Selama berdekade kritikus sosial telah mengeluhkan pengaruh tontotan olah raga dan hiburan dalam “mengalihkan” buruh dari perjuangan untuk kepentingan klasnya. Menurut analisa tersebut, “kesadaran klas” digantikan oleh kesadaran “massa”. Mereka berpendapat bahwa individu yang teratomisasi, dimanipulasi oleh media massa, dirubah menjadi konsumen pasif yang mengidentifikasikan dirinya dengan pahlawan olah raga, tokoh utama opera sabun dan selebriti film miliarder.
Kulminasi dari “mistifikasi” ini – pengalihan massa – adalah “kejuaraan dunia” yang ditonton oleh miliaran orang diseluruh dunia dan disponsori serta didanai oleh perusahaan miliarder : World Series (Baseball), Piala Dunia (sepak bola), dan Super Bowl (American football). Hari ini, Brazil adalah sanggahan nyata dari garis analisa kebudayaan-politik tersebut. Rakyat Brazil digambarkan sebagai “penggila bola”. Timnya adalah yang paling banyak memenangkan Piala Dunia. Pemainnya didambakan oleh pemilik tim-tim sepak bola paling penting di Eropa. Penggemarnya dikatakan “hidup atau mati bersama sepak bola”… Atau begitu kata mereka.
Namun adalah di Brazil dimana terjadi protes terbesar dalam sejarah Piala Dunia. Sejak satu tahun sebelum Piala Dunia, dijadwalkan Juni 2014, telah ada demonstrasi massa hingga satu juta rakyat Brazil. Dalam beberapa minggu terakhir ini, pemogokan oleh guru, polisi, buruh konstruksi dan pegawai kota telah berkembang. Mitos pertunjukan media massa yang memukau massa telah dibantah – setidaknya di Brazil hari ini. Untuk memahami kenapa pertunjukan massal telah menjadi kegagalan propaganda adalah penting untuk memahami konteks politik dan ekonomi dimana propaganda itu dilancarkan, serta biaya dan keuntungan dan perencanaan taktik dari gerakan popular.
Konteks Politik dan Ekonomi : PIala Dunia dan Olimpiade.
Pada tahun 2002, kandidat Partai Buruh Brazil, Lula da Silva memenangkan pemilihan presiden. Dua periode kepresidenan dia (2003-2010) dicirikan dengan menganut dengan teguh kapitalisme pasar bebas bersama dengan program kemiskinan populis. Dibantu oleh aliran masuk skala besar dan kapital spekulatif, yang tertarik dengan suku bunga yang tinggi, serta harga komoditi tinggi untuk eksport agro mineralnya, Lula melancarkan program kemiskinan masif dengan menyediakan sekitar 60 USD sebulan bagi 40 juta rakyat miskin Brazil, yang membentuk bagian dari basis elektoral Lula.
Partai Buruh mengurangi pengangguran, meningkatkan upah dan mendukung pinjaman konsumen dengan bunga rendah, menstimulasi “boom konsumen” yang menggerakan ekonomi kedepan. Bagi Lula dan penasehatnya, Brazil menjadi kekuatan global, menarik investor kelas dunia dan memasukan rakyat miskin kedalam pasar domestik. Lula dipuji sebagai “orang kiri pragmatis” oleh Wall Street dan seorang “negarawan brilian” oleh Kaum Kiri!
Sejalan dengan visi megah ini (dan sebagai tanggapan untuk semakin menumpuknya penjilat presiden dari Utara dan Selatan), Lula percaya bahwa kenaikan Brazil ke ketenaran mendunia membutuhkannya untuk menjadi ‘tuan rumah’ bagi Piala Dunia dan Olimpiade dan dia memulai kampanye agresif…Brazil kemudian dipilih. Lula memperindah dirinya dan memberikan wejangan: Brazil, sebagai tuan rumah, akan mencapai pengakuan simbolik dan penghargaan material yang layak didapatkan oleh kekuatan global.
Kebangkitan dan Kejatuhan Ilusi Besar
Naiknya Brazil didasarkan atas aliran asing dari kapital yang dikondisikan oleh suku bunga diferensial (menguntungkan). Dan ketika tingkat suku bunga tersebut berubah, kapital bergerak keluar. Ketergantungan Brazil terhadap permintaan tinggi untuk eksport agro mineralnya didasarkan atas keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dua digit di Asia. Ketika ekonomi Cina melambat, permintaan dan harga jatuh, demikian juga pendapatan eksport Brazil.
“Pragmatisme” Partai Buruh berarti menerima struktur politik, administratif dan regulasi yang diwarisi dari rejim neoliberal sebelumnya. Institusi ini telah diserap oleh pejabat-pejabat korup yang memiliki hubungan dengan kontraktor bangunan yang terkenal jahat untuk melebih-lebihkan biaya dan penundaan panjang atas kontrak Negara. Lebih dari itu, mesin elektoral “pragmatis” dari Partai Buruh dibangun dari penyuapan dan gratifikasi. Sejumlah besar dana disedot dari layanan publik ke kantung pribadi.
Besar kepala dengan retorikanya sendiri, Lula percaya kebangkitan ekonomi Brazil di tingkat dunia adalah “sudah pasti”. Dia menyatakan bahwa kompleks olah raga model firaun – miliaran uang rakyat yang digunakan untuk puluhan stadion dan infrastruktur yang berbiaya besar – akan “balik modal sendiri”.
“Efek Demonstrasi” Yang Mematikan : Kenyataan Sosial Mengalahkan Kemegahan Global
Presiden baru Brazil, Dilma Rousseff, anak didik Lula, telah mengalokasikan miliaran Real untuk mendanai proyek pembangunan masif pendahulunya: stadion, hotel, jalan raya dan bandara udara untuk mengakomodasi dan mengantisipasi banjir penggemar sepak bola luar negeri. Perbedaan antara ketersediaan mudah akan sejumlah besar dana publik untuk Piala Dunia dan kondisi abadi kekurangan uang untuk layanan publik penting yang memburuk (transportasi, sekolah, rumah sakit dan klinik) telah menjadi kejutan besar untuk rakyat Brazil dan sebuah provokasi untuk aksi massa di jalanan.
Selama berdekade, mayoritas rakyat Brazil, yang tergantung pada layanan publik untuk transportasi, pendidikan dan layanan kesehatan, (klas menengah atas mampu untuk mendapatkan layanan swasta) diberitahu bahwa “tidak ada dana”, bahwa “anggaran harus diseimbangkan”, “surplus anggaran dibutuhkan untuk memenuhi perjanjian IMF dan membayar hutang”. Bertahun-tahun dana publik telah dialihkan oleh pejabat politik korup untuk membayar kampanye elektoral, yang berakibat pada transportasi yang penuh sesak, jorok, sering macet dan penundaan komuter, dalam bus-bus yang sesak panas dan antrian panjang di stasiun.
Selama berdekade, sekolah-sekolah amburadul, guru-guru terburu-buruh berpindah dari sekolah ke sekolah yang lainnya untuk bisa hidup dengan upah minimum menyedihkan yang berakibat pada pengabaian dan pendidikan berkualitas rendah. Rumah sakit publik kotor, berbahaya dan penuh sesak; doktor dengan upah rendah sering sekali mengobati pasien-pasien secara pribadi sebagai sampingan, dan obat-obatan yang penting jarang tersedia di rumah sakit publik dan berharga mahal di apotik-apotik.
Publik marah dengan perbedaan carut marut antara kenyataan klinik rusak berjendela pecah, sekolah yang penuh sesak dengan atap bocor dan transportasi massal yang tidak bisa diandalkan bagi rata-rata rakyat Brazil dengan stadion baru yang besar, hotel-hotel mewah dan bandara udara untuk penggemar olah raga dan pengunjung dari luar negeri yang kaya raya. Publik marah dengan kebohongan resmi yang terang-terangan: pernyataan bahwa ‘tidak ada dana’ untuk para guru ketika miliaran Real dengan tiba-tiba tersedia untuk membangun hotel-hotel mewah dan kotak-kotak kursi stadion indah untuk penggemar sepak bola yang kaya raya.
Pemicu terakhir untuk protes jalanan massal adalah kenaikan biaya bis dan kereta untuk menutupi kerugian – setelah bandara udara dan jalan raya publiktelah dijual murah kepada investor swasta yang menaikan biaya dan pungutan. Para pemrotes bergerak melawan kenaikan biaya bus dan kereta api bergabung dengan puluhan ribu rakyat Brazil yang menolak prioritas Pemerintah : Miliaran untuk Piala Dunia dan recehan untuk layanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan transportasi publik!
Tidak menyadari tuntutan popular, pemerintah terus maju untuk menyelesaikan “proyek prestisius”-nya. Meskipun begitu, pembangunan stadion-stadion terlambat dari jadwal karena korupsi, inkompetensi dan mismanajemen. Kontraktor gedung, yang ditekan, menurunkan standart keamanan dan mendorong buruh bekerja lebih keras, mengakibatkan meningkatnya kecelakaan dan kematian ditempat kerja. Buruh konstruksi keluar dari tempat kerja mereka memprotes percepatan dan memburuknya keselamatan kerja.
Skema megah rejim Rousseff telah memprovokasi rangkaian protes baru. Gerakan Rakyat Tuna Wisma menduduki tanah-tanah kapling di kota dekat stadion Piala Dunia yang baru menuntut ‘perumahan sosial’ untuk rakyat ketimbang hotel-hotel bintang lima yang baru untuk pecinta olah raga asing yang makmur. Biaya yang membengkak untuk komplek olah raga dan meningkatnya pengeluaran pemerintah telah memicu pemogokan serikat buruh untuk menuntut upah yang lebih tinggi melampaui target rejim. Guru dan perawat telah bergabung dengan buruh pabrik dan pegawai upahan mogok di sektor-sektor strategis, seperti layanan transportasi dan keamanan, yang dapat secara serius mengganggu Piala Dunia.
Dukungan PT (Partai Buruh Brazil) pada pertunjukan olah raga megah, bukannya menegaskan “debut sebagai kekuatan global” dari Brazil, telah menyoroti perbedaan besar antara sepuluh persen yang kaya dan aman di kondominium mewah mereka di Brazil, Miami dan Manhattan, dengan akses untuk klinik swasta berkualitas tinggi dan sekolah luar negeri dan swasta eksklusif untuk anak-anak mereka, dengan massa rata-rata rakyat Brazil, tergencet berjam-jam berkeringat didalam bus-bus yang penuh sesak, didalam ruang gawat darurat yang suram hanya menunggu aspirin dari doktor yang tidak ada dan dalam membuang-buang masa depan anak-anak mereka didalam ruang kelas bobrok tanpa guru yang memadai dan full time.
Kesimpulan
Elit politik, terutama sekali rombongan disekitar Kepresidenan Lula-Rousseff telah korban dari khayalan mereka sendiri tentang dukungan popular. Mereka percaya bahwa sogokan kebutuhan hidup (keranjang makanan) kepada mereka yang sangat miskin akan membuat para elit tersebut dapat membelanjakan miliaran uang rakyat untuk pertunjukan olah raga untuk menghibur dan membuat kagum elit global. Mereka percaya bahwa massa buruh akan begitu terpesona oleh prestise sebagai tuan rumah Piala Dunia di Brazil, sehingga mereka akan mengabaikan kesenjangan antara pengeluaran pemerintah untuk pertunjukan megah elit dan ketiadaan dukungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari buruh Brazil.
Bahkan serikat buruh, yang terlihat terikat dengan Lula, yang membanggakan masa lalunya sebagai pemimpin buruh metal, memecah ikatan tersebut ketika mereka menyadari bahwa “uangnya ada disana” – dan bahwa rejim, ditekan oleh deadline pembangunan, dapat ditekan agar menaikan upah untuk menyelesaikan pekerjaan.
Jangan salah, rakyat Brazil menyukai olahraga. Mereka rajin mengikuti dan mendukung tim nasional mereka. Namun mereka juga sadar atas kebutuhan mereka. Mereka tidaklah puas secara pasif menerima kesenjangan sosial besar yang terungkap oleh perebutan gila saat ini untuk menyelenggarakan Piala Dunia dan Olimpiade di Brazil. Pengeluaran pemerintah yang besar untuk Pertandingan tersebut telah membuat jelas bahwa Brazil adalah negeri yang kaya dengan banyak kesenjangan sosial. Mereka telah belajar bahwa sejumlah besar dana tersedia untuk memperbaiki layanan dasar dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka sadar bahwa, meskipun retorikanya, “Partai Buruh” memainkan permainan prestis boros untuk mengesankan penonton kapitalis internasional. Mereka sadar bahwa mereka memiliki pengaruh strategis untuk menekan pemerintah dan memprotes beberapa ketidakadilan dalam perumahan serta upah melalui aksi massa. Dan mereka telah memukul. Mereka menyadari bahwa mereka pantas untuk menikmati Piala Dunia didalam perumahan publik yang layak dan terjangkau serta berangkat kerja (atau ke pertandingan tertentu) dengan bus-bus serta kereta yang pantas. Kesadaran klas, dalam kasus Brazil, telah mengalahkan pertunjukan massal. “Roti dan sirkus” telah menghasilkan protes massa.
Oleh : James Petras.
(Diterjemahkan oleh Ignatius Mahendra Kusumawardana dari The James Petras Website).
Comment here