Senyap – The Look of Silence, lanjutan dari film dokumenter JAGAL karya Joshua Oppenheimer yang menceritakan tentang tragedi tahun 1965 dibulan September. Dalam peristiwa tersebut, 3 juta rakyat yang merupakan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh. Bentuk genosida terbesar di abad 20 setelah yang dilakukan oleh Nazi.
PKI yang saat itu merupakan salah satu partai komunis terbesar diluar Uni Soviet dan Cina, memiliki pengaruh baik di Indonesia maupun di dunia, sehingga untuk menghentikan “domino effect” penyebaran paham ideologi Komunisme yang dimulai di Eropa Timur sampai ke Asia, maka Negara-negara kapitalisme mencegah penyebaran ideologi Komunisme dengan mengambil alih Indonesia yang merupakan lumbung sumber daya alam besar di Asia.
Pencegahan ideologi komunisme tersebut dilakukan dengan cara menyokong kekuatan militer untuk mengambil alih Negara serta menyebarkan fitnah kepada PKI dengan cap tidak beragama, liberal serta pembunuh 7 jendral yang memicu kemarahan membabi buta dari rakyat yang terprofokasi dengan propaganda militer yang saat itu dipimpin oleh Soeharto dan di dukung oleh pihak imperialis Amerika Serikat dan Inggris.
Setelah tregedi 65, beberapa media Amerika Serikat seperti majalah TIME menulis headline dalam pemberitaannya “kemenangan besar di Asia”. Agar militer tidak mengotori tangannya dan tersangkut masalah genosida, militer menggunakan milisi sipil untuk membunuh 3 juta rakyat. Hal ini berhubungan dengan 2 film dokumenter “Jagal (The Act of Killng)” dan “Senyap (The Look of Silence)” karya Joshua Oppenheimer.
Kedua film dokumenter tersebut menceritakan peristiwa 30 september dari sudut pandang pelaku penjagalan dengan aktor utama “Anwar Congo” di film Jagal serta dari sudut pandang keluarga korban Ramli kakak “Adi Rukun” di film Senyap. Terdapat perbedaan ekspresi saat menyaksikan film jagal dan senyap. Saat menonton jagal, ekspresi utama yang biasanya ditunjukan adalah perasaan jengkel, marah, dan emosi melihat Anwar Congo memperagakan bagaimana dia membunuh orang yang di identifikasi komunis.
Berbeda dengan ekspresi yang di tunjukan penonton ketika menyaksikan Senyap, banyak dari para penonton merasa sedih, terharu, dan perasaan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata karena tidak sedikit dari para penonton yang memposisikan dirinya sebagai Adi Rukun (tokoh utama/adik korban) yang dengan teguh menggali fakta dan kebenaran dari peristiwa 30 september dan pembunuhan kakaknya.
Film dokumenter Senyap bertujuan untuk meluruskan kembali sejarah yang dibelokkan oleh rezim sejak kekuasaan Orde Baru. Hal ini sejalan dengan yang kami inginkan dalam upaya pelurusan sejarah kelam bangsa Indonesia. Senyap sudah diputar dibeberapa daerah di Indonesia termasuk di samarinda yang diputarkan pada hari sabtu, 13 Desember 2014 di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman yang merupakan kerja sama antara Konsentrasi Mahasiswa Progresif-Sentra Gerakan Muda Kerakyatan (KOMA PROGRESIF-SGMK), Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat pekerja (KPO-PRP), JATAM KALTIM dan POKJA 30.
Pemutaran film senyap tersebut dihadiri oleh mahasiswa UNMUL, pelajar dari SMAN 1 dan 5 Samarinda, Dosen, LSM dan komunitas lainnya. Setelah pemutaran film Senyap dilanjutkan dengan pembacaan testimoni dan diskusi. Permasalahan sejarah dan kemanusiaan adalah yang paling banyak diungkapkan oleh para penonton film Senyap seperti yang di ungkapkan Ana salah satu pelajar dari SMAN 1 Samarinda, “saya tidak suka dengan para pelaku pembantaian, mereka tidak merasa bersalah, mereka hanya menganggap masalah ini sudah berlalu, dan berpendapat yang lalu biarlah berlalu dan kita pikirkan saja masa depan”.
“Sejarah yang sekarang sudah di belokkan, sejarah yang sesungguhnya dibalikkan faktannya, bagaimana mereka tega membunuh dengan begitu kejamnya dengan alasan membela Negara, tapi apakah itu bisa dijadikan alasan, apa yg harus kita lakukan adalah tegakkan sejarah yang sebenarnya”, ujar Ana. Pendapat dari Ana ini dirasa mampu mewakili perasaan dan pendapat para pelajar yang selama ini dibohongi dan dibodohi oleh rezim yang berkuasa dengan cara memalsukan dan menutup fakta sejarah bangsa ini.
Karena sejarah yang kita pelajari mulai dari bangku pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi adalah sejarah yang ditulis oleh rezim Soeharto sebagai pemenang dari pertarungan ideologi Kapitalisme vs Komunisme. Menjawab pertanyaan mengenai mengadili para pelaku dan pelurusan sejarah, Najidah salah satu dosen fakultas hukum menjawab “menegakkan hukum adalah hal yang mungkin dan mudah. Tapi, meluruskan sejarah adalah hal yang sulit tapi itu mungkin”.
Permasalahan pelurusan sejarah adalah hal yang pelik mengingat rezim yang hari ini berkuasa masihlah seperti rezim pemerintahan yang terdahulu dan sejarah pendidikan yang ada saat ini pun masihlah sejarah buatan rezim terdahulu sehingga penting bagi kita menggalang persatuan antara pelajar, mahasiswa, akademisi dan rakyat luas untuk menegakkan HAM dan pelurusan sejarah, agar sejarah yang diajarkan kepada para generasi muda bukanlah sejarah yang dibuat-buat dan menolak alasan pembantaian 3 juta penduduk adalah untuk melindungi dan membela Negara seperti yang di ucapkan oleh ibu Adi di dalam film Senyap “bela Negara, Negara apa?” kata-kata ini menunjukan bahwa ibu Ramli dan Adi sudah tidak percaya dengan Negara yang membunuh rakyat dan anaknya yang tidak pernah minta maaf kepada rakyat bahkan tidak juga merasa bersalah sedikitpun.
Karena upaya pembangunan kesadaran masyarakat bukanlah hal yang instan sehingga perlu upaya berkelanjutan dan konsisten dalam proses pembangunannya. Oleh karena itu pemutaran dan diskusi film senyap tidak boleh berhenti sampai di sini saja dan harus dibawa ke ruang-ruang publik, ditonton, direnungkan, didiskusikan dan ditindaklanjuti oleh semua orang. Demi pelurusan sejarah bangsa, karena kondisi sekarang ini marak dengan eksploitasi dan perampokan sumber daya alam, perampasan lahan, pendidikan mahal, upah/gaji rendah adalah hasil dari sejarah masa lalu yang menghabisi gerakan rakyat melawan penindasan manusia atas manusia.
Oleh : Ary Dwi Prasetyo, Kader Koma Progresif – SGMK dan Kontrobutor Arah Juang Samarinda.
Comment here