Pojok

Go Politik, Apakah Dengan Cara Masuk dan Mendukung Partai-Partai Pro Modal?

Go Politik(Bukan) 5 tahun sekali

Tahun 2014 katanya tahun politik. Ini tidak sesungguhnya benar, malah dapat menyesatkan. Sebab kekuasaan beserta aspek-aspek nya, setiap tahun bahkan setiap hari, eksis di tengah masyarakat. Setiap saat itu pula aturan dan kebijakan nyata pengaruh nya pada masyarakat. Misalnya saja harga cabai yang naik atau jalan raya yang macet. Hal itu bukan terjadi tanpa adanya campur kuasa pikiran manusia, melainkan karena adanya kebijakan dan sistem yang dibuat manusia yang menyebabkan harga cabai naik atau membanjir nya kendaraan pribadi. Dan itu adalah politik. Diluar itu, sejarah juga sudah menunjukkan bahwa kekuasaan dapat berubah dan berganti tanpa adanya pemilu.

Namun jika tahun ini dikatakan tahun politik karena di tahun ini akan digelar pemilu (pergantian kekuasaan yang 5 tahun sekali itu), boleh-boleh saja, karena itu juga adalah politik. Tetapi berarti, tahun-tahun setelahnya adalah juga tahun politik yang tak dapat dipinggirkan ke belakang.

Hal ini harus dibahas pertama, oleh karena kesalahan memahami “politik” sebagai sesuatu yang ada dan terjadi hanya dalam 5 tahun sekali akan memberi sumbangan pada penjerumusan buruh, tani maupun rakyat pada “tindakan-tindakan yang salah” dalam “kata-kata yang benar”.

Perjuangan buruh yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan melalui 2 kali Mogok Nasional, ataupun perjuangan tani yang panjang dan gigih, sebagian nya sudah sampai pada kesimpulan bahwa rakyat harus berpolitik untuk memengaruhi kebijakan atau mengambil kekuasaan. Salah satu serikat buruh (FSPMI) bahkan sudah menyebut nya dengan “Buruh Go Politik”. Tentu kita harus bersepakat bahwa buruh atau rakyat pada umum nya yang berjuang demi demokrasi dan kesejahteraan harus berpolitik. Karena siapa yang berkuasa akan menentukan kemana kebijakan akan berpihak.

Namun berpolitik yang dimaksud seharusnya tidak hanya diartikan terlibat dalam pemilu yang 5 tahun sekali. Pemilu hanyalah salah satu ajang politik, dan bukan satu-satunya. Akibat buruk dari melihat pemilu sebagai ajang yang mutlak diikuti dalam “buruh go politik” dapat berimplikasi pada ketidaksiapan infrastruktur (organisasi) dan suprastruktur (kesadaran) politik dalam menerjemahkan langkah dan praktek politik, sehingga berpotensi merusak langkah-langkah yang seharusnya diambil berikutnya: pendidikan politik dan pembangunan partai politik. Ini pula yang kemudian membuat beberapa organisasi rakyat maupun individu aktivis/pejuang rakyat ‘memaksa diri’ maju sebagai calon-calon legislatif (wakil rakyat) melalui berbagai macam partai yang ada. Ini juga berkaitan dengan sistem politik yang ada di Indonesia.

“Go Politik” Dalam Jebakan Sistem Politik

Dalam sistem politik yang ada sekarang, rakyat sesungguhnya tidak bebas dipilih dan memilih. Rakyat hanya dapat memilih dan dipilih melalui partai-partai politik yang keikutsertaan nya sebagai peserta pemilu ditentukan oleh partai-partai dan penguasa-penguasa yang sebelum nya ada (incumbent) melalui aturan UU Pemilu dan UU Partai Politik yang mereka buat. Mereka membuat aturan-aturan dalam pemilu sekarang yang menyulitkan hadirnya partai-partai baru yang benar-benar berasal dari rakyat (alternatif) untuk ikut serta dalam pemilu.

Artinya, setiap orang yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat sekarang sedang dipaksa untuk masuk dalam partai-partai yang ada. Dan aspirasi rakyat sedang dipaksa disalurkan hanya kedalam partai-partai yang ada, yang jumlah nya kian menyusut jika dibanding pemilu sebelumnya, yaitu 15 partai (12 partai nasional, 3 partai lokal Aceh).

Ditengah kebuntuan politik sejak pemilu 1999 dalam menjawab persoalan-persoalan rakyat, sudah semakin jelas sebenarnya bahwa keberadaan partai-partai yang sekarang ini ada sangat lah tidak memadai bagi saluran aspirasi rakyat. Bahkan dapat dikatakan partai-partai tersebut bertentangan dengan kedaulatan rakyat. Alasan yang paling ril dan (selalu) aktual adalah karena partai-partai yang ada hari ini tidak pernah benar-benar memperjuangkan rakyat selain lewat slogan dan bualan mereka.

Tidak perlu jauh-jauh. Dalam aspirasi/perjuangan buruh untuk menaikkan upah saja, tidak ada satu partai politik pun yang mendukung perjuangan buruh. Belum lagi terhadap permasalahan rakyat lain. Ketika pun suatu aspirasi rakyat diserap oleh wakil-wakil rakyat dari partai-partai yang ada, aspirasi tersebut tidak pernah berujung pada terjawab nya persoalan rakyat. Yang terjadi justru persoalan rakyat tersebut berubah menjadi suatu yang berlarut-larut tanpa penyelesaian yang memenangkan rakyat.

Hal ini sebenarnya mudah ditelusuri penyebabnya. Yaitu bahwa partai-partai tersebut memang dipimpin dan dikuasai oleh para pemodal yang kepentingan nya bertentangan dengan kepentingan buruh dan rakyat.

Komersialisasi dan Birokratisasi Wakil Rakyat

Sudah sejak pemilu dalam sistem multi partai pertama kali digelar, yakni pada tahun 1999, sudah begitu banyak terasa kekurangan dari sistem demokrasi akibat dikuasainya DPR/DPRD oleh partai-partai para pemodal. Wakil-wakil rakyat dipilih dalam pemilu, namun 5 tahun berikutnya wakil ini justru lebih mewakili kepentingan partai. Tanpa pernah menanyakan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan rakyat, posisi rakyat dimerosotkan hanya sebagai komoditas yang “dibeli” saat pemilu, lalu dilupakan.

Oleh sistem yang mengabdi pada modal/uang (dalam kapitalisme), jabatan wakil rakyat pun telah diubah menjadi jabatan yang komersial bagi pengembalian dan pelipatgandaan modal/biaya yang telah mereka keluarkan bagi kampanye, dimana hal itu berdampak pada dikesampingkan nya persoalan-persoalan rakyat yang tidak mendatangkan keuntungan bagi wakil rakyat. Bagi wakil rakyat yang demikian, persoalan yang paling penting adalah persoalan mengeluarkan anggaran negara bagi kesejahteraan mereka.

Ini diperparah dengan tidak adanya mekanisme kontrol dari rakyat (pemilih) terhadap wakil-wakilnya. Sehingga pada saat terpilih, wakil rakyat akan menjadi bagian yang terpisah dari rakyat. Rakyat tidak diberi cara/mekanisme untuk dapat mengevaluasi maupun mencopot wakil nya saat janji dan komitmen mereka tidak terlaksana atau menyimpang.

Bagi sebagian kecil wakil rakyat yang lebih peduli pada persoalan rakyat, mereka mungkin akan mendengar masalah rakyat dengan seksama dan penuh empati, serta memberi harapan pada rakyat. Tapi sebenarnya, penyelesaian persoalan rakyat tidak dapat dilakukan oleh mereka. Wakil-wakil rakyat yang demikian lupa dan naif bahwa persoalan rakyat tidak dapat diselesaikan hanya dengan niat baik—tanpa tahu akar persoalan dan solusi program serta metode untuk menyelesaikan nya. Mereka pasti terbentur pada tembok partai yang komersial dan birokratis.

Nihil nya orientasi partai-partai tersebut pada kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat adalah tembok utama yang menghadang semua niat baik dari sebagian kecil calon wakil rakyat yang demikian. Yang dimaksud orientasi pun tidak cukup dengan hanya membualkan janji dan program seperti “harga kebutuhan pokok yang terjangkau”, “upah yang layak”, “pendidikan gratis” dll, tanpa menjelaskan pada rakyat bagaimana cara membuat program tersebut dapat tercapai. Lebih parah pula jika program itu tidak disampaikan, maka akan semakin sulit pula (bahkan dapat dikatakan pembodohan!) bagi rakyat untuk dapat memilih dengan cerdas lalu mengontrol wakil nya ketika terpilih.

Dalam birokratisme partai-partai yang ada sekarang, dimana hak mencopot wakil rakyat (recalling) justru berada ditangan partai dan bukan berada ditangan rakyat, wakil-wakil rakyat akan terbirokratiskan sebagai ‘wakil partai’ daripada sebagai wakil rakyat. Sehingga, menjadi mustahil lah untuk mengharap perubahan yang penting dari calon-calon wakil rakyat ini. Justru calon-calon yang berniat baik itu yang akan berpeluang besar menghianati rakyat dalam sistem dan lingkungan yang kelak akan mereka temui saat terpilih sebagai wakil rakyat, yang semakin mengintegrasikan mereka kedalam partai-partai pengusung nya.

Tidak Bisa Hanya Lihat Orang-nya

Dengan bermunculan nya calon wakil rakyat yang berasal dari gerakan rakyat atau sekedar mengklaim diri sebagai aktivis ini, beberapa slogan seperti “jangan lihat partai nya, tapi lihat orang nya” juga muncul. Namun sebenarnya, kata-kata tersebut lebih merupakan ilusi yang tidak akan pernah terjadi.

Dari awal berkampanye saja mereka sudah terseret ikut mengkampanyekan partai-partai yang mengusung nya (lewat hadirnya gambar-gambar partai dan tokoh partai mereka). Sedangkan disaat yang sama, caleg-caleg dari gerakan rakyat ini juga tidak menunjukkan perbedaan program dan pandangan nya dengan caleg-caleg yang tidak berasal dari gerakan. Spanduk-spanduk mereka umum nya masih lah soal “mohon doa restu”, “dukung saya” dan hal remeh-temeh lain yang tidak menunjukkan program dan metode kerakyatan. Tidak ada satupun dari “caleg-caleg aktivis” ini yang bersedia menjadi wakil rakyat sejati, yang siap keluar dari partai-partai pengusungnya, siap dievaluasi dan dicopot oleh rakyat (pemilih).

Dengan jebakan sistem politik ini, sebaik apapun niat seorang calon untuk mewakili rakyat akan berhadapan dengan partai-partai pengusung nya. Maka sekali lagi, sangat sulit membangun perubahan melalui terpilih nya mereka. Terpilih nya mereka justru memberi peluang pada terpecahnya gerakan rakyat oleh kepentingan partai-partai yang secara nyata mengabdi pada pemilik modal. Sekaligus pula membersihkan coreng hitam sejarah partai-partai tersebut di mata rakyat banyak.

Masalah yang paling mendasar dalam perjuangan politik, yaitu keberadaan partai politik alternatif, malah diperumit oleh kepentingan politik yang berlainan dari partai-partai yang masuk ke dalam gerakan rakyat. Dan selama partai alternatif yang menaungi perjuangan kaum buruh, kaum tani dan rakyat tertindas lain belum mampu dijawab oleh kaum pergerakan, “go politik” justru lebih memicu kemunduran dibandingkan kemajuan. Gerakan rakyat dapat kehilangan banyak kader nya akibat terserap kedalam partai-partai pro pemodal.

Jika para calon-calon aktivis tersebut tidak memberikan komitmen riil nya pada pembangunan partai alternatif, maka tugas membangun partai alternatif yang memiliki program alternatif (kerakyatan), metode alternatif (kerakyatan), dan pemimpin alternatif yang berasal dari gerakan rakyat akan semakin sulit dicapai. Untuk itu, kita membutuhkan gerakan alternatif dalam PEMILU 2014 nanti sebagai bagian yang mendorong perluasan demokrasi politik dan percepatan pembangunan partai alternatif. Bukan buruh pilih buruh (yang masuk dalam partai pro modal), tapi buruh dan rakyat bangun partai politik nya sendiri! Maka dalam PEMILU 2014 nanti, tidak memilih adalah juga pilihan (kbr).

Loading

Comment here