Menjadi partai, mestinya disadari lebih awal, adalah pertarungan menuju singgasana kekuasaan. Partai bukan seperti paguyuban sosial atau perkumpulan berbasis keagamaan yang imun dari cita-cita politik kuasa. Maka orang yang memasuki partai adalah pribadi yang menyiapkan dirinya sedemikian rupa sebagai kandidat penguasa untuk menjalankan mesin sebuah rezim.
Sebagai kandidat pengendali sebuah rezim, maka secara reguler partai dihadapkan pada momentum pemilu dan kampanye kepada publik untuk menyosialisasikan misi, visi, inovasi, prestasi, dan rekam jejak prestasi partai dan pribadi-pribadi yang diusungnya untuk duduk di kursi kekuasaan.
Sampai pada titik ini partai membutuhkan media dengan jangkauan keterbacaan yang bukan saja impresif, melainkan juga meluas dan menjangkau sembilan pulau besar Nusantara dan ribuan pulau kecil lainnya.
Makanya, jika kita mengurut empat pemenang partai pemenang pemilu 1955 (maaf, PSI saya lewatkan saja), semuanya memiliki media sendiri. PNI punya koran bernama Suluh Indonesia; Masjumi dengan koran Abadi dan majalah Hikmah; Partai NU dengan Duta Masjarakat; dan PKI dengan Harian Rakjat dan jurnal Bintang Merah.
Walau media (massa) cap partai, media-media itu dikelola secara profesional dan disitribusikan dengan cara-cara yang lazim. Dikelola secara profesional artinya bukan dibuat jelang pemilu, namun terbit ajeg mengiringi aktivitas harian partai dalam masyarakat; ada atau tak ada pemilu.
Karena terbit ajeg (harian/mingguan), maka keredaksiannya pun dikelola seperti manajemen pers umumnya, sebagaimana misalnya, termaktub dalam “buku panduan penerbitan pers” yang dibikin Mochtar Lubis, Pers dan Wartawan (1956). Media partai itu memiliki wartawan yang bekerja profesional, kontributor luar negeri, penulis opini/feature politik/budaya yang terkelola, editorial, perancang tata letak dan juru gambar (termasuk karikatur), serta tim distribusi yang militan.
Dari sisi manajemen pengelolaan seperti ini, wajar kemudian media partai ini diakui sebagai bagian dari keluarga besar PWI. Produk jurnalistik yang dilahirkannya adalah produk pers yang absah, dan bukan serombongan pelempar surat kaleng rombeng dari dunia tengah mahagelap.
Karena bagian dari jurnalistik, media-media partai bersaing pasar dengan media-media non-partai. Bahkan dalam soal jumlah oplah yang terbit tiap hari, media partai semacam Harian Rakjat yang dimiliki PKI bisa menyalip jauh jika dibandingkan dengan oplah Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar.
Dua Keutamaan
Media (massa) bagi partai-partai itu memiliki dua keutamaan. Keutamaan ke dalam berarti pendidikan untuk kader yang dilangsungkan secara terus-menerus. Informasi disalur-sebarkan secara intensif hingga ke tingkat ranting paling bawah untuk soliditas kader dalam satu komando ideologi. Media partai itulah yang menjadi sekolah informal bagaimana kader mendapatkan informasi tentang partai dan memamah pengetahuan politik yang umum dari cendekia-cendekia partai yang berkumpul di Jakarta.
Selain berguna ke dalam, media partai itu juga memiliki keutamaan ke luar untuk agitasi dan propaganda menghadapi lawan-lawan politiknya. Media partai menjadi gelanggang yang tiap hari menyerang dan menguliti sedemikian rupa kelemahan partai lain dan orang-orang yang mengusungnya.
Pemilu pun menjadi hidup, pemilu menjadi hiruk-pikuk. Tapi tak ada yang dilanggar di sana. Karena media yang melakukan aksi propaganda itu adalah media partai itu sendiri. Terkadang satu koran “berkoalisi/tidak menyerang” koran partai yang memiliki irisan kepentingan yang sama dengannya. Ambil contoh Duta Masjarakat/Partai NU, Suluh Indonesia/PNI, dan Harian Rakjat/PKI berkawan dalam soal agitasi ke luar. Tapi tidak antara Harian Rakjat/PKI dengan Abadi/Masjumi yang baku hantam gagasan di gelanggang politik.
Sekali lagi, tidak ada yang dilanggar di sana. Media-media itu membela/mengusung partainya sedemikian tegas karena memang secara garis kepemilikan media-media itu adalah milik partai.
Tentu saja di luar media-media partai itu masih banyak media-media lain yang hidup berdampingan yang tidak secara langsung teriris kepemilikan dengan partai. Banyak media di luar itu tetap independen, walau memiliki kedekatan kepentingan dan ideologis dengan partai. Ciri media-non-partai itu: independen (tidak memiliki garis komando redaksi dengan pimpinan partai tertentu), tapi biasanya juga tak bisa dibilang netral murni (karena masih terhubung oleh kekeluargaan ideologis/memiliki kesesuaian kepentingan nasional).
Partai tanpa Media
Namun, hiruk-pikuk dan pesta demokrasi liberal itu tiba-tiba lenyap tanpa bekas saat pemilu berikutnya berlangsung di awal tahun 1970-an saat rezim berganti lewat prosesi pendarahan hebat pada 1965/1966. Bukan saja kultur partai berubah (disusutkan dalam bentuk fusi), namun juga kultur media partai dikubur. Kecuali, Golkar, satu dari tiga konsestan pemilu yang tak pernah mau menyebut partai — yang memiliki media partai bernama Suara Karya. Media televisi nasional juga diperalat lewat operasi senyap untuk menyuarakan kepentingan partai yang memegang kendali kekuasaan.
Hingga kini, budaya partai bermedia tak pernah pulih kembali. Kegembiraan era multipartai bisa dikembalikan oleh Reformasi, tapi tidak dengan kultur partai bermedia sendiri. Akibatnya, partai-partai yang ada memasrahkan diri pada media-media yang “independen dan netral” untuk menyosialisasikan misi-visinya.
Yang lebih parah tentu saja pemilu Indonesia ke-12 (2014) saat media (televisi) berstatus “swasta” dengan memakai izin frekuensi publik dibajak (menyerahkan diri) secara habis-habisan untuk menyuarakan secara berlebihan dan agresif satu kepentingan partai tertentu.
Tentu saja kondisi perang media (bukan) partai yang melakukan kontrak-gelap dengan partai selama pagelaran pemilu dilangsungkan seperti saat ini bukan saja salah-waktu, salah-tempat, salah-momentum, namun juga bikin kusut peristiwa demokrasi yang sudah ramai dan terlanjur gembira seperti pemilu ke-12 tahun ini.
Inilah yang membedakan partai-partai besar peserta pemilu 1955 dan pemilu sesudahnya, termasuk juga kini. Di Pemilu 1955, setiap partai, terutama partai yang memiliki basis pendukung yang massif, sadar betul dengan kondisi bahwa memiliki media (massa) sendiri itu penting, sepenting kekuasaan itu sendiri.
Oleh : Muhidin M. Dahlan, Pendiri Warung Arsip dan Radio Buku.
(Tulisan ini disadur dari blog Aku & Buku, dan dipublikasikan ulang demi kepentingan ilmu pengetahuan dan pembangunan gerakan rakyat)
Comment here