Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September mendatang tetaplah menjadi hari dimana kaum tani masih dimiskinkan. Selama ratusan tahun, kaum tani telah menjadi korban dari perampasan tanah yang dilakukan para pemilik modal besar. Ini terkait erat dengan keberadaan sistem kapitalisme di Indonesia, yang sejak jaman pemerintah Hindia-Belanda telah mengubah tanah menjadi komoditas yang diperuntukkan bagi tanaman komoditas milik mereka.
Pada perkembangannya, perampasan tanah terjadi semakin massif dan bervariasi, termasuk yang mengatasnamakan ‘pembangunan’. Namun kita tahu, slogan pembangunan yang dimulai sejak orde baru adalah juga masa dimana aspek kemerdekaan nasional, khususnya melalui UU Pokok Agraria 1960, yang sekaligus menjadi landasan Hari Tani Nasional, dicampakkan dan ditenggelamkan. Sejak saat itu pula kekerasan terhadap kaum tani yang ingin mempertahankan tanah meningkat pesat akibat kebijakan-kebijakan militeristik orde baru.
Sekarang ini, kaum tani masih berjuang mempertahankan tanah dari ‘perampasan’ oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan berikut kebutuhan infrastrukturnya yang difasilitasi oleh negara. Ini dimuluskan oleh UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah yang justru mempraktekkan perampasan tanah secara besar-besaran atas nama pembangunan. Ditambah lagi, perluasan modal pasca krisis kapitalisme yang dilakukan melalui kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hanya melihat tanah dari aspek akumulasi keuntungan para pemilik modal semata. Alhasil, ini bukan hanya berakibat pada mengecilnya akses tanah dari kaum tani, tetapi juga pencerabutan hak hidup komunitas masyarakat adat maupun penghancuran terhadap alam/bumi.
Disaat yang sama, dominasi para pemodal besar dalam pertanian telah mendorong mahalnya input dan infrastruktur produksi pertanian serta murahnya hasil pertanian yang berasal dari kaum tani bertanah kecil. Hal ini menyebabkan kemiskinkan kaum tani yang senantiasa dapat melempar kaum tani dari tanah-tanahnya untuk kemudian bergantung pada pemilik modal, baik pada tanah-tanah luas milik pemodal di pedesaan, maupun pada pabrik-pabrik di perkotaan. Hal tersebut tentu ikut mempengaruhi tekanan terhadap upah kaum buruh yang tiap tahunnya dibanjiri tenaga kerja baru hasil dari pengangguran di sektor pertanian. Dalam arti ini, tanah kaum tani sangat terkait dengan upah kaum buruh. Tetapi kaum tani belum menyerah dan masih terus bergerak mempertahankan tanah dan kesejahteraannya.
Dari data yang dihimpun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang 2013, terdapat 369 kasus konflik agraria dimana kaum tani mempertahankan tanah yang dirampas oleh pemilik modal. Sedangkan sepanjang SBY berkuasa (2004-2013), jumlah konflik sebanyak 987 kasus dengan luas wilayah konflik 3.680.974,58 ha, dimana perkebunan merupakan sektor tertinggi potensi konflik setelah infrastruktur, pertambangan, kehutanan dan kelautan. Kaum tani yang menjadi korban dari konflik di tahun 2013 tersebut tidak tanggung-tanggung: 21 orang tewas, 30 orang tertembak, 130 orang dianiaya, dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Sebut saja Eva Bande, Tukijo, Muhammad Ridwan atau kawan-kawan lainya yang ditahan karena aktif memperjuangkan hak-hak kaum tani dan keadilan agraria. Dukungan solidaritas harus menjadi hal yang mendesak bukan hanya di kalangan gerakan tani, tetapi juga dari perjuangan rakyat lainnya (buruh, mahasiswa, pelajar, kaum miskin kota, perempuan) bagi pembebasan para pejuang agraria.
Namun dari situasi ini, layaknya kaum buruh di perkotaan, perjuangan kaum tani juga belum tersatukan menjadi perjuangan bersama yang menguat dan meninggi. Satu kasus dengan kasus lainnya belum termajukan menjadi suatu program perjuangan politik bersama yang mendesak. Ini salah satunya akibat masih mudahnya kaum tani maupun organisasi-organisasi kaum tani diboncengi oleh partai-partai pemilik modal dan elit-elitnya yang memoderasi perjuangan kaum tani sehingga terpecah dan terpisah satu sama lain, walaupun memiliki kepentingan yang sama, khususnya atas tanah dan teknologi.
Pada akhirnya, musuh kaum tani pada dasarnya adalah juga kapitalisme yang menjadi musuh kaum buruh. Walaupun kapitalisme dan ilusinya sering menggiring kaum tani pada persaingan diantara kaum tani untuk sejahtera secara sendiri-sendiri, namun perjuangan yang gigih dari kaum tani telah membuktikan pula bahwa kesejahteraan secara bersama lebih mungkin diwujudkan. Disini kaum tani harus semakin terang melihat, bahwa tidak ada jalan perubahan mendasar selain berjuang bersama dengan kaum buruh. Persatuan antara buruh dan tani bukan hanya mungkin, tetapi juga menjadi keharusan disaat tidak ada lagi yang dapat dipercaya selain persatuan buruh-tani itu sendiri sebagai bagian terbesar populasi rakyat Indonesia dalam menghadapi setiap segi penindasan.
Maka dari itu, dalam peringatan Hari Tani Nasional 2014 ini, kami dari Sekber Buruh yang merupakan aliansi dari beberapa organisasi serikat buruh dan mahasiswa mendukung perjuangan kaum tani sampai pada pemenuhan keadilan agraria, kesejahteraan kaum tani, dan kemakmuran seluruh rakyat. Dan untuk menuju kesana, kami menyerukan satu-satunya jalan: Bangun persatuan politik kaum buruh dan tani!
Kordinator Presidium
(Sultoni)
089650544939
Comment here