Rakyat Palestina di Gaza, dengan naif, pergi ke tempat pemungutan suara pada Januari 2006, salah memahami doktrin Bush yang mengatakan akan membawa demokrasi ke Timur Tengah–meskipun Bush bertanggung jawab untuk pembantaian brutal terhadap ratusan ribu rakyat tak berdosa di Irak dan Afganistan.
Rakyat memilih, namun bukan pilihan yan diinginkan oleh Israel, atau pendukung Amerika-nya serta diktaktor Arab. Pilihan rakyat Palestina adalah menentang industri proses perdamaian, melawan fiksi yang selalu tidak dapat dicapai bernama solusi dua Negara, melawan korupsi dari orang kaya baru hasil Oslo.
Hasil pemilihan umum tersebut adalah kejutan bukan hanya bagi kamp Oslo, namun juga untuk pemenangnya itu sendiri: Hamas. Dan rakyat Palestina, terutama yang berada di Gaza, dipaksa untuk membayar harga yang mahal untuk pelanggaran tersebut: penerapan pengepungan parah yang digambarkan oleh ahli sejarah Israel, Ilan Pappe pada tahun 2006 sebagai “genosida“.
Namun pengepungan yang mematikan tersebut tidak cukup untuk memuaskan rasa haus Israel atas darah rakyat Palestina. Rakyat Palestina di Gaza menolak untuk menerima dengan pasif pengepungan Israel, seperti seorang pribumi yang baik seharusnya lakukan. Oleh karena itu Israel dengan ganas menyerang Gaza dalam tiga serangan mengerikan pada tahun 2006, 2009, 2012 dan kembali tahun 2014.
Dalam semua serangan tersebut, rakyat Gaza ditinggalkan untuk berhadapan dengan salah satu tentara terkuat di dunia – sebuah tentara yang memiliki ratusan peluru nuklir, ribuan tentara yang bernafsu membunuh yang dipersenjatai dengan tank Merkava, F 16, helicopter Apache, Kapal perang dan bom fosfor y ang dibuat di Amerika Serikat. Gaza tidak memiliki tentara, tidak ada angkatan laut dan tidak ada angkatan udara. Dan meskipun begitu Israel selalu mengklaim bahwa mereka berada dibawah ancaman dan mengkhawatirkan keselamatan mereka!
Keterlibatan
Memberikan komentar mengenai situasi di Gaza, Karen Koning AbuZayd, mantan komisioner jenderal untuk UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, mengatakan pada tahun 2008: “Gaza berada diambang menjadi daerah pertama yang secara sengaja direduksi menjadi dalam kondisi kemiskinan yang hina dengan pengetahuan, persetujuan dan–beberapa orang akan mengatakan–dorongan dari masyarakat internasional“.
Kita di Gaza mengetahui dengan baik bahwa Israel tidak dapat melancarkan perang genosidanya saat ini, didahului dengan pengepungan yang mengerikan dan serangkaian pembantaian sebelumnya, tanpa lampu hijau dari apa yang disebut sebagai komunitas internasional.
Seolah ingin mengatakannya, seorang tentara Israel dikutip oleh koran Israel, Haaretz pada tahun 2009: “Itulah yang begitu baik, seharusnya, tentang Gaza: Kau melihat seseorang dijalan, berjalan di trotoar. Dia tidak harus bersenjata, kau tidak harus mengidentifikasi dirinya dengan apapun dank au bisa begitu saja menembaknya“.
Namun agresi ini tidaklah baru; tidak ada satupun dari perang ini yang merupakan respon terhadap roket Qassam yang ditembakan dari Gaza. Konvensi Geneosida tahun 1948 jelas menyatakan bahwa salah satu contoh dari genosida adalah “akibat sengaja dari kondisi kehidupan yang dibuat untuk membawa kehancuran fisik dari rakyat secara menyeluruh atau sebagian“.
Sara Roy, seorang ahli mengenai Gaza, menggambarkan Jalur Gaza sebagai berikut :
(Gaza adalah) sebuah tanah yang tercabik dan terluka, kehidupan rakyatnya suram. Gaza semakin membusuk dibawah beban kehancuran, tidak mampu berfungsi secara normal…
Penurunan dan pelumpuhan ekonomi dan masyarakat Gaza telah disengaja, merupakan hasil dari kebijakan Negara–direncanakan secara sadar, diterapkan dan dipaksakan. Meskipun Israel memikul tanggung jawab paling besar, Amerika Serikat dan Uni Eropa, diantara yang lainnya, juga bersalah… Semua terlibat dalam kehancuran tempat yang indah ini. Dan seperti kematian Gaza dengan sadar dirancang, demikian juga hambatan yang mencegah pemulihannya.
Food and Agriculture Organization serta World Food Program menyatakan pada laporan tahun 2009: “Bukti telah menunjukan bahwa populasi dibuat bertahan dengan standart kemanusiaan yang paling minim“.
Seperti Ilan Pappe berpendapat di Out of the Frame, diskursus utama di Israel adalah tentang kebutuhan untuk menghancurkan Gaza selamanya: “hari ini dari kiri ke kanan, dari akademisi hingga media, orang dapat mendengar kemarahan yang sah mengenai sebuah negara, yang jauh dibandingkan yang lainnya didunia ini, menghancurkan dan menyingkirkan populasi pribumi”.
Dan sekarang, dengan melihat serangan udara yang terus meningkat, hasutan dari jenderal-jenderal dan politisi haus perang Israel, Israel sedang menerapkan ideology tersebut kedalam praktek. Seiring hari kamis sore, waktu Gaza, statistic terakhir mengerikan: 237 teawas, dan lebih dari 50 orang diantaranya adalah anak-anak, dan 1.770 orang luka-luka, menurut menteri kesehatan Gaza, dan lebih dari 1.600 rumah dihancurkan di siang hari.
Dan meskipun begitu mereka yang berada dalam kekuasaan, tidak mengejutkan, masih membela “hak membela diri” Israel, dengan mudah melupakan atau dalam kasus Pemerintahan Obama, menyangkal bahwa mereka yang ditindas dan disingkirkan memiliki hak untuk melawan penindasanya. Israel bertekad untuk menghancurkan Gaza dan badan-badan seperti pemerintahan resmi internasional seperti Obama berulang kali menyatakan komitmen mereka untuk “keamanan” Israel seperti kaset rusak, tanpa memperdulikan nyawa rakyat Palestina.
Mendesak
Persoalan mendesak yang menghadapi kami semua di Gaza bukanlah sekedar bagaimana bertahan hidup setiap hari, namun bagaimana membuat Israel bertanggung jawab terhadap hukum internasional dan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia; bagaimana untuk menghentikan pembantaian yang saat ini meningkat dan terjadi terus menerus dan bagaimana menghentikan ini agar tidak terjadi lagi.
Mengetahui bahwa laporan Goldstone yang kredibel mengenai tersangka penjahat perang di Gaza pada tahun 2008-2009 serta laporan oleh Amnesty International dan Human Rights Watch semua diabaikan atau dirusak, terdapat kesadaran pahit bahwa kita di Gaza tidak bisa mengharapkan pertanggung jawaban Israel atas serangan saat ini. Namun ini hanya dalam jangka waktu pendek–dalam jangka waktu panjang, kita mengetahui bahwa Israel akan dipaksa bertanggung jawab atas penindasannya terhadap rakyat Palestina karena penindasan akan berhenti suatu hari nanti. Sejarah tidak memiliki cara yang lain.
Apa yang dibutuhkan rakyat Palestina dari dunia saat ini bukan sekedar mengutuk pembantaian dan pengepungan Gaza, namun juga delegitimasi terhadap ideologi, yang menghasilkan kebijakan tersebut dan membenarkannya secara moral dan politik, seperti juga ideologi rasis apartheid didelegitimasi.
Namun tampaknya, dan lagi, seperti dicatat Ilan Pappe, bahwa bahkan kejahatan keji, seperti genosida di Gaza, diperlakukan sebagai “peristiwa yang berbeda, tidak berhubungan dengan kejadian dimasa lalu dan tidak berhubungan dengan ideologi atau sistem apapun“.
Pendukung Palestina harus selalu menghubungkan pembantaian hari ini dengan dosa asal dari kolonialisasi terhadap tanah yang diklaim oleh Israel untuk dirinya sendiri dan penyingkiran rakyat pribuminya.
Jendela harapan datang dari pelajaran yang kita ambil dari Afrika Selatan, dimana rejim apartheid yang buruk berada didalam tekanan dari luar. Sudah waktunya bagi masyarakat sipil internasional, bertentangan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tidak efektif, untuk menggandakan dukungannya bagi perjuangan kami melawan apartheid di Palestina hari ini. Seiring rakyat Palestina berada didalam pengepungan Israel, pendudukan dan apartheid, kami semakin mengandalkan hukum dan solidaritas internasional untuk keberlangsungan hidup kami. Bahwa solidaritas dibutuhkan jauh lebih besar hari ini.
Cara terbaik untuk menghormati mereka yang terbunuh, luka dan menjadi tuna wisma di Gaza adalah untuk bersuara semakin keras dan menuntut pemerintah untuk menerapkan sanksi terhadap Israel. Sekarang adalah waktunya untuk meningkatkan jumlah universitas dan bisnis yang memboikot Israel. Sekarang waktunya untuk menuntut divestasi dari lebih banyak dana pension. Sekarang waktunya untuk lebih banyak negeri memutus semua hubungan dengan Israel.
Sebuah negeri yang gagal mematuhi hukum internasional, yang menolak menarik diri dari tanah Arab yang diduduki sejak tahun 1967, yang mempraktekan rasisme terhadap penduduk Palestinanya, yang menolak mengijinkan pengungsi Palestina kembali ke rumah dan tanah mereka, adalah negeri yang seharusnya dikeluarkan dari semua komunitas internasional. Solidaritas internasional dengan Gaza dan rakyat Palestina menuntut tidak kurang dari isolasi sepenuhnya terhadap apartheid Israel.
Oleh : Haidar Eid
(Haidar Eid adalah seorang komentator politik independen dari Jalur Gaza, Palestina).
Diterjemahkan oleh Ignatius Mahendra Kusumawardhana dari situs The Electronic Intifada.
Comment here