NICHOLAS VROUSALIS, ROBIN CELIKATES, JOHAN HARTLE, dan ENZO ROSSI 2 Maret 2015.
Belanda, hanya 10 tahun dibelakang Inggris, terlihat bersemangat untuk mengejarnya. Tekanan ganda dari otoritarianisme dari atas dan neoliberalisme dari bawah mendorong kebutuhan untuk mengembangkan alternatif demokratik yang dimajukan oleh gerakan untuk sebuah universitas yang baru.
Sudah dua minggu sejak pendudukan pertama di Bungehuis, salah satu gedung utama dari University of Amsterdam (UvA). Pendudukan yang paling baru terhadap UvA Senate House–Maagdenhuis yang terkenal diduduki pada tahun 1969 – dan luasnya gerakan akar rumput untuk New Univeristy–Universitas Baru membongkar persoalan pendidikan tinggi Belanda. Meningkatnya rasio mahasiswa/ staf, pendanaan yang kurang, bergerak pelan-pelannya mikromanajemen dari penelitian dan pengajaran, serta berkembangnya otoritarianisme dari manajemen universitas semuanya berkonspirasi untuk merubah universitas-universitas menjadi versi birokratik dari Walmart. Tekanan ganda otoritarian dari atas dan neoliberalisme dari bawah membuat perlu untuk mengembangkan alternatif demokratik yang dimajukan oleh gerakan untuk sebuah universitas baru.
Sejarah universitas Belanda sejak tahun 1990an adalah sejarah pasar yang diinspirasi–atau pasar yang meniru–otoritarianisme. Pada akhir tahun 1970an kebanyakan universitas Belanda berkomitmen pada keterbukaan, demokrasi dan keadilan untuk seluruh civitasnya. Konstituensi utama dari universitas selalu terdiri dari mahasiswa, dosen dan staf. Gerak menurun pada lubang kelinci otoritarian dimulai dengan serangkaian komitmen struktural dan ideologi yang disebabkan oleh tekanan pemerintah terus menerus pada pertengahan tahun 1990an.
Sekitar waktu itu, birokrasi universitas dan manajemen tingkat atas secara perlahan menggantikan demokrasi universitas dengan diri mereka sendiri menggunakan kedok “perwakilan tidak langsung”. Pada saat yang sama, mahasiswa diam-diam dirubah menjadi konsumen–dengan beberapa kebutuhan dipenuhi oleh birokrasi tanpa ada penguatan politik yang terkait dengannya–melalui proses ganda persaingan antara universitas dan penyebarluasan pengenalan standart tetap (benchmark) yang diinspirasi pasar.
Ini yang oleh Stefan Collini, salah satu kritikus Inggris yang paling berpengaruh terhadap privatisasi pendidikan tinggi, sebut sebagai “pernak-pernik simulasi pasar”. Hasilnya adalah kesamaan birokratik dari sebuah pabrik saos: produksi pengetahuan-saos dengan biaya minimum untuk sebanyak-banyaknya jumlah konsumen. Proses dimana seseorang belajar mengetahui menjadi tidak penting dan sekunder: cara (gelar) dan tujuan (kebebasan mengejar pengetahuan) sepenuhnya terbalik. Memang adalah manajer universitas dalam menara gading mereka, yang dengan membingungkan mengklaim bahwa ini membuat “produk” universitas tidak terpengaruh.
Untuk semua alasan itu, universitas-universitas Belanda sekarang mendapati dirinya sendiri di persimpangan jalan. Mereka terpaksa memilih antara lebih banyak privatisasi atau demokrasi. Jalan pertama berujung pada degradasi pendidikan universitas secara umum, dan menyingkirkan fakultas humaniora khususnya. Rute kedua berujung pada universitas publik yang lebih egaliter dan efisien. Mereka yang mempertanyakan ketegasan dari dilema ini harus berpikir lagi, terutama dengan melihat pengalaman Inggris baru-baru ini. Kemiripan struktural sangat mengejutkan: pada tahun 1999 pemerintahan Partai Buruh Tony Blair mengenalkan biaya kuliah di tingkat moderat sebesar 1.000 Poundsterling (sekitar 19 juta rupiah). Dalam waktu sedikit lebih dari satu dekade, biaya kuliah sarjana strata 1 di Inggris telah meledak sembilan kali lipat dari tingkat awalnya (sekitar 158 juta rupiah).
Ini adalah privatisasi dalam semua bidang kecuali nama universitas. Pada saat yang sama, Blair menerapkan struktur yang lebih luas dari mikro-bully didalam universitas, dengan berpura-pura demi tujuan penilaian dan pengawasan kualitas pengajaran dan penelitian. Ini termasuk bibliometri (kutipan jumlah karya yang diterbitkan), standart tetap numerik untuk pengajaran atas dasar evaluasi pengajaran, target numerik untuk jumlah publikasi pertahun, dsb. Belanda hanya sepuluh tahun dibelakang Inggris, namun terlihat bersemangat sekali untuk mengejarnya.
Kebanyakan universitas-universitas Belanda menggunakan beberapa dari standart tetap tersebut untuk menilai dirinya sendiri, sebagaian besar untuk tujuan mendisiplinkan sub-unit seperti departemen dan stafnya, namun juga dalam rangka menentukan pengajaran dan keputusan promosi. Sudah sangat terkenal bahwa model-model penilaian semacam itu cacat: itu adalah kesalahan kategori untuk percaya bahwa kualitas kerja akademik dapat diukur seperti kacang didalam karung. Kualitas kerja akademik dapat dievaluasi. Itulah kenapa terdapat praktek yang diterima secara luas bernama penilaian sejawat, yaitu penilaian langsung kualitas penelitian seseorang.
Namun tidak ada cukup pengindeksan kuantitatif yang dapat menggantikan penilaian sejawat. Tidak ada cukup kutipan–atau bahkan pengajuan hibah yang berhasil sekalipun–yang dapat menggantikan penilaian substansial dari klaim dan argumentasi yang dibuat dalam kerja akademik. Secara terbalik, tidak ada kekurangan kutipan yang dapat merusak prinsip utama teori Darwin mengenai seleksi alam atau filsafat bahasa dari Wittgenstein. Memang jika Darwin dan Wittgenstein menjadi akademisi di Belanda hari ini, mereka kemungkinan besar tidak akan bisa mengajar (Kepala Departemen: “Tuan Wittgenstein, anda hanya menerbitkan satu buku dalam waktu 20 tahun, dikutip hanya oleh celotehan orang di Vienna! Permohonan mengajar ditolak!”)
Gerakan untuk Universitas Baru menentang dorongan gencar untuk merubah universitas-universitas menjadi supermarket, dengan sebuah dewan direksi diatas yang tidak dipilih–dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban–, serta barisan konsumen malang dibagian bawah. Mahasiswa dan dosen yang menyusun gerakan ini menentang ketidakjelasan dan otoritarianisme di puncak universitas-universitas Belanda, hingga hirarki yang tidak dapat dihindari dihasilkan dari dorongan privatisasi serta untuk pemotongan baru-baru ini terhadap fakultas humaniora yang mengancam akan menghancurkan struktur institusional dari penelitian dan pengajaran yang memakan waktu berdekade untuk dibangun. Akan juga sangat sulit, jika memang masih mungkin, untuk menciptakan ulang bahkan sesuatu yang mirip demokrasi dimana reformasi yang diinginkan dapat diusulkan melaluinya.
Semua ini adalah gejala dari struktur dan arah yang diberikan kepada universitas Belanda sejak tahun 1990an. Inilah kenapa tuntutan untuk dewan universitas yang sepenuhnya dipilih dan akuntabel, untuk membalikan pemotongan-pemotongan dalam fakultas humaniora, untuk pembatalan Profiel 2006 – sebuah proposal yang membahayakan pekerjaan lusinan dosen di fakultas humaniora dan penyatuan sejumlah subjek dan mata kuliah dalam cara yang bukan didorong oleh keputusan yang tepat namun oleh sebuah usaha ad-hoc untuk menghemat uang–membentuk inti dari rangkaian tuntutan transisi yang masuk akal untuk sebuah universitas yang demokratis.
Terima kasih kepada mahasiswa dan protes mereka kita sekarang berada dalam gerakan politik dimana persoalan-persoalan tersebut berada pada agenda publik, apa yang terlihat utopis dan tidak mungkin dua minggu lalu telah menjadi sebuah kemungkinan yang nyata.
Sumber : Open Democracy. Diterjemahkan oleh Ignatius Mahendra Kusumawardhana, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.
Comment here