Tulisan ini aku berikan untuk seluruh perempuan yang ada, untuk bisa meresapi apa yang akan kita alami 5 tahun kedepan pasca pemilihan presiden mendatang.
9 Juli nanti adalah pemilihan Presiden dan wakilnya, dimana hal tersebut merupakan ajang pertarungan antar elit pemodal, dan penentuan siapa pemenangnya, rakyat Indonesia dilibatkan untuk menggunakan hak suara nya. Pemilu yang akan datang merupakan “pesta” demokrasi nya kelas penguasa, sebuah “pesta” mahal untuk mengukuhkan kembali kekuatan dan kekuasaan borjuasi di atas kelas pekerja. Seperti diketahui, pemilu baik legislatif maupun eksekutif di Negara yang menghamba pada modal (KAPITALISME) adalah upaya pihak borjuis untuk melanggengkan kekuasaannya terhadap rakyat melalui presiden dan wakil nya sebagai antek penjamin kebebasan akan kepemilikan pribadi dan penghisapan terhadap kelas pekerja, agar praktek akumulasi modalnya tetap berlangsung dan terlindungi.
Lalu bagaimana dengan perempuan? Posisi tawar perempuan dalam ranah politik sangat kecil. Dalam sejarah nya hak politik perempuan direnggut untuk tidak mempunyai hak memilih dan dipilih. Berbicara tentang politik saat ini tentu bukan hanya bagaimana partai politik berkuasa, tapi juga membahas bagaimana kemudian perempuan dalam partai dan parlemen. Pencapaian ini bukan berarti tanpa perjuangan, melainkan melalui pergerakan- pergerakan politik. Berbeda dengan saat ini dimana perempuan diberi kesempatan untuk duduk diparlemen sebanyak 30 %, yang sering disebut sebagai affirmative action. Ini merupakan kemenangan kecil dari perjuangan perempuan. Namun tetap saja porsi tawar politiknya sangat kecil. Yang ingin saya pertegas adalah sejauh mana perempuan – perempuan yang ada diparlemen mendorong program–program yang ada tidak mendiskrimansi perempuan, bahkan bisa mendorong kemajuan kesadaran perempuan. Karena akan menjadi percuma perjuangan terdahulu perempuan yang menuntut diberikannya hak pilih dan memilih untuk kemudian terlibat dalam pengambilan keputusan, lalu secara kuantitas banyak diparlemen, tetapi masih banyak kebijakan yang mendiskrimansi para perempuan secara ekonomi, politik , sosial dan bahkan budaya.
Perempuan dan hak memilih dan dipilih
“ dalam komune primitive terdapat pemerintahan mandiri, disana kaum perempuan dan laki – laki yang dipilih untuk menjadi utusan berkumpul secara berkala dalam dewan–dewan koletif yang membuat keputusan–keputusan tentang persoalan internal. Selain itu dewan ini juga memilih pimpinan untuk melaksanakan keputusan komunitas didalam menyelesaikan berbagai perselisihan, baik melalui pertarungan maupun secara damai. Karenanya dewan ini dipilih dan dikontrol secara demokratis. Pimpinan yang gagal melaksanakan keputusan komunitas, pertama-tama akan diperingatkan untuk mengubah perilakunya, dan jikalau tidak mengindahkannya,pemimpin itu akan diberhentikan.”[1]
Dijaman komune primitive perempuan pernah mendapatkan hak politiknya seperti yang Engels gambarkan diatas. Namun semenjak kehadiran kepemilikan pribadi yang telah menyingkirkan kaum perempuan dan melemparkannya pada pekerjaan-pekerjaan domestik (baca: rumah-tangga) yang merenggut hak politiknya, perempuan justru tak memiliki hak memilih dan dipilih, bahkan bagi kepentingan hidupnya sendiri. Saya jadi teringat yang ditulis oleh Engels dalam bukunya asal–usul keluarga, kepemilikan pribadi dan negara yang mengatakan ‘ekploitasi kelas dan penindasan seksual atas perempuan lahir bersamaan dengan tujuan melayani kepentingan sistem kepemilikan pribadi dan itu berlaku sampai saat ini’.
Perjalanan perempuan tidak mudah untuk dapat terlibat dalam kehidupan politik. Butuh perjuangan panjang dan penuh pengorbanan untuk bisa mendapatkan hak politiknya. Di Indonesia sendiri perjuangan untuk hak pilih perempuan dimulai sejak jaman kolonial tahun 1918 hingga pada saat setelah kemerdekaan 1945. Perjuangan yang panjang ini mendapati keberhasilan kecil pada pemilu 1955. Pada pemilu pertama ini, perempuan tidak hanya mendapatkan haknya untuk dipilih dan memilih, bahkan ada partai perempuan yang turut bertarung, yakni Partai Wanita Indonesia/Partai Wanita Rakjat.
Setelah reformasi 98, kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik pun semakin terbuka.Ini ditunjukan dengan adanya affirmative action yang mendorong keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik. Salah satu bentuk affirmative action itu adalah penerapan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Ketetapan mengenai Kuota 30 % ini sudah ada sejak awal tahun 2004 lalu, melalui UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu yang secara khusus termaktub di pasal 65 ayat 1, walaupun dalam prakteknya kuota 30 % tidak dapat terealisasi.
Walaupun hanya capaian kecil yang didapatkan kaum perempuan, namun ini sangatlah berarti. Dan yang harus digaris bawahi, apa yang didapatkan itu tidak diberikan cuma–cuma atau begitu saja, melainkan dari perjuangan perempuan itu sendiri.
Kembali ke Pilpres
Berikut adalah beberapa rangkuman program kedua pasang capres dan cawapres dalam VISI dan MISI nya untuk perempuan:
Jokowi – Jusuf Kalla | Prabowo – Hatta R |
KESEHATAN PEREMPUAN
|
KESEHATAN DAN PERANAN PEREMPUAN
|
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
|
PEREMPUAN DAN KRIMINALITAS
|
TENAGA KERJA PEREMPUAN
|
PEREMPUAN DAN PEMERINTAHAN
|
Sumber ; Dibuat oleh Forum Perempuan Pemantau Presiden 2014
Setelah membaca beberapa program aksi untuk perempuan dalam visi dan misi kedua pasang capres dan cawapres diatas ada beberapa point menurutku yang sama dari kedua pasang calon ini dan hanya sebatas program yang bersifat umum, yaitu ;
- Tentang perlindungan anak dan perempuan
- Perlindungan tenaga kerja imigran
- Rencana pembuatan UU perlindungan PRT/TKW
- Anggaran untuk pelaksanaan UU tersebut
- Pengefektifan penerapan UU/aturan hukum
Walaupun ada program dari Prabowo–Hatta yang menempatkan 30% perempuan dalam posisi menteri atau parlemen, tetapi ini sebenarnya masih sama dengan kebijakan pemerintah sebelumya. Dan dalam bidang kesehatan, tidak hanya persalinan gratis yang dibutuhkan seorang perempuan namun pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, masa sesudah persalinan dan pemberian makanan bergizi yang cukup selama kehamilan, serta masa menyusui persalinan.
Benar bahwa perempuan membutuhkan semua yang ada pada program kedua pasang capres dan cawapres diatas, baik perlindungan hukum apalagi pekerja perempuan. Baik yang bekerja di dalam negeri maupun luar negeri sebagai buruh imigran dan TKW, perlindungan anak, kesehatan bagi seorang Ibu, dan perlu adanya UU atau aturan yang dibuat sebagai perlindungan secara hukum dan kenegaraan.
Tetapi ada kah yang lebih kongkret memihak kaum perempuan? Dalam hal ini, berani kah capres dan cawapres bersikap menolak larangan–larangan bagi perempuan yang diterapkan di Aceh? Bersikap terhadap pelanggaran hak–hak normatif pekerja perempuan? Bersikap terhadap terlalu banyak nya kasus kekerasaan yang terjadi dipabrik–pabrik? Kasus Marsinah yang merupakan pejuang buruh perempuan dalam melawan ketidakadilan pun tak dapat diselesaikan oleh pemerintah. Di Aceh dan beberapa daerah lain perempuan telah menjadi korban. Tidak dilindungi, sulit mendapat keadilan, stigmatisasi, intimidasi dan kekerasan. Berani yang saya maksud ialah, berani kah capres cawapres menghapus semua peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan?
Menurut Komnas Perempuan, ada sekitar 282 peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan di berbagai daerah di Indonesia. Di Aceh, Komnas Perempuan telah menemukan 15 Perda seperti itu. Pelanggaran Perda dapat menyebabkan hukuman kejam dan memalukan seperti pemukulan, hukuman cambuk, dimandikan dalam air limbah, dan pernikahan paksa. Walaupun sudah ada aturan yang mengatur dan melindungi secara hukum namun untuk negara yang masih dalam kungkungan modal ini, hukum dan keadilan pun masih dimiliki kelas penguasa. Kaum pekerja apalagi perempuan hanya mendapatkan ketidakadilan dan diskriminasi hukum. Aturan–aturan yang ada hanya lah ‘formalitas’ belaka.
what should we do?
Apa yang harus kita lakukan sebagai perempuan? Karena tidak mungkin kita menyerahkan begitu saja apa yang menjadi hak kita kepada kedua pasang Capres-Cawapres yang merupakan kaki-tangan dari sistem ini, satu-satunya yang harus kita lakukan sebagai kaum perempuan adalah dengan mengorganisasikan diri kita dan membangun organisasi yang progresif revolusioner serta membangun program politik alternatif nya bersama rakyat tertindas lainnya untuk memenangkan pertarungan melawan segala bentuk penindasan yang diciptakan kapitalisme serta watak patriarki yang berkembang di mata masyarakat saat ini. Sebab tidak ada pembebasan manusia tanpa pembebasan perempuan itu sendiri.
Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat, keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki.
Kaum perempuan haruslah memiliki garis politiknya sendiri, melibatkan dirinya dalam perjuangan kelas, dan pengorganisiran rakyat dalam membangun politik alternatif bersama dengan organisasi rakyat yang diyakini sebagai jalan yang harus ditempuh menuju pembebasan manusia sejati.
Ayo berjuang Bersama!
Oleh: Desi Natalia Mebang, anggota Koma Progresif – SGMK
sumber foto: anakegoodall.wordpress.com
[1]Engels, asal usul keluarga, kepemilikan pribadi dan negara (dihalaman XX “Sekapur Sirih” )
langkah selanjutnya adalah memberikan kesadaran kepada semua perempuan bahwa kita sebagai perempuan haruslah berpikir maju jangan hanya mau jadi pengekor dan menolak semua kebijakan yg mendiskriminasi para perempuan..
siap camrade