Pojok

Pilpres 2014: Perang Elit Pemodal Bukan Perang nya Rakyat! — Bag 1

Jokowi Prabowo

Pemilu 2014 yang sedang berlanjut ke pemilihan presiden masih meninggalkan catatan. Angka golput yang masih meningkat dan kecurangan-kecurangan yang menjadi hantu karena tidak terselesaikan. Ketidakpuasan terhadap sistem pemilu belum bisa berbuat banyak. Walaupun di sisi lain, beberapa perlawanan rakyat sudah sering masuk pada tindakan-tindakan membakar kartu pemilih atau golput karena pemerintah angkat tangan dan tidak ada satu partai pun yang memperjuangkannya [1]. Disini terlihat pemerintahan yang lama dengan calon pemerintahan yang baru sama-sama tidak perduli pada rakyat.

Golput telah menjadi tanda bahwa rakyat sedang mencari hubungan antara kehidupan sehari-harinya dengan mekanisme demokrasi yang sedang berjalan. Jika semua calon dan semua partai tidak ada yang berkomitmen menyelesaikan masalah rakyat selain hanya janji kosong, buat apa memilih mereka? Begitu kira-kira cara rakyat berpikir. Namun kekuasaan yang tidak mengutamakan partisipasi rakyat tidak akan hirau dengan semua itu. Harus ada pemimpin –tepatnya penguasa– baru walau tidak ada calon penguasa yang mau dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat.

Perang Elit dan Fanatisme Rakyat

Sejak pemilihan presiden langsung dilakukan pada 2004, baru pertama kali ini Pilpres memformasi dua kubu besar dari awal. Prabowo-Hatta di satu kubu dan Jokowi-JK di kubu lainnya. Karena tidak ada partai yang memiliki suara diatas 20%, maka pasangan calon tersebut adalah hasil kompromi dari banyak partai yang garis politik dan program nya berbeda namun saling bernegosiasi untuk memunculkan pemimpin diantara mereka. Dengan ini Pilpres hanya akan berlangsung satu putaran. Lebih ketat, lebih tajam dan lebih tegang, semirip apa yang diistilahkan dengan ‘sudden death’.

Begitu menjamur nya ‘pasukan relawan’ kedua pasang calon demi memenangkan jagoannya (walau kesukarelaan nya patut dikaji lebih dalam) juga hal baru yang menambah panas Pilpres kali ini. Demikian hal tersebut dapat dilihat positif sekaligus gila. Positif dalam arti menunjukkan bahwa dukungan politik dapat menembus batas-batas komersial yang selama ini dikenal dalam money politic. Namun gila, karena kegigihan relawan ini sering hanya merupakan ‘persepsi’ yang tidak dibarengi pemahaman yang cukup dalam tentang siapa calon, program yang akan diusung dan bagaimana membangun kontrol terhadap calon.

Rakyat akhirnya diseret kedalam garis perbedaan yang demikian mencolok dari pemilu-pemilu sebelum nya. Deklarasi dukungan bak kejar-mengejar datang dari rakyat kepada kedua pasang calon. Atmosfir persaingan pun jatuh ke setiap level masyarakat dan melahirkan sebentuk fanatisme. Isu dan hinaan yang saling bersahutan tiap hari nya hadir ditengah rakyat. Di media-media sosial, selapisan masyarakat yang sebelumnya absen dalam politik tiba-tiba ikut menjadi ‘tim sukses’ dengan mengagung-agungkan pilihannya sembari mengumbar kejelekan lawan pilihan nya dengan argumen yang sporadis.

Di surabaya, dua tukang becak yang sama-sama bernasib susah karena berasal dari kelas tertindas sampai rela menyakiti sesama nya demi capres yang bahkan sama sekali tidak pernah ia kenal [2]. Dalam car free day di Jakarta kemarin, dua kubu pendukung pun nyaris bentrok [3]. Demikian pula pertemanan suatu kumpulan tak sedikit yang retak oleh kompetisi yang diklaim salah satu elit reformis gadungan Amin Rais sebagai ‘perang badar’ [4].

Perang memang selalu berpotensi melahirkan fanatisme. Terkadang rakyat yang termobilisasi memang dijebak dalam pilihan yang ada tersebut tanpa mau atau bisa mengevaluasinya berdasarkan fakta karena ‘dirasa’ merugikan kepentingan nya. Kita mungkin masih akan membela seseorang yang lupa membuang sampah pada tempatnya jika dalam keseluruhannya dia adalah pecinta kebersihan. Tetapi fanatisme memang bekerja untuk menutup dan melupakan seluruh kenyataan yang dianggap tidak menguntungkan. Baik selama perang maupun konsekuensi setelahnya. Bahkan, anggapan menguntungkan dan merugikan itu sering hanya sebentuk ilusi.

Fanatisme memang merupakan keyakinan yang tinggi terhadap suatu pihak/kubu yang tidak berdasar pada teori atau jauh dari fakta. Dalam bahasa lain ini disebut berlebihan. Untuk memperkuat keyakinannya, satu-satunya jalan adalah menutup mata atas kenyataan atau membuat ada apa yang sebenarnya tidak ada. Isi kampanye yang membodohkan berikut media-media nya bertanggung jawab atas ini. Jika di media kampanye yang satu kesalahan Jokowi adalah mencium tangan Megawati, di media yang lain kesalahan Prabowo adalah tidak memiliki istri. Hasilnya: Prabowo tegas, Jokowi sederhana. Cuma itu. Jauh dari apa yang seharusnya melandasi kepemimpinan, yakni program dan metode penyelesaian masalah rakyat yang bukan hanya terdapat dalam kertas visi-misi, tapi tercermin dari cara berpikir dan bertindak nya.

Sekarang kita harus bertanya: siapakah mereka hingga rakyat harus mendukung dan membela nya mati-matian? Mengeluarkan keringat untuk suatu hal yang tidak tahu cara mengontrolnya? Lalu merelakan diri untuk menutupi kenyataan?

Untuk mengetahui siapa para calon, kepentingan apa yang ada di belakang nya dan apa yang akan dilakukannya, kita perlu menukik tajam ke wilayah paling dasar dalam karakter kepentingan mereka untuk bersaing merebut kekuasaan. Tidak mudah, karena kita memang dikelilingi beragam berita media (dari para pemilik modal) yang menggiring kita pada pemahaman yang dangkal dan keliru, serta membekali kita pada fanatisme. Tapi tidak ada jalan lain untuk mendapat kebenaran selain bersusah-payah menemukan jalur alternatif dari dua jalur yang tidak akan menyampaikan kita pada tujuan kemanusiaan yang sejati. Karena jika tidak, beruntung lah elit-elit politik yang menemukan rakyat dalam fanatisme, karena itu berarti, rakyat sedang menjilati borok-borok mereka hingga bersih sehingga mereka bisa tampil lebih baru untuk menindas rakyat di periode selanjutnya.

Sebagai sebuah fakta, dua calon yang tersedia dalam Pilpres 2014 kali ini adalah dua yang paling fenomenal dan terbaik dari perwakilan elit (pemodal) saat ini karena kemampuannya mengorganisir barisan dan meyakinkan rakyat. Jika prabowo adalah pengusaha, Jokowi pun pengusaha. Keduanya adalah bagian dari kaum pemodal yang hidup dari penghisapan terhadap kaum buruh. Tapi bukan itu yang terutama membuatnya buruk bagi masa depan rakyat. Melainkan pandangan dan gagasan politiknya yang tidak keluar dari batas sistem ‘penindasan manusia atas manusia’ sebagai akar dari masalah rakyat saat ini. Dan kini, keduanya bersaing menunjukkan siapa yang paling sanggup menundukkan rakyat pada sistem penindasan itu.

Persaingan mereka adalah cermin dari kapitalisme itu sendiri. Modal harus bersaing dengan modal lainnya untuk bisa hidup dan lolos dari krisis. Dalam politik, modal nya adalah kepercayaan rakyat. Siapa yang lebih dipercayai rakyat akan lebih mudah mempertahankan sistem, siapa yang lebih dekat dengan negara akan lebih berwenang mengatur kelancaran (akumulasi) modal mereka serta bertanggung jawab melindungi sistem yang ada. Sehingga secara mendasar, mereka tidak pernah benar-benar bermusuhan jika itu berhadapan dengan rakyat yang menolak ditindas atau mengganggu sistem yang mereka pertahankan sekarang.

jokowi kartun

Menguliti ‘Kesederhanaan Jokowi’

Fenomenalitas Jokowi awalnya relatif biasa saja. Hanya berhasil merelokasi PKL di kota Solo dengan mengajak dialog dan makan puluhan kali. Cara yang kemudian dinilai sangat persuasif dan demokratis ini dinilai baru dari kebijakan-kebijakan penggusuran PKL selama ini. Walaupun ternyata kebijakan ini juga menghabiskan anggaran puluhan milyar rupiah yang jauh dari anggaran relokasi pada umumnya. Ditambah lagi, Jokowi juga menginisiasi program sekolah dan kesehatan gratis bagi warga miskin Solo yang ternyata tidak berdampak pada pengurangan angka kemiskinan selama kepemimpinannya [5]. Ini mungkin konsekuensi dari program unggulan Jokowi yang dikatakan dalam visi-misi nya adalah pendidikan dan kesehatan yang mengesampingkan ekonomi. Popularitas yang didapat Jokowi melalui program yang “biasa-biasa saja” justru meninggalkan hutang yang pelunasannya bergantung pada kucuran pemerintah pusat [6].

Kisah pun berlanjut ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Walaupun dalam penggusuran waduk pluit sempat terjadi dialog (yang tidak menyelesaikan persoalan), metode ‘blusukan’ Jokowi tiba-tiba hilang saat penggusuran Taman Burung atau penggusuran pedagang stasiun dilakukan. Tidak ada pendekatan atau kunjungan apapun yang memosisikan pedagang kecil sebagai rakyat DKI Jakarta yang berhak hidup selayak manusia. Kalau ketiadaan waktu yang mungkin mau dijadikan alasan, mengapa rakyat juga tidak diberi waktu sampai Jokowi ada waktu untuk berdialog? Akhirnya kekerasan juga solusi yang diambil, sama seperti yang terjadi beberapa hari lalu dalam penggusuran PKL di Monas. Jauh dari apa yang digembar-gemborkan sebagai persuasif dan demokratis.

Walau PAD berhasil ditingkatkan dengan menggenjot pajak, hutang masih jadi tumpuan utama Jokowi. Semua proyek infrastruktur utama tidak ada yang lepas dari hutang: MRT pinjaman dari pemerintah Jepang, project Monorel dari pemerintah China, dan pengerukan saluran air dari bank dunia. Di tahap awal saja, total hutang luar negeri untuk membiayai tiga proyek infrastruktur itu mencapai Rp35 triliun [7]. Suatu hutang yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan yang pembayarannya akan ditanggung juga oleh rakyat di kemudian hari.

Kalau untuk pembangunan infrastruktur Jokowi mengandalkan pada hutang (yang harus ditanggung rakyat dan pemerintah setelahnya), apa yang istimewa? Bukankah setiap pemerintah berkuasa melakukannya? Lalu dimana ‘kemandirian nasional’ atau ‘berdikari yang (katanya, melalui visi-misinya) membedakannya dengan pemerintah Soeharto sampai SBY yang hingga hari ini telah meninggalkan hutang pada rakyat sebesar Rp 2.422 triliun? [8]

Tapi media-media massa (yang dikuasai pemodal) memang tidak bisa berpikir sejauh itu. Metode ‘blusukan’ yang diterapkan Jokowi masih dieksploitasi dan dianggap sebagai sebuah oase dari birokratisme dan elitisme pejabat. Dengan itu, rakyat seakan ingin dihipnotis untuk tetap miskin asal berdekatan dengan pemimpin nya (baca: merakyat). Sama hal nya dengan tema ‘sederhana’ dalam kampanye Jokowi yang tidak membawa gagasan apa-apa selain mendorong rakyat untuk bersuka rela mengetatkan ikat pinggang nya. Persis seperti saat dia menetapkan upah minimum DKI Jakarta yang jauh dari tuntutan kaum buruh yang diajukan melalui perhitungan ilmiah [9].

Saat buruh memperingati hari buruh internasional (Mayday), Jokowi malah justru menyindir dengan mengajak buruh menggunakan dana aksi tersebut untuk membeli mobil ambulance [10]. Ini sama artinya Jokowi mengajak buruh yang diperas siang malam oleh para pemodal untuk lupa pada hari bersejarahnya dan berdiam diri saja sampai kedatangan ratu adil. Atau dalam bahasa lain Jokowi mengatakan, perjuangan tidak lah perlu dan membuang tenaga. Kalaupun ingin berjuang, bukan lah pemerintah yang harus dituntut, tapi ‘mental’ diri kita masing-masing. Itu juga yang dilakukannya saat buruh menuntut revisi upah minimum DKI Jakarta. Jokowi yang persuasif dan demokratis itu tak bergeming menemui buruh. Bahkan dirinya seakan melecehkan buruh yang mengancam menginap dengan mengatakan “iya silahkan kalau mau nginap, asal jangan minta kasur sama makan saja” [11].

Nampaknya ini memang berkesesuaian dengan ‘revolusi mental’ yang ditulisnya. Bagi Jokowi, jika demikian, masalah mendasar Indonesia terletak pada manusia nya (yang perlu di revolusi), bukan pada sistem nya. Untuk itu juga mengapa Jokowi berkali-kali menyebut pendidikan dan kesehatan sebagai program utama nya membangun Indonesia. Tujuannya, kata Jokowi, agar produktivitas masyarakat meningkat [12].

Program ini tentu terdengar bagus di permukaan. Mungkin tidak ada satu orang pun di republik ini yang tidak menyepakati program pendidikan dan kesehatan sebagai suatu hal yang pokok. Tapi hal ini tidak berarti apa-apa saat pendidikan tidak dilandasi (atau bahkan dipisahkan) dengan program kesejahteraan rakyat. Apalagi jika hal itu untuk membenarkan masalah pokok Indonesia adalah terletak pada ‘produktivitas manusia’ yang harus digenjot oleh ‘pendidikan formal’. Kealpaan menghubungkan pendidikan dan kesejahteraan ini lah yang membuat penekanan berlebih atas pendidikan dan kesehatan ala Jokowi menjadi retorika. Konon lagi jika ini disederhanakan pada ‘kartu-kartu’ semata.

Diatas telah ditunjukkan, program pendidikan dan kesehatan bagi warga miskin Solo semasa pemerintahan Jokowi tidak serta-merta menurunkan angka kemiskinan. Seseorang pun tidak akan bertambah pintar dan produktif lewat jaminan pendidikan jika tidak ada jaminan atas pangan yang bergizi baik. Diluar itu, Jokowi juga tidak menjawab mengapa tingkat putus sekolah masih mencapai jutaan anak usia sekolah ditengah meningkatnya anggaran pendidikan; mengapa pengangguran dari lulusan ‘pendidikan tinggi’ tiap tahunnya justru meningkat.

Dengan demikian dalam pandangan Jokowi, sesuai ‘revolusi mental’ nya, sumber masalah rakyat terletak pada produktivitas nasional yang rendah, yang (seakan-akan hanya) berasal dari produktivitas manusia nya, dan yang (seakan-akan hanya) dapat dijawab dengan pendidikan formal. Jokowi gagal melihat produktivitas dari sudut peningkatan teknologi yang hari ini dimonopoli, gagal juga melihat bahwa ketika pun produktivitas meningkat (melalui ukuran pertumbuhan ekonomi misalnya), ‘kue pertumbuhan’ tidak dinikmati secara merata. Dan hal ini sudah ditunjukkan lewat contoh produktivitas buruh dalam menuntut UMP terakhir.

Namun ketika menyinggung pemerataan ekonomi, Jokowi justrukembali berputar untuk menumpukan nya pada investasi yang menurutnya akan didorong ke daerah-daerah. Artinya, kembali menyerahkan kesejahteraan rakyat pada modal asing/swasta yang telah berkali-kali gagal dalam pemerataan. Dan memang begini lah keterbatasan Jokowi sebagai elit politik yang merepresentasikan kelas pemodal itu sendiri. Sebagai pemimpin yang dikatakan ‘lahir dari rakyat’ Jokowi gagal dari awal untuk berdiri diatas masalah-masalah rakyat. Jadi jika anda pendukung Jokowi, bersiap-siaplah untuk kecewa.

Bersambung..

 

Oleh Kibar, Anggota KPO PRP

Loading

Comment here