KebudayaanOpini Pembaca

Mengungkap Kebenaran Bukan Dendam: Di Sekitar Film SENYAP (The Look of Silence)

senyap-premiere

Indonesia Menonton Senyap

SENYAP (The Look of Silence) adalah film dokumenter berlatar belakang pembersihan komunisme pada tahun 1965, yang merupakan film karya Joshua Oppenheimer sebagai lanjutan dari film Jagal (The Act of Killing) pada 2013 lalu. Berdurasi 99 menit, Senyap mendokumentasikan pencarian kebenaran dengan berani atas pembungkaman suara korban 65 dalam sebuah masyarakat yang tercekat oleh intimidasi Orde Baru dimana para korban ‘diteror’ dalam kesenyapan dan para pembunuh diperlakukan sebagai pahlawan.

Keberhasilan ‘Jagal’ menular pada pemutaran perdana film ‘Senyap’ yang dilakukan pada 10 November di Taman Ismail Marzuki. Ribuan orang yang ingin menyaksikan perdana film ini membuat panitia harus menyediakan 2 sesi pemutaran dari siang hingga malam hari. Antusiasme penonton pun begitu tinggi ketika film dimulai maupun ketika berakhir dengan adanya aplaus yang meriah. Hal itu sedikit menunjukkan hausnya masyarakat dari film-film dokumenter yang bertema pengungkapan sejarah seperti ‘Senyap’. Kegembiraan ikut bertambah ketika mendengar film ini akan juga diputar di banyak daerah secara serentak pada peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember mendatang. (silahkan kunjungi: www.filmsenyap.com)

‘Senyap’, seperti juga ‘Jagal’, menampilkan sisi kebanggaan, heroisme dan patriotisme dari para pelaku pembantaian yang selalu menyatakan pembunuhan itu sebagai hal yang wajar sebagai penyelamatan negara dari PKI. Bagaimana para pelaku menuturkan ‘kemenangan berdarah’ tanpa merasa bersalah membunuh puluhan, ratusan bahkah ribuan orang yang mereka ‘identifikasi’ sebagai orang-orang PKI tanpa ada proses pengadilan juga terlihat dalam film ini.

Namun, ‘Senyap’ sedikit lebih berani mengkonfrontasikan pelaku dengan korban. Bagaimana keluarga korban mencari apa sebenarnya yang terjadi pada masa itu, bagaimana Adi berhadapan dengan orang-orang yang membunuh saudaranya, bagaimana reaksi kemarahan, kesedihan dan ketabahan korban ketika mendapat pengakuan dari pelaku ataupun melihat rekaman para pelaku dengan senang hati melakukan penghilangan nyawa dengan cara yang keji persis seperti yang dikatakan Anwar Kongo dalam film Jagal: “Saya menghabisi orang PKI itu dengan gembira”.

Adi Rukun, yang merupakan tokoh utama film ini, adalah adik dari Ramli Rukun yang menjadi korban pembantaian 1965 di Matapao, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Para pelaku tak lain adalah tetangga Adi Rukun, seperti juga yang terjadi di daerah-daerah bekas pembantaian lainnya di Indonesia, dimana keluarga korban hidup berdekatan dengan pelaku. Ramli dipenjara pada tahun 1965 karena diidentifikasi sebagai anggota PKI. Ramli lalu dikeluarkan dari penjara untuk dieksekusi. Setelah dihujani tikaman, Ramli yang ternyata masih hidup melarikan diri pulang ke rumahnya dalam kondisi terluka parah di bagian lengan dan perut. Di pagi buta, rombongan Amir Hasan menjemput Ramli dengan berdalih Ramli akan dibawa ke rumah sakit. Lalu setelah dibawa, Ramli dieksekusi kedua kalinya di sungai Pekong.

Untuk menemukan jawaban dan pengakuan, Adi lalu berupaya mendatangi setiap pembunuh yang masih hidup, yang terlibat dengan pembunuhan saudaranya. Dengan keahlian optiknya, Adi mulai menemui satu persatu pembunuh kakaknya. Tidak ada penyesalan yang dirasakan oleh para pembunuh kakaknya, bahkan dengan bersemangat mereka bercerita proses pembunuhan yang mereka lakukan. Namun, keadaaan menjadi berbalik ketika dengan rendah hati Adi membuka kenyataan bahwa yang mereka bunuh adalah kakaknya. Ekspresi terkejut namun tertahan, marah, hening, tuduhan balik ditujukan kepada Adi.

Periode pembantaian 1965

Seperti sudah terungkap dalam sejarah, Peristiwa 30 September 1965 (G30S) merupakan titik awal pemicu pembantaian besar-besaran di Indonesia. Ketika konfilk internal di tubuh militer berujung pada pembunuhan enam Jendral, militer (sayap kanan) menjadikan peristiwa tersebut sebagai jalan untuk tunduk pada imperialis dengan mengalihkan tuduhan pada PKI (yang pada waktu itu merupakan partai komunis terbesar di Asia sekaligus kekuatan anti-imperialis di Indonesia) sebagai dalang peristiwa pembunuhan 6 Jendral tersebut. Soeharto mengambil alih kontrol kepemimpinan Angkatan Darat dengan sokongan Pangkodam Jaya Umar Wirahadikusumah dan Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Soeharto lalu membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang memegang kendali besar dalam pembantaian missal. Kopkamtib kemudian diperbolehkan merekrut dan melatih kelompok sipil dalam membantu operasi tersebut.

Melalui tangan kelompok-kelompok sipil seperti Pemuda Pancasila dan Banser NU, militer melakukan gerakan pembersihan. Militer mempropagandakan pada rakyat bahwa komunis adalah musuh rakyat yang akan melakukan pemberontakan terhadap negara dan identik dengan atheisme sehingga harus dihancurkan. Bahwa pekerjaan ‘membunuh PKI’ adalah pekerjaan yang mulia dan terhormat, sehingga tokoh masyarakat dan tokoh agama secara tidak langsung ikut merestui pembunuhan. Pembantaian jutaan manusia adalah metode penghabisan PKI ala orde baru yang sering dikatakan “sampai ke akar-akarnya”.

Penumpasan tersebut terjadi di hampir semua daerah di Indonesia, dimana yang terbesar terjadi di Sumatera, Jawa dan Bali. Tak ada data pasti berapa jumlah orang yang tewas dalam pembantaian. Menurut Komnas HAM, diperkirakan sekitar 2,5 juta orang terbunuh dalam peristiwa itu.

Mengungkap Kebenaran Bukan Dendam

Periode panjang Orde Baru dimulai setelah keluarnya Supersemar dan pelarangan PKI di Indonesia yang tertuang dalam TAP MPRS NO: XXV/MPRS/1966. Suharto juga ‘menyapu bersih’ DPR dan MPR dari unsur-unsur PKI walaupun mereka terpilih secara sah dalam pemilu 1955, juga membersihkan simpatisan Sukarno. Orde Baru menjadi semakin kuat dan otoriter dalam menghancurkan demokrasi melalui tangan-tangan militer. Sejak itulah demokrasi menjadi ‘barang mahal’.

Para korban yang selamat beserta keluarganya maupun yang masih dipenjara, mengalami kekerasan fisik dan mental, diskriminasi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hak-hak sipil mereka dibatasi dan tidak ada pemulihan hukum bagi mereka.

Setelah reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah pernyataan publiknya di acara ‘Secangkir Kopi Bersama Gus Dur’ yang disiarkan langsung oleh TVRI, Selasa 15 Maret 2000, sempat meminta maaf atas tragedi kemanusiaan 1965 kepada para korban dan juga mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Di era Gus Dur jugalah, langkah-langkah pembentukan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dijalankan hingga kemudian dikeluarkan dalam bentuk UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi. Namun upaya ini masih ditentang banyak pihak yang tidak demokratis dan tidak gandrung pada kebenaran sejarah, khususnya PPAD (Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat).

Hingga pemerintahan SBY berakhir, langkah mengungkap sejarah tetap menemui jalan buntu. Yang terjadi masih lah tetap: para pelaku berlindung dibalik kekuasaan negara, merasa diri dan dianggap pahlawan, saling lempar tanggung jawab sambil berucap “jika kamu terus membuat masalah dari masa lalu, itu pasti akan terjadi lagi.”

Pengungkapan kebenaran bukan lah dendam. Seperti yang Adi Rukun katakan dalam Senyap: “Kalau saya dendam saya tak akan ke sini”. Baik Adi, maupun seluruh korban 65 tidak ingin menjadikan diri mereka pahlawan, seperti yang para pelaku lakukan. Mereka hanya ingin pengakuan bahwa mereka tidak bersalah dan negara telah bersalah dengan mendalangi pembantaian manusia. Tanpa pengakuan dan pengungkapan atas kebenaran, bukan kah kebenaran akan terus menjadi kabut dan hal serupa dapat terjadi pada siapa saja?

 

Oleh : Qory Delasera, Kontributor Arah Juang, Anggota KPO-PRP

Loading

Comment here