Opini PembacaPerspektif

Pilpres 2014: Perang Elit Pemodal Bukan Perang nya Rakyat ! — Selesai

Jokowi Prabowo

Dari uraian pada bagian 1 dan 2 sebelumnya, kita sedikitnya dapat menarik kesimpulan bahwa kedua capres yang ada sama-sama merepresentasikan kepentingan pemilik modal yang tentu akan mempertahankan sistem yang menguntungkan segelintir pemilik modal bernama kapitalisme. Dengan begitu mereka sebenarnya tidak akan mampu menjawab persoalan seluruh rakyat sebelum rakyat pekerja sendiri yang bergerak mengibarkan panji program dan menyusun kekuatan (politik) nya.

Namun Pemilu tanpa alternatif politik dari buruh dan rakyat sendiri memang selalu menyesatkan rakyat banyak. Seperti sekarang, kita sedang dihadapkan pada fanatisme rakyat yang tidak biasa. Fanatisme ini telah menularkan kesesatan berpikir rakyat karena melahirkan banyak prasangka dan pemahaman ‘diluar kelas’ seperti SARA (suku, agama, ras), kebangsaan/nasionalisme maupun pencitraan personal yang merupakan produk penguasa (sejak jaman perbudakan hingga sekarang) dalam menundukkan rakyat pada penindasan.

Bentuk kesadaran yang dirawat oleh penguasa itu pula alasan, pada awal nya, seorang buruh yang berjuang sering menganggap penindas nya adalah orang cina, jepang, korea, dan sebagainya yang adalah pemilik pabrik tempat ia bekerja. “Dasar korea!”, begitu contoh ungkapan buruh yang baru belajar berjuang. Pemahaman ‘kelas’ perlahan muncul saat buruh juga melihat elit/pemodal Indonesia yang berlaku tidak kalah kejam nya. Sampai akhirnya kaum buruh mampu mengenal hakikat ‘kelas’ dari sejarah masyarakat dan mengambil tanggung jawab perjuangan yang ‘lebih dari sekedar untuk dirinya’, baru lah kaum buruh dikatakan memasuki kesadaran kelas nya.

Demikian ilusi ‘program kerakyatan’ yang seakan-akan dapat dijalankan para pemodal ikut memundurkan kesadaran kelas yang akhirnya melengkapi ‘kemasan’ para calon presiden dihadapan rakyat sebagai ‘konsumen politik’ mereka. Kesemua hal itu pastinya harus kita bongkar dan lawan sekuat tenaga bagi derap maju kekuatan politik kelas buruh. Persaingan diantara mereka telah membantu kita membongkar keduanya.

Namun itu baru awalan saja. Tanpa kekuatan alternatif, ketidakpercayaan terhadap seorang elit hanya akan beralih pada kepercayaan terhadap elit lainnya. Disini lah fanatisme yang terjadi sekarang dapat dimengerti sebagai tanda bahwa rakyat sedang menaruh harapan besar pada perubahan. Rakyat sedang gigih mencari jalan keluar. Alasannya, bukan hanya karena 10 tahun hidup teraniaya dibawah rejim SBY (yang pro modal dan pasar bebas). Tetapi lebih dari itu, 16 tahun sejak reformasi, belum satu pun pemerintahan berhasil mengangkat rakyat pada posisi sejahtera dan berdaulat seperti yang diharapkannya saat menumbangkan Soeharto. Sebagian rakyat kini menuntut perubahan yang melebihi reformasi.

Sial nya ‘bola harapan’ itu memang masih bergulir diantara dua pasang elit yang hari ini bertempur dengan menyisakan politik kelas buruh jauh di belakang nya. Namun kita tidak perlu khawatir jika harus berada di belakang punggung elit politik yang sedang saling membongkar kebusukan mereka. Asal yang harus tetap dipastikan, politik alternatif kelas buruh memang sedang terus menyiapkan kekuatannya dengan meyakinkan organisasi buruh dan rakyat untuk menjadi unsur dan agen politik alternatif itu sendiri. Namun nampaknya meyakinkan lewat kata-kata saja memang tidak cukup. Harus ada upaya serius dalam membangun langkah-langkah nyata dari setiap unsur yang lebih dulu sadar dalam menyadarkan yang lainnya.

Namun demikian, ketika kita memberi garis pembeda terhadap dua wakil kelas pemodal, merupakan kesalahan juga jika kita menyamakan kedua pasang calon dalam keseluruhan isi gagasan dan metode nya terhadap rakyat. Karena dengan begitu, kita membuang sama sekali kekhususan dari segala keumuman yang ada bagi siasat gerakan kita. Taktik yang dimaksud tidak lain adalah upaya memperlancar konsolidasi politik alternatif kelas buruh itu sendiri.

Prabowo dan Jokowi, misalnya, terbedakan dalam melihat bagaimana Indonesia harus ‘berdiri diatas kaki sendiri’, dalam arti kemandirian nasional. Jokowi lebih ‘memutar’ lewat pembangunan (mental) manusia nya, namun yang implementasi dan target nya masih abstrak. Sedangkan Prabowo lebih ‘lurus’ pada kebocoran kekayaan, namun yang cara mengatasinya juga masih abstrak. Apalagi jika usaha menutup kebocoran hendak dijalankan dalam gandengan tangan bersama ‘rejim pembocor’ (SBY-Hatta). Disini ‘berputar’ nya konsep Jokowi justru lebih memberi ruang bagi penyapuan masalah-masalah rakyat dan partisipasi banyak orang –rakyat dan pemodal tentunya– untuk terlibat dalam tujuan kemandirian nasional yang dimaksud. Sedangkan Prabowo yang lebih mengambil konsep ‘lurus’ justru lebih menyederhanakan masalah kemandirian pada kebocoran semata, serta menyentralisasi peran pemerintah beserta koalisi elit nya dalam menangani kemandirian nasional yang dimaksud. Oleh karena nya, Prabowo yang lebih banyak berjanji (ketimbang Jokowi) juga akan lebih banyak berpeluang tidak menepati janji nya, khususnya pada hal-hal yang menyangkut persoalan rakyat pekerja (upah, lapangan pekerjaan, dsb). Alasannya satu, karena kemandirian nasional tidak selalu bergaris lurus dengan kepentingan rakyat.

Rakyat pekerja tentu saja membutuhkan kemandirian nasional untuk bebas dari imperialisme, berdaulat secara politik dan membangun dunia yang adil berkemanusiaan sepenuhnya. Tapi kemandirian nasional bukan lah sikap acuh terhadap bangsa-bangsa lain yang memiliki masalah serupa atau terhadap bumi yang dihuni rakyat seluruh dunia. Disini kemandirian nasional harus lah dipahami sebagai syarat bagi pengangkatan derajat hidup rakyat dan kedudukan yang sejajar dalam menghadapi penindasaan kapitalisme global (imperialisme) dimanapun. Dengan begitu, kemandirian nasional tidak akan mengarah pada pembalikan eksploitasi Indonesia terhadap bangsa-bangsa lain yang terpuruk dan tidak memiliki syarat (kekayaan negeri) untuk sejahtera. Dalam pengertian ini, kemandirian nasional harus lah dilekatkan pada prinsip ‘keadilan bangsa dan rakyat sedunia’.

Terlebih dari itu, sejarah selalu memberi petunjuk untuk mendasarkan kemandirian nasional pada ‘kemandirian rakyat pekerja’ itu sendiri, agar terbebas dari kecurangan pemodal yang selalu main mata dan berkolaborasi antar sesama mereka secara internasional. Seberapa pun tebal nya ‘merah-putih’ dihati para pemodal, dia tidak akan melebihi tebal nya kesamaan kepentingan mereka sesama pemodal di seluruh negara untuk mempertahankan kapitalisme yang sudah semakin jalin-menjalin diantara negara. Demikian juga rakyat pekerja di seluruh dunia mengalami takdir kesamaan sebagai korban dalam kapitalisme.

Dalam pengertian yang lain, Jokowi atau Prabowo bisa-bisa saja mampu memberi kesejahteraan pada rakyat pekerja dalam periode tertentu oleh kekayaan Indonesia yang berlimpah. Namun kapitalisme yang kita kenal selalu lebih licin dari apa yang diduga rakyat pekerja maupun pemodal itu sendiri. Ketika ekonomi bertumbuh (entah karena sektor riil atau finansial) dan gerakan rakyat meningkat, mungkin masih ada uang untuk menaikkan upah atau mendanai semua program kesejahteraan rakyat. Sebaliknya ketika krisis terjadi, yang mana sulit ditentukan oleh Indonesia sendiri, sektor riil yang paling membanggakan pun dapat berubah menjadi kerugian. Kita sudah pernah menyaksikannya pada komoditi tekstil, minyak bumi, CPO ataupun properti, dll. Siapa yang rugi? Tentu harusnya pemodal yang mempertaruhkan modal nya dalam persaingan. Namun bukan negara pemodal namanya jika tidak mampu memfasilitasi modal dan akumulasi nya. Sehingga yang terjadi di banyak penjuru dunia justru para pemodal (utama) bisa aman, hutang-hutangnya ditanggung negara–seperti hutang swasta pada 1997-1998, sedangkan rakyat pekerja harus menanggung kerugian dari apa yang ia tidak perbuat: upah dipotong, kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah, kehilangan jaminan sosial. Dalam kata lain, rakyat pekerja yang sudah berhasil mendapatkan kelayakan hidup dari perjuangan pun sewaktu-waktu dapat kehilangan kembali hak nya atas kelayakan hidup saat pertumbuhan merosot dan perjuangan meredup.

Untuk hal itu lah kebebasan berorganisasi sebagai wadah-wadah perjuangan untuk menuntut hak tidak boleh di nomor-dua kan. Dan oleh sebab itu pula perjuangan politik (merebut negara) harus terus dilancarkan kaum buruh dan rakyat agar tidak terus-menerus menjadi korban dari sistem kapitalisme yang semakin tidak masuk akal. Oleh karenanya, kemandirian nasional yang kita maksud bukan lah konsep yang memisahkan, mempertentangkan bahkan menukarkan antara kemakmuran rakyat dan kebebasan rakyat.

Dibalik kenyataan itu, sebagian unsur rakyat yang terorganisir di berbagai gerakan rakyat sudah menyatakan dukungan nya kepada salah satu calon dengan beragam alasan. Ada dukungan yang signifikan karena memengaruhi ratusan ribu anggota serta mengerjakannya dengan program atau gerakan tertentu, tetapi ada pula dukungan yang tidak signifikan karena hanya segelintiran anggota–bahkan ada yang hanya pimpinan– dan hanya dalam bentuk pernyataan tanpa suatu gerakan tertentu. Dari sekian banyak alasan, ada tiga yang paling mengemuka: ‘terbaik dari yang terburuk’, ‘mendorong maju’ dan ‘situasi terjepit’. Lalu bagaimana cara kita menilai dan mengukurnya? Apa strategi dan taktik kita dalam situasi kongkret itu?

Reformasi 98Melampaui Siapa Yang Berkuasa

Apa yang membuat pemilu kali ini berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya sebenarnya bukan lah karena Prabowo yang diduga otoriter atau fasis sedang maju sebagai capres. Bukan juga karena Jokowi yang diduga populis dan demokratis sanggup melanjutkan reformasi sampai ke tingkat yang paling tinggi. Namun terletak pada kenyataan bahwa pemilu kali ini digelar setelah meningkatnya gelombang perlawanan kaum buruh dan rakyat dalam 2 tahun terakhir. Dari situ kita mampu mendapat fakta lain bahwa gerakan buruh dan rakyat hari ini sedang mengalami penurunan ditengah tidak menurunnya pelanggaran terhadap hak-hak buruh dan rakyat. Ini mengartikan bahwa ilusi terhadap pemilu telah berhasil menginterupsi perkembangan gerakan rakyat, walau kepeloporan banyak unsur gerakan masih terus merawat nya.

Berangkat dari itu, melihat Pemilu 2014 sebagai ajang yang menyeret rakyat paling apolitis sekalipun masuk kedalam ‘politik’ seharusnya bukan lah sekedar melihat mana calon yang paling menguntungkan rakyat dan gerakan, tetapi terutama melihat peluang penyebaran dan pemajuan gagasan politik kelas bagi tumbuh dan menguatnya kesadaran kelas di kalangan gerakan dan rakyat yang sedang bangkit. Tanpa ini, kita tidak berangkat dari suatu (tanggung jawab meningkatkan) kesadaran kelas yang tumbuh secara pasti bagi perjuangan selanjutnya.

Faktor utama dari penurunan gerakan buruh misalnya, adalah menurun nya pendidikan politik dan arahan berjuang dari para pemimpin organisasi serta masih banyaknya hambatan berorganisasi dari negara. Beberapa nya juga dipengaruhi oleh digantikannya ‘go-politik massa’ dengan ‘go-politik pimpinan’ (baca: demokratisasi organisasi) yang disogok bermacam janji elit pemodal agar tidak bergerak lebih jauh, apalagi sampai membangun partai nya sendiri. Instrumen politik modal yang hari ini sedang bertarung sama-sama tidak menginginkan lahirnya kekuatan politik (alternatif) ini. Dengan begitu, alasan ‘terbaik dari yang terburuk’ (seharusnya) merupakan suatu kepastian yang memudahkan laju politik kelas buruh itu sendiri. Kemudahan tersebut adalah bentukan dari bertambah ringan nya beban hidup rakyat sebagai kondisi yang memberi keluangan waktu untuk belajar dan berorganisasi bagi rakyat, serta bertambah luas nya ruang berorganisasi dan berpolitik bagi rakyat.

Mari kita coba simulasikan. Prabowo dianggap lebih buruk dan berbahaya bagi kebebasan rakyat karena menyerap banyak gagasan orde baru. Tanda-tanda yang sangat jelas (selain penjelasan pada bagian 2 tulisan ini) adalah ketika Prabowo satu-satunya yang berjanji memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto. Disaat yang sama, Prabowo juga yang paling gemar mengumpulkan di sisinya elemen-elemen yang hobi melakukan kekerasan kepada sesama rakyat semacam FPI, Pemuda Pancasila, Gibas dan sebagainya. Jika kekuatan anti-rakyat yang digalang Prabowo terkonsolidasi dengan baik, naiknya Prabowo menjadi presiden tentu berpeluang mengecilkan ruang demokrasi dan kebebasan yang menjadi fondasi dari kebebasan berorganisasi.

Namun sebagian disisi lain menganggap Prabowo lebih baik karena satu-satunya yang mau berjanji terhadap program tuntutan buruh atau rakyat, misalnya kontrak politik sepuluh tuntutan buruh dan rakyat (sepultura) yang dibawa oleh FSPMI/KSPI. Jika diasumsikan Prabowo menang dan memegang janji nya atas kontrak politik ini, gerakan buruh khususnya FSPMI kemungkinan besar tidak jadi menggelar mogok nasional. ‘Go politik’ dapat terlempar ke belakang lewat suara sumbang “kalau kita sudah sejahtera, buat apa lagi bangun partai untuk memengaruhi kebijakan/berkuasa?” Tentu saja ini tidak benar dan harus dijelaskan lebih panjang, bahwa upah bukan lah segalanya bagi kesejahteraan. Tapi jika kontrak ini diingkari (atau ditukarkan dengan jabatan tertentu kepada pimpinan), potensi untuk membongkar ilusi dan kebohongan Prabowo, potensi meningkatkan gerakan (khususnya buruh) sekaligus menggantikan ‘penghianat perjuangan massa’ menjadi lebih besar. Namun disaat yang sama potensi ini dibarengi potensi hambatan yang tumbuh tidak kalah besar dari negara yang dijalankan lebih militeristik –jika benar konsolidasi pendukung Prabowo menguat di belakang negara– seperti di jaman orde baru. Siap kah kita? Tidak perlu dijawab sekarang.

Kita masih punya kemungkinan lain. Jika Jokowi naik menjadi presiden dan dia konsisten dalam penangguhan upah, pencabutan subsidi atau kebijakan memiskinkan lainnya, ini akan menjadi bahan bakar bagi konsolidasi perjuangan politik rakyat pekerja lebih jauh. Disana kita dapat sedikit demi sedikit membongkar ilusi yang terkandung dalam Jokowi. Namun itu terjadi disaat gerakan buruh dan rakyat juga dibebani oleh kemungkinan meningkatnya kembali romantisme ilusi terhadap Prabowo (yang kalah). Jika Jokowi pun mampu mengakomodir tuntutan-tuntutan rakyat dalam periode tertentu, ilusi lama pun dapat hadir dengan lantang: “kalau kapitalisme bisa harmonis, buat apa diganti? Kalau dengan partai yang ada bisa, buat apa bangun partai lagi?

Oke, cukup dulu kita berandai-andai. Itu hanya sedikit ocehan bagi proyeksi langkah-langkah gerakan selanjutnya. Dalam hal ini kita juga tidak boleh menutup kemungkinan jika nantinya, dalam suatu gerakan yang besar, Jokowi atau Prabowo dapat menjadi pemimpin sejati gerakan rakyat. Seseorang dapat merubah pandangan-pandangan lama nya menjadi lebih progresif/maju dalam situasi yang berubah. Tetapi untuk menjadi pemimpin rakyat sejati, itu berarti Jokowi atau Prabowo harus terlebih dahulu meninggalkan kepentingan kelas nya, meninggalkan sekutu-sekutu politik (kelas) nya, menghibahkan perusahaan-perusahaan miliknya menjadi milik rakyat, lalu melebur menjadi satu dalam gerakan rakyat. Dan kita tidak akan menaruh peluang paling mustahil ini bagi strategi kita.

Sampai disini, ‘terbaik dari yang terburuk’ dalam pengertian yang pasti menguntungkan bagi perjuangan politik kelas buruh masih belum terlihat jelas. Dalam ketidakjelasan itu alasan ‘mendorong maju’ tidak seluruhnya tepat tanpa adanya kekuatan yang dapat dijadikan pendorong. Dalam logika sederhana, seorang pejabat atau politisi yang tidak berjanji dapat didorong sebuah kekuatan (aksi) agar menjanjikan sesuatu. Setelah janji dikeluarkan, ‘dorongan’ kedua adalah bagaimana pejabat atau politisi tersebut melaksanakan janjinya. Dorongan tahap kedua ini yang selalu lebih sulit, karena pejabat atau politisi sudah mempersiapkan diri. Baik dengan menyangkal, mengelabui, menyuap, melempar tanggung jawab, maupun menyerang balik agar tidak ada dorongan untuk menepati janji. Secara mendasar, pemodal tidak pernah mau menjalankan janji kalau pada kenyataannya janji itu merugikan diri sendiri. Pembatalan sepihak perjanjian bersama buruh-pengusaha yang dibarengi pemberangusan serikat di banyak pabrik di Bekasi membuktikan hal ini.

Begitu juga alasan ‘situasi terjepit’ (yang datang khusus dari pendukung Jokowi) terlihat meninggalkan kepercayaan sama sekali terhadap kenaikan gerakan 2 tahun terakhir. Bagi pengusung nya, 9 Juli sangat menentukan hidup dan mati gerakan tanpa adanya peluang memengaruhi setelahnya. Sehingga ketakutan berlebih terhadap Prabowo harus dilakukan dengan menutupi kritik dan pembongkaran terhadap Jokowi atau bahkan melebih-lebihkan populisme Jokowi.

Sedangkan disisi yang lain, satu-satunya faktor yang mampu membangkitkan gerakan adalah justru kesadaran kelas yang butuh dikuatkan dalam fase penurunan kesadaran umum akibat dominasi kesadaran non-kelas (palsu). Seruan mendukung salah satu dapat mengabaikan perihal mendasar ini. Apalagi untuk menentukan dukungan pada yang ‘terbaik dari yang terburuk’ sekarang, kita tidak bisa mendasarkan nya pada situasi dan faktor yang mungkin ada nanti. Kita harus bergerak dari situasi dan faktor yang pasti, sekecil apapun hasil yang bisa diraih.

Tentu kita harus mengatakan calon yang mengaspirasikan gagasan orde baru (Prabowo) lebih buruk dan lebih berbahaya dibanding kompetitornya. Hal ini membutuhkan pembongkaran yang lebih sabar dan berlapis dari sekedar masalah pelanggaran HAM atau mendukung Jokowi membabi-buta. Karena mendukung calon yang belum bersikap terhadap orde baru dan neoliberalisme pun tidak mengajarkan apa-apa, selain berjudi pada keresahan rakyat yang terpolarisasi kedalam dua kubu. Mengapa?

Pertama, Orde baru lebih buruk dibandingkan era sekarang karena orde baru adalah satu-satunya jalan bagi Indonesia yang tidak berdiri di atas kaki sendiri seperti sekarang. Ketergantungan pada hutang, ketergantungan pada investasi dan juga teknologi membuat Indonesia menjadi negara yang tidak berdaulat dalam melindungi rakyat nya. Orde baru sekaligus awal dari kebijakan politik upah murah, perampasan tanah, penghancuran lingkungan dan pembungkaman kebebasan rakyat demi akumulasi modal. Reformasi hanya dapat dilihat sebagai pendalaman penindasan kapitalisme (dalam bentuk neoliberalisme) akibat krisis yang disebabkan oleh krisis kapitalisme global dan krisis kapitalisme model orde baru itu sendiri. Disini kapitalisme orde baru perlu dipahami sebagai kapitalisme yang mengakumulasi modal nya dengan pengecilan ruang kebebasan dan persaingan serta perampingan struktur elit politik yang dibekingi militer dan paramiliter [31]. Dalam kata lain, kapitalisme neoliberal hari ini hanyalah hasil dan lanjutan dari fondasi kapitalisme orde baru yang menindas tidak kalah eksploitatif nya.

Namun kedua, adanya gagasan orde baru pada Prabowo tidak membuat otoritarianisme atau kapitalisme orde baru dapat muncul kembali sedemikian mudah. Pembalikan reformasi membutuhkan syarat yang masih sulit dipenuhi oleh hadirnya capaian-capaian reformasi sekarang ini. Kebebasan pers, kebebasan berkumpul, mendapat informasi publik, dan sebagainya adalah kebebasan yang masih akan sulit dirampas dari rakyat dalam periode yang singkat. Ditambah pula, dukungan terhadap Prabowo tidak selalu dapat disimpulkan sebagai persetujuan para pendukung terhadap (gagasan dan praktek) orde baru. Dalam hal ini pula kalangan gerakan masih banyak yang sedang berada dalam hiruk-pikuk mendukung Prabowo tanpa melihatnya sebagai representasi orde baru. Berhadapan dengan itu, sikap menolak yang satu harus lah dilakukan sedemikian rupa tanpa menyisakan ilusi yang baru terhadap pilihan lainnya.

Ketiga, dalam tradisi politik elit yang sangat tidak memiliki garis pembeda (baca: oportunis), siapa pun yang menang akan dimungkinkan menjalin persekutuan dengan pihak yang kalah lalu saling menukar gagasan nya. Tidak ada permusuhan abadi diantara mereka. Artinya jika Jokowi pun menang, situasi tertentu dari dinamika elit dan krisis tetap memberi peluang bagi Jokowi untuk mengembalikan kapitalisme orde baru tanpa harus menunjukkan pandangan nya terhadap orde baru. Disini kita dapat terjebak dalam dinamika situasi yang dilahirkan politik elit itu sendiri.

Terakhir, jika pun peluang ‘kebangkitan orde baru’ ada mengingat massif nya propaganda ‘piye kabare’, kita tidak harus lebih takut dibandingkan lebih yakin pada capaian reformasi khususnya ‘persatuan kelas buruh/rakyat’ yang juga berpeluang berbalik melawan nya. Konon lagi jika semua (dukungan) itu dilakukan dengan menghilangkan atau menunda pembongkaran terhadap Jokowi yang membuat kemandirian dan kepercayaan diri kelas (sebagai modal pembangkitan gerakan) menjadi ikut dilemahkan. Justru dibalik dukungan tanpa syarat lah sebenarnya seorang elit lebih mudah bergeser ke posisi otoriter karena merasa didukung melakukan segala hal.

Oleh karenanya, tugas menghadang ‘kebangkitan orde baru’ harus lah diletakkan pada garis program yang lebih jelas dan tegas melampaui dari persoalan dukung-mendukung. Penolakan Soeharto sebagai pahlawan nasional misalnya, sudah tepat dijadikan garis simbol menolak jasa kapitalis Soeharto. Namun gerakan anti orde baru harus melebihi dari simbol-simbol. Bentuk-bentuk militerisme, budaya politik feodal (asal pimpinan senang, anti-kritik, dsb), kebebasan berorganisasi, dan sebagainya, perlu dijadikan titik fokus dalam menangani penyakit-penyakit lama elit yang (belum hancur dan hendak) bangkit kembali ditengah ‘gagal’nya 16 tahun reformasi. Sehingga dengan begitu, siapa pun yang menang, kita tidak hanya akan berpangku tangan (atau menunggu sampai Pemilu 2019) saat rejim mulai menerapkan gaya ‘orde baru’ nya.

kuasa rakyatMembangun Politik Alternatif, Lebih Dari Sekedar Golput

Pemilu Presiden 9 Juli bukan lah segalanya. Termasuk untuk memakmurkan rakyat atau menghadang orde baru jilid 2. Kita tidak dapat hanya berpikir formal bahwa ‘kemungkinan lebih buruk’ harus dihindari sekuat tenaga sampai harus mendukung ‘kemungkinan lebih baik’ tanpa memperhitungkan yang lebih baik dapat menjadi lebih buruk jika politik kelas buruh tidak mulai dibangun dengan lebih tegas dan jelas.

Ratusan, ribuan, atau mungkin puluhan ribu rakyat pekerja berkesadaran dan berkemandirian kelas mungkin sangat tidak berpengaruh jika diukur lewat suara dalam pemilu. Namun jumlah itu akan menjadi modal yang sangat penting bagi kelanjutan gerakan ‘diluar kotak suara’ ke depan. Maka sebenarnya, bukan lah kekuatan ‘musuh’ yang harus lebih ditakuti, melainkan tidak terwujudnya persatuan perjuangan diantara kaum gerakan dan rakyat itu sendiri.

Untuk memacu hal tersebut, maka politik alternatif yang kali ini diberi simbol “O” bertugas membantu rakyat pekerja mempercepat kesimpulan nya pada rejim dan sistem. Politik “O” tidak sedang mengorganisir golputers sebagai bahan dasar pembangunan partai. Walaupun memilih untuk golput (aktif) adalah konsekuensi dari sikap aktif dalam membongkar ilusi dan kebusukan kedua calon pada momentum pemilu. Dengan itu politik “O” tidak ingin menghalangi setiap pihak yang masih berkeinginan untuk memilih calon nya dengan alasan-alasan yang lebih masuk akal ketimbang alasan SARA, nasionalisme sempit atau personalitas (tegas-sederhana). Misalnya memilih Prabowo karena setuju program upah dan kesehatan atau memilih Jokowi karena setuju program pendidikan dan penegakan HAM. Tapi disaat yang sama politik “O” berharap dapat membantu setiap elemen (yang masih menjadi) pendukung capres agar keluar dari ilusi dan fanatisme dalam pertarungan elit yang ada, karena belum ada jaminan apa pun bahwa program tersebut akan dilaksanakan, apalagi tanpa mengorbankan program kerakyatan lainnya. Dengan begitu, memilih salah satu calon dengan alasan programatik sekalipun tidak dapat sekedar disandarkan pada 9 Juli tanpa terus-menerus membangun kekuatan gerakan alternatif rakyat itu sendiri.

Politik “O” akan senang jika gerakan rakyat mampu menggelar evaluasi akbar gerakan dalam merespon Pemilu 2014, sampai secara terbuka membangun gerakan menagih janji-janji elit setelah pesta nya usai. Diluar tagihan atas janji-janji elit, kesejahteraan dan kebebasan adalah dua hal yang tidak bisa ditawar untuk terus diperjuangkan. Tanpa janji pun, harga-harga yang murah akan tetap kita perjuangkan. Tanpa janji pun, rumah yang layak akan terus kita perjuangkan. Tanpa kontrak politik pun, pendidikan, kesehatan, air bersih, status kerja, lingkungan, kesetaraan dan sebagainya akan tetap menjadi garis dari perjuangan kita.

Para pendukung Prabowo dituntut lebih bertanggung jawab jika kekuasaan Prabowo melanggar sepultura atau menghambat pergerakan rakyat lainnya. Demikian juga pendukung Jokowi dituntut lebih bertanggung jawab jika kekuasaan Jokowi memiskinkan rakyat dan melemahkan kekuatan rakyat. Sedangkan politik “O”, akan tetap bertanggung jawab menyalakan api perjuangan dan menggalang persatuan rakyat seluas-luasnya –baik dari mantan pemilih Jokowi atau mantan pemilih Prabowo– bagi upaya pembangunan gerakan alternatif (bebas dari elit) serta pembangunan alat politik alternatif (buruh dan rakyat) sejak dini, siapapun presiden nya. Pada akhirnya, tugas rakyat pekerja sadar kelas adalah meyakinkan dan memampukan rakyat pekerja Indonesia untuk berkuasa sebagai satu-satunya jalan bagi perwujudan masyarakat adil dan makmur.

Selesai

 

Oleh: Kibar, Anggota KPO PRP

Keterangan (bagian 1, 2 dan 3):

[1] http://www.kabarmakassar.com/index-berita-2/item/14162-ruu-keperawatan-tak-disahkan-mahasisawa-bakar-kartu-pemilih.html
http://www.antaranews.com/berita/420384/kelompok-suku-anak-dalam-113-ancam– -golput-di-pemilu-2014
http://m.liputan6.com/foto/1/2016165/0/foto-guru-honorer-ancam-golput-jika-tak-jadi-pns
http://news.detik.com/surabaya/readfoto/2014/06/09/123314/2602828/473/5/warga-dolly-dan-jarak-ancam-jadi-golput
http://www.tribunnews.com/regional/2014/06/09/terancam-digusur-pedangan-pasar-di-banyuwangi-ancam-golput
[2] http://www.tribunnews.com/regional/2014/06/03/dua-tukang-becak-berkelahi-gara-gara-capresnya-dihina
[3] http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/06/15/bentrok-di-bundaran-hi-guruh-kecewa-sikap-polisi-biarkan-pendukung-prabowo-hatta
[4] http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2055242/amien-rais-prabowo-hatta-pakai-strategi-perang-badar
[5] http://edisicetak.joglosemar.co/berita/mengatasi-kemiskinan-di-solo-8334.html
[6] http://www.beritasingkat.com/berita/REALISASI+APBD+2013+%3A+Ketergantuan+Pemkot+Pada +Pemerintah+Pusat+Tinggi
[7] Salamudin Daeng, Jokowi dan Cengkraman Modal Cina, 2014
[8] http://finance.detik.com/read/2014/04/22/064939/2561402/4/utang-pemerintah-ri-turun-lagi-sisanya-rp-2422-triliun
[9] http://zetetick.blogspot.com/2013/10/kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional.html
[10] http://www.merdeka.com/peristiwa/jokowi-sarankan-buruh-beli-ambulans-ketimbang-demo-may-day.html
[11] http://www.gatra.com/nusantara-1/jawa-1/41572-asal-tidak-minta-kasur-dan-makan,-jokowi-izinkan-buruh-menginap-di-balaikota.html
[12] Dijelaskan Jokowi saat debat capres yang mengacu pada tulisan nya tentang “revolusi mental”
[13] http://www.jpnn.com/read/2014/05/08/233081/SBY-Sindir-Janji-Kampanye-Prabowo-
[14] http://partaigerindra.or.id/manifesto-perjuangan-partai-gerindra
[15] http://www.arahjuang.com/2014/06/17/notulensi-debat-capres-putaran-ii-15-juni-2014/
[16] http://www.rmol.co/read/2013/02/04/96901/Prabowo-Subianto-Dukung-Proyek-Hatta-Rajasa,-MP3EI
[17] Perusahaan outsourcing penyedia jasa keamanan milik Prabowo bernama Gardatama Nusantara
[18] http://www.bakrie-brothers.com/mediarelation/detail/3649/investasi-indonesia-ke-luar-negeri-diprediksi-masih-besar-di-2014
[19] http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/55712-prabowo_kelola_belasan_perusahaan
[20] http://www.tribunnews.com/tribunners/2014/06/07/prabowo-mimpi-dan-cita-cita-saya-wong-cilik-iso-gemuyu
[21]http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/16/1426360/Ini.Penjelasan.Hatta.Rajasa.soal.Kebocoran.Anggaran.Rp.1.000.Triliun
[22] Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta peristiwa 1998
[23] BPS, “Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2013”, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_ subyek=23%20&notab=7
[24] UU No.5/thn 1954 tentang keanggotaan RI dalam IMF dan IBRD; UU No.1/thn 1966 tentang penarikan diri RI dari keanggotaan IMF dan IBRD
[25] Agen CIA di tubuh Angkatan Darat terutama adalah A. H Nasution. Selengkapnya baca dalam buku “Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965”, Edward C. Keefer, Hasta Mitra, 2002.
[26] BPS: Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2013
[27] Dirjen Pengelolaan Utang, Kemenkeu RI: http://www.djpu.kemenkeu.go.id/index.php
[28] http://www.oocities.org/capitolhill/3925/sd8/prospek_8.html
[29] http://indocropcircles.wordpress.com/2013/03/04/kekayaan-suharto/
[30] Walau di era SBY nilai tukar dollar selalu berubah mengikuti kurs mengambang, namun standar kemiskinan pemerintah masih mengacu pada 1 dollar AS per hari.
[31] Richard Robison, “Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia”, Depok, Komunitas Bambu, 2012.

Loading

Comment here