Walaupun normalisasi telah dilakukan oleh pemerintah terkait dengan pembatasan pasokan BBM, namun masih saja terjadi antrian-mengular ratusan meter di berbagai SPBU. Seorang kamerad, kawan penulis melalui sms (short message service) yang masuk ke Handphone penulis, pada 26 Agustus 2014 mengeluh, “… pusing cari bensin dari pagi gak dapet”. Keluhan dari kamerad tersebut berlanjut hingga 28 Agustus 2014, “… ini walau dibilang sudah dinormalisasi tapi masih banyak yang habis dan antri”.
Keluhan terakhir dari kamerad tersebut tampaknya akan berkepanjangan dan terus berkepanjangan, karena walaupun telah dilakukan normalisasi dan nanti keadaan akan menjadi normal kembali—bensin tidak sulit lagi dicari dan tidak perlu antri panjang-mengular—kondisi ini sifatnya hanya sementara. Karena selama Indonesia masih dikempit oleh ketiak kepentingan imperialisme, salama itu pula keluhan-keluhan seperti yang disampaikan oleh seorang kawan itu akan terus bermunculan. Keluhan yang muncul bukan dari kelas menengah tetapi dari kelas tertindas.
Tulisan ini aku buat untuk merespon mencuatnya keluhan dari seorang kawan tersebut. Tidak hanya itu saja, tulisan ini dibuat untuk menunjukan bahwa penghapusan subsidi BBM bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat Indonesia tetapi dipersembahkan untuk kepentingan kapitalis-imperialisme.
Yah, selalu saja terjadi antrian panjang-mengular ketika menyeruak informasi dari pemerintah kalau BBM akan dinaikan harganya, akan dikurangi/dicabut subsidinya atau akan dibatasi pasokannya. Hari ini informasi yang diberikan oleh pemerintah kepada publik adalah BBM akan dibatasi pasokannya. Tidak berhenti sampai disini, bahwa pembatasan pasokan BBM ini adalah langkah awal dalam kepemimpinan Joko Widodo (selanjutnya disebut Jokowi) bersama Jusuf Kalla ke depan untuk menghapus subsidi BBM secara bertahap, selama 4 tahun kepemimpinannya ke depan.
Alasan klasik yang selalu digunakan oleh pemerintah, dari zaman Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut SBY) sampai dengan sang Presiden terpilih Jokowi, yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014 adalah karena kalau subsidi BBM tidak dicabut atau dihapus hal itu akan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, menguntungkan orang-orang kaya yang bermobil mewah, ancaman terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Alasan-alasan tersebut biasanya dibarengi dengan tindakan penjinakan, misalnya subsidi BBM akan dialihkan pada rakyat melalui alokasi dana tunai ke masyarakat dengan batas waktu tertentu. Alasan ini selalu digunakan oleh rezim SBY ketika dia mengurangi subsidi terhadap BBM, terutama ketika SBY pada tahun 2005 menaikan harga BBM hingga sebesar 100%.
Hari ini Jokowi-Jusuf Kalla berkoar bahwa beban subsidi BBM yang ditanggung oleh APBN mencapai Rp. 291,1 triliun bph.—sebagaimana hal ini terekam di dalam rumusan RAPBN 2015. Adapun tindakan penjinak yang dilakukan oleh Jokowi untuk meredam protes dari massa rakyat adalah subsidi BBM tersebut akan dialihkan kepada program-program populis.
Baik rezim SBY maupun Jokowi tidak pernah jujur menunjukkan kepada masyarakat, bahwa pengurangan yang kemudian akan berujung pada penghapusan/pencabutan subsidi BBM tersebut sesungguhnya dilatarbelakangi oleh tindakan pemerintah-negara sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan kapitalis-imperialisme yang mendorong agar energi/migas di Indonesia diliberalisasikan.
Penghapusan secara bertahap—selama 4 tahun subsidi BBM pada masa kepemimpinan Jokowi ke depan tidak dapat dilepaskan dari pendiktean yang dilakukan oleh IMF (International Monetary Fund) agar negara Indonesia meliberalisasikan migasnya agar Indonesia dapat diintegrasikan dalam persaingan pasar bebas skala internasional. Pendiktean ini sebenarnya sudah dilakukan oleh IMF semenjak rezim Soeharto ditumbangkan oleh kekuatan rakyat yang keberlanjutannya diteruskan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia pasca 1998: Habibie, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Megawati, SBY hingga Jokowi. Ada pun pendiktean IMF kepada Indonesia tersebut tercermin dalam Letter of Intent yang dibuat oleh IMF dan kemudian ditandatangi oleh Indonesia, sebagai berikut ini:
Pasal 28 ayat (2) Leter of Intent : Di dalam sektor energi, pemerintah Indonesia akan mengkaji ulang pemberian subsidi BBM dan pada akhirnya akan mengurangi jumlah subsidi tersebut. Sebagai konsekuensi dari pengurangan subsidi ini maka harga BBM akan naik (Debby Wage Indriyo, 2008:58).
Jokowi sendiri dalam debat calon Presiden dan Wakil Presiden pada 2014 berkomitmen bahwa dia akan mempertahankan Indonesia tergabung dalam WTO (World Trade Organitation) atau organisasi perdagangan Internasional. WTO adalah instrumen dari IMF, sedangkan IMF dan WTO adalah alat hegemonik yang menyerap kepentingan negara-negara imperialis seperti negara Amerika Serikat. Alasan Jokowi untuk tetap tergabung dalam WTO adalah agar produk-produk atau komiditi dari Indonesia bisa diperjualbelikan di ranah persaingan pasar bebas. Berangkat dari sini, untuk mempersiapkan Indonesia terintegrasi ke dalam pasar bebas, maka dibutuhkan revolusi mental. Dengan kata lain, dengan revolusi mental rakyat Indonesia akan dipersiapkan untuk bersaing di ranah pasar bebas internasional (istilah lain dari menjerumuskan rakyat Indonesia untuk dimangsa oleh imperialis). Tidak hanya itu saja, untuk semakin mengukuhkan bahwa Jokowi adalah kepanjangan tangan dari imperialisme, dia tanpa ragu mengatakan bahwa dia akan menghormati perjanjian-perjanjian yang dilakukan Indonesia terhadap para imperialis sebagai bentuk bukti bahwa Indonesia bisa dipercaya (baca: bisa dipercaya sebagai kepanjangan tangan kepentingan imperialisme).
Komitmen dari Jokowi untuk tetap menjadi kaki tangan imperialisme itu jelas ada hubungannya dengan penghapusan subsidi BBM yang akan dilakukannya secara bertahap dalam jangka waktu 4 tahun selama masa kepemimpinannya ke depan. Penghapusan tersebut dilakukan untuk menjerumuskan negara Indonesia ke dalam persaingan pasar bebas, menyodorkan rakyat Indonesia menjadi mangsa imperialisme. Jadi, rakyat sama sekali tidak diuntungkan dengan dihapusnya subsidi BBM tersebut. Ketika subsidi BBM dihapus yang akan terjadi adalah harga-harga kebutuhan pokok akan naik dan akan “merusak” daya beli masyarakat Indonesia. Ketika harga kebutuhan pokok naik hal itu akan dibarengi dengan naiknya harga berbagai barang lainnya yang akan berujung semakin memiskinkan rakyat Indonesia.
Yah, orang miskin yang hari ini berjumlah tidak kurang dari 120 juta atau 48% dari tidak kurang 250 juta penduduk Indonesia akan semakin membengkak (Rokhmin Dahurin dalam Seknas Jokowi, 2014:107).
Lalu siapa yang akan diuntungkan dengan dihapusnya subsidi BBM tersebut? Jawabannya adalah pengusaha-pengusaha migas asing yang beroperasi di Indonesia, yang jumlahnya tidak kurang dari 95%, diantaranya imperialis yang sering disebut dengan The Big Five seperti Caltex, Chevron Texaco Coorporation, Unocal, BP, Exxon Mobile Oil, dan Shell. Pihak lain yang diuntungkan adalah mafia migas yang berada di sekitar broker migas dan pengusaha-pengusaha SPBU.
Keuntungan jelas akan diperoleh oleh pengusaha asing karena dengan dihapuskannya subsidi BBM yang berimbas pada dinaikannya harga BBM keuntungan (akumulasi kapital) yang diperoleh akan semakin berlipat ganda. Demikian juga dengan para broker.
Para broker ini mengambil keuntungan melalui mekanisme pengadaan BBM di Indonesia. Adapun mekanisme pengadaan tersebut secara sederhana dapat digambarkan seperti ini: kirim minyak mentah ke luar negeri, dan pengirimannya ini dilakukan oleh para broker, setelah minyak sudah diolah di luar negeri, diantaranya di Singapura, maka minyak yang telah diolah dan siap pakai itu akan dikirim kembali ke Indonesia. Atau membeli minyak mentah dari luar negeri, di olah diluar negeri dan kemudian dikirim ke Indonesia. Rantai pengolahan dari minyak mentah dan siap pakai inilah yang akan memberikan keuntungan yang luar biasa besarnya kepada para broker. Dengan ditariknya subsidi dan naiknya harga BBM itu artinya jasa broker akan dinaikan pula—sehingga semakin gilalah para broker itu mengambil keuntungan dari mekanisme pengadaan BBM ini (lihat: Ismantoro Dwi Yuwono, 98:2013).
Yang terakhir, pihak yang diuntungkan, jelas para pengusaha SPBU. Jika pembatasan BBM dilakukan dan subsidi dikurangi hingga dihapus para pengusaha dapat melakukan perburuan rente dalam kondisi seperti ini.
Lalu bagaimana solusinya? Solusinya adalah cabut liberalisasi migas yang terumus di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 (perundang-undangan produk dari washington consensus yang masuk dalam Letrer of Intent) (lihat: M. Kholid Syeirazi, 2009:158), ambil alih ladang-ladang migas dan produksi migas yang dikuasai oleh asing dari hulu hingga hilir, dan tempatkan alat-alat produksi—dalam hal ini kekuatan produksi dalam proses eksplorasi dan pengolahan migas—di bawah kekuasaan kelas pekerja.
Oleh : Ismantoro Dwi Yuwono.
Daftar Bacaan :
- Debby Wage Indriyo, “Politik Harga BBM: Eksplorasi Politik Kebijakan Subsidi Harga BBM Pemerintahan SBY-JK”, Averroes Press, Malang, 2008.
- Debat Calon Presiden dan Wakil Presiden 2014 putaran 1-5.
- Fahmy Radhi, “Jokowi, Naikan Harga BBM”, Harian Kedaulatan Rakyat Kolom Analisis, Yogyakarta, 26 Agustus 2014.
- Ismantoro Dwi Yuwono, “Mafia Migas Versus Pertamina”, Galang Press, Yogyakarta, 2013.
- M. Kholid Syeirazi, “Di Bawah Bendera Asing : Liberalisasi Industri Migas di Indonesia”, LP3ES, Jakarta, 2009.
- Visi-Misi dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014, “Jalan Perubahan Untuk Indoensia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”, Jakarta, Mei 2014.
Comment here