki. Sementara mayoritas rakyatnya hidup dibawah garis kemiskinan dan para elit politik kaya dari korupsi yang merajalela.
Namun ada sisi lain dari Imperialisme AS dalam konteks ini. Yaitu untuk mencapai kepentingannya, Imperialis AS telah melahirkan, menggunakan dan mendukung kelompok-kelompok fundamentalis kanan hingga kelompok teroris. Di Yugoslavia, Imperialis AS dan Uni Eropa mendanai kelompok fundamentalis muslim di Bosnia, mengimport mujahidin yang akan membentuk bagian dari Al Qaida, dan kemudian mendukung Kosovo Liberation Army, sebuah organisasi teroris yang terkenal. Seperti juga koalisi antara Jimmy Carter, CIA bersama para bangsawan Arab Saudi dalam menyediakan jutaan dollar dalam bentuk senjata dan peralatan militer untuk kelompok fundamentalis muslim afganistan yang dipimpin oleh Osama Bin Laden untuk menggulingkan rejim nasionalis sekuler modern yang didukung oleh Uni Soviet.
Koalisi yang sama, antara Imperialisme AS dan kelompok fundamentalis kanan, sekarang juga bisa kita lihat dalam serangan ke Libia dan Syria. ISIS sendiri, sebelum berkembang seperti sekarang, merupakan bagian dari kelompok Al Qaeda yang berupaya menggulingkan Presiden Syria, Assad. Kelompok-kelompok teroris fundamentalis kanan tersebut menyediakan pasukan darat sementara NATO dan Israel menyediakan bomber di udara, senjata, sanksi dan embargo serta propaganda.
Sebagai catatan, jika melihat kepentingan dari Imperialisme AS dan Uni Eropa, maka setelah Irak dan Libia (dibawah Qadafi) berhasil dihancurkan, halangan untuk kepentingan mereka hari ini adalah Syria, Iran dan Lebanon (yaitu Hizbullah). Penguasaan atau pelemahan tiga Negara atau kelompok tersebut juga akan berarti penguatan kepentingan Imperialisme AS dan Uni Eropa dalam konflik dengan Rusia terkait Ukrainia.
Paska deklarasi ISIS di Timur Tengah, muncul dukungan termasuk juga dari beberapa kelompok di Indonesia. DI Jakarta, Bekasi, Solo, Bima dan Malang muncul dukungan dalam berbagai bentuk untuk ISIS [Sumber : BBC Indonesia]. Dibeberapa tempat seperti di kota Malang, rencana deklarasi ISIS mendapatkan penolakan berkali-kali. Sementara itu rejim SBY-Boediono meresponnya dengan pelarangan, memperkuat intelijen dan penangkapan. Hingga menjadi phobia yang konyol seperti menghapus segala sesuatu yang mirip dengan kata “ISIS” [Sumber : Okezone].
Para elit politik kita memang munafik. Jauh sebelum ada dukungan ISIS di Indonesia, kelompok-kelompok fundamentalis kanan sudah berkembang di Indonesia. Melakukan kebiadaban dengan caranya sendiri yang tidak kalah kejamnya dari elit politik itu sendiri. Mereka mendapatkan dukungan dari para elit-elit politik serta para jenderal ataupun perlindungan dari tindakan hukum yang tegas dan berat atas kejahatan yang dilakukan. Disisi yang lain kelompok-kelompok fundamentalis-kanan tersebut juga menjadi alat untuk melakukan pekerjaan “kotor” para elit politik dan jenderal-jenderal.
Militer Indonesia sudah terbiasa menggunakan kelompok-kelompok sipil sebagai alat mereka untuk menyerang kelompok lain. Untuk menjatuhkan Bung Karno mereka memanfaatkan mahasiswa di perkotaan dan milisi-milisi sipil di pedesaan. Menggunakannya untuk melancarkan demonstrasi dan pembantaian terhadap pendukung Bung Karno, terutama mereka yang berhubungan dengan PKI.
Demikian pula saat penggulingan Soeharto, militer (Panglima ABRI: Jenderal Wiranto pada saat itu) memoblisasi puluhan ribu preman serta milisi-milisi fundamentalis kanan untuk menghadang demonstrasi mahasiswa dan rakyat. Tujuan utama mereka adalah untuk mematahkan perlawanan rakyat dan mempertahankan (sebagian) kekuasaan Rejim Militer Soeharto. Untuk membenarkannya maka komunistophobia (baca: stigma ketakutan terhadap komunis) termasuk juga isu-isu SARA digunakan. Sebagai contoh adalah kerusuhan SARA yang terjadi di Maluku paska penggulingan Soeharto [Sumber : Socio Politica]. Ataupun seperti yang dikatakan oleh Gus Dur dalam wawancaranya dengan SBS Dateline Australia, bahwa terdapat keterlibatan intelijen militer dan polisi Indonesia terhadap berbagai peristiwa pemboman yang marak di tahun 2000-an [Sumber : Global Research].
Jika kita mengambil contoh FPI (Front Pembela Islam) maka sudah bukan rahasia lagi, karena sudah dibocorkan oleh Wikileaks, bahwa BIN dan polisi mendanai FPI. FPI berfungsi sebagai anjing penyerang, dan pada saat yang bersamaan membersihkan BIN dan Polisi dari kemungkinan dikaitkan dengan masalah pelanggaran HAM [Sumber : Tribunnews]. Demikian saat gerakan buruh sedang berkembang dalam waktu 2-3 tahun belakangan ini, elit-elit politik, pengusaha dan para jenderal kongkalikong untuk menghancurkannya. Yang mereka gunakan adalah kelompok-kelompok sipil preman untuk menghantam gerakan buruh, khususnya di Bekasi. Hingga beberapa waktu lalu pembentukan Garda Bima Sakti dilancarkan APINDO dengan dukungan militer untuk menghadapi aksi-aksi buruh [Sumber : Tribunnews Batam].
Kelompok-kelompok fundamentalis kanan tersebut semakin berkembang. Mendapatkan dukungan dari segmen-segmen tertentu diantara rakyat. Ini tidak terlepas dari Rejim demi Rejim berkuasa paska 1998 yang tidak mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Dalam kondisi dimana kemiskinan terus menerus berkembang, yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin sementara suara rakyat terus menerus dibungkam, maka itu akan memaksa rakyat untuk mencari jawaban, mencari sumber masalah, mencari solusi. Namun sumber masalahnya terletak pada tatanan kapitalisme itu sendiri serta elit politik dan para jenderal yang sekarang berkuasa, yang tentunya mereka tidak akan menyingkir dengan sukarela. Sehingga rakyat terus menerus menjadi korban dari konflik agama, suku ataupun etnis menjadi korban dari phobia terhadap komunisme.
Beberapa puluh tahun yang lalu Rosa Luxemburg, seorang Marxist Jerman, mengutip Engels mengatakan bahwa “tatanan masyarakat borjuis berada di persimpangan jalan” pilihannya adalah revolusi menuju “sosialisme atau kemunduran pada barbarisme”. Hari ini kita sudah melihat barbarisme tersebut. Jutaan rakyat dibantai, dipenjarakan dan dihancurkan kehidupannya dianggap sebagai sesuatu yang wajar demi mengembalikan kekuasaan Imperialis AS atas ekonomi dan politik [Sumber : Tempo]. Divide et Impera dengan sentimen sektarian suku, agama, ras atau etnis dikobarkan agar para penindas bisa terus menindas. Pemenggalan, mutilasi, pembantaian dilakukan dengan pedang maupun pesawat pembom paling canggih.
Persoalan kemiskinan, penyempitan ruang demokrasi, perang, kekejaman melampaui persoalan agama, melampaui persoalan suku ataupun etnis. Persoalan tersebut timbul karena segelintir orang yang menguasai seluruh kekuasaan ekonomi dan politik dengan menindas mayoritas manusia yang lain. Karena mereka ingin mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Pertentangannya adalah antara segelintir orang tersebut dengan kita, klas buruh dan rakyat. Terlepas dari agama, suku, kebangsaan ataupun ras yang ada pada diri kita.
Kaum revolusioner memiliki tugas untuk membangkitkan kesadaran, membangkitkan ingatan rakyat. Kesadaran akan ada solusi yang lebih baik, ada tatanan masyarakat baru yang bisa kita perjuangkan serta siapa yang bisa memperjuangkannya. Tanpa ingatan tersebut, tanpa kesadaran tersebut maka klas buruh dan rakyat akan terus menerus jatuh pada hegemoni elit politik dan para jenderal.
Solusinya bukanlah menyerahkan kekuasaan ekonomi dan politik ke tangan segelintir orang lain berdasarkan atas apa agama mereka. Solusi dimana terdapat kebebasan beragama, berpendapat, berserikat, berorientasi seksual, serta berideologi. Solusi tatanan masyarakat baru dimana seluruh kekuasaan ekonomi dan politik berada dibawah kontrol klas buruh dan rakyat itu sendiri. Tatanan masyarakat dimana klas buruh dan rakyat yang berkuasa disebut sebagai tatanan masyarakat sosialis.
Demikian juga ingatan bahwa kesejahteraan dan bahkan demokrasi tidak bisa diharapkan muncul dari para elit-elit politik. Mereka telah mengkhianati perjuangan melawan kediktaktoran Rejim Militer Soeharto. Mereka juga telah berkuasa selama 16 tahun yang justru memundurkan hasil dari perjuangan melawan Rejim Militer Soeharto. Demikian pula perlawanan terhadap kapitalisme tidaklah bisa dilakukan dengan mengobarkan teror, termasuk juga teror terhadap kelompok agama, suku atau etnis tertentu yang bukan merupakan sumber penindasan. Sejarah perjuangan rakyat Indonesia telah mengajarkan bahwa hanya kekuatan klas buruh dan rakyat lah yang menjadi landasan pembangunan bangsa ini, memperjuangkan kemerdekaan, menggulingkan kediktaktoran Rejim Militer Soeharto. Dan tentunya hanya kekuatan klas buruh dan rakyat Indonesialah yang dapat memenangkan tatanan masyarakat yang baru.
Oleh : Ignatius Mahendra Kusumawardhana, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO PRP.
Comment here