Perspektif

Perspektif HAM Yang Terlupakan : Penjahat HAM, Pro Buruh? Pro Rakyat?

Adili Pelanggar HAM 2Salah satu isu yang berkembang pada Pemilu 2014 ini adalah persoalan Hak Asasi Manusia. Jokowi dalam visi misinya mengatakan bahwa kasus-kasus HAM dimasa lalu akan diselesaikan (Sumber : Kompas). Namun didalam kubu Jokowi juga berkumpul para penjahat HAM seperti Hendropriyono, Ryamizard Ryacudu serta Wiranto (Sumber : New Mandala). Termasuk didalam kubu Jokowi adalah kekuatan Orde Baru yaitu Jusuf Kalla yang menjadi Calon Wakil Presiden.

Sementara itu kubu Prabowo sangat antipati terhadap isu HAM. Fadli Zon meremehkan isu HAM dengan mengatakan bahwa persoalan kesejahteraan lebih penting darinya (Sumber : Liputan6). Peremehan terhadap persoalan HAM juga dikeluarkan oleh Presiden KSPI, Said Iqbal yang menyatakan bahwa isu HAM jauh dari buruh (Sumber : Tribunnews). Dalam manifesto Partai Gerindra sendiri menegaskan perspektif mereka bahwa Pengadilan HAM adalah sesuatu yang berlebihan (Sumber : Partai Gerindra).

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah mungkin penegakan HAM dapat dibangun melalui kerjasama dengan Orde Baru dan Militerisme? Bagaimana mungkin seorang penjahat HAM seperti Prabowo pada saat bersamaan dapat dipercaya oleh buruh (tepatnya KSPI) akan memenuhi 10 tuntutan mereka? (lihat juga ETAN News)

Mengapa Mereka Keji?

“Orangnya sangat ambisius, rela melakukan apapun demi ambisinya. Keberaniannya luar biasa bahkan ratusan orang berani dia hadapi dan habisi. Sementara ketegasannya bisa membuat handphone melayang, pistol meledak ataupun orang lenyap ditelan bumi…” Orang sering mengatributkan kesan-kesan personal atau individu kepada para penjahat HAM. Soeharto, si smiling general memiliki senyuman khas yang menyimpan tatapan sinar mata penuh teror begitu sering dikatakan. Namun ini bukan hanya karena kekejian mereka.

Kenaikan Rejim Militer Soeharto paska 1965 memberikan pelajaran bagi CIA. Bahkan seorang manajer operasi senior CIA, Ralph McGehee mengatakan bahwa Indonesia adalah “model operasi…kau dapat melacak semua kejadian besar berdarah-darah yang dirancang oleh Washington dengan bagaimana cara Soeharto naik ke kekuasaan”.

Pelajaran yang mereka ambil adalah bagaimana caranya membalikkan sebuah bangsa yang berjuang untuk kemandirian politik, ekonomi dan budaya, melancarkan redistribusi kekayaan, mengusir IMF dan Bank Dunia, melawan kekuatan imperialis serta menopang semuanya dengan mobilisasi massa buruh dan tani menjadi sebuah bangsa yang tunduk dan terbuka terhadap kekuatan imperialisme. Caranya adalah dengan apa yang disebut oleh CIA sebagai salah satu pembantaian massal terbesar diabad ke 20.

Pembantaian massal tersebut memakan korban 500 ribu hingga 3 juta orang. Imperialisme AS, melalui CIA, memberikan bantuan dengan menyerahkan daftar nama 5.000 orang kepada tentara Indonesia Pejabat AS kemudian memeriksa nama-nama yang telah dibunuh atau ditangkap. Joseph Lazarsky, Deputi CIA yang ditempatkan di Jakarta menyatakan bahwa konfirmasi tentang pembunuhan datang langsung dari markas Soeharto.

Sasaran utama mereka bukanlah sembarangan orang, daftar nama 5.000 orang tersebut adalah daftar nama pimpinan-pimpinan PKI serta aktivis-aktivis rakyat lainnya. Sasaran utama mereka adalah rakyat yang menjadi pemimpin dalam membangun Indonesia yang mandiri. Rakyat yang pasti akan melancarkan perlawanan ketika kekuatan Imperialis memaksakan kehendaknya. Termasuk didalamnya adalah buruh-buruh yang menjadi bagian dari serikat-serikat buruh yang paling militant dan progresif dimasa itu.

Dengan kejahatan HAM oleh Rejim Militer Soeharto yang dimulai pada tahun 1965 lah dimungkinkan pembangunan ketertundukan serta keterbukaan terhadap kekuatan imperialis. Pada tahun 1967 di Geneva ketika Sri Sultan Hamengkubuwono, Adam Malik dan tim ekonomi yang kelak disebut dengan “Mafia Berkeley” sebagai utusan dari Rejim Militer Soeharto bertemu dengan para kapitalis internasional seperti David Rockefeller, perusahaan bank dan minyak utama, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British-American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation dan US Steel.

Dalam pertemuan yang disebut sebagai Konferensi untuk Membantu Pembangunan Ulang Bangsa (To Aid In the Rebuilding of Nation), sumber daya alam Indonesia dibagi-bagikan kepada para kapitalis internasional. Perusahaan Freeport Amerika memperoleh gunung tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Amerika dan Eropa mendapat tambang nikel di Papua Barat. Perusahaan Alcoa memiliki bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis menguasai hutan tropis Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Kemudian dibuatlah Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang isinya bebas pajak bagi para penanam modal.

Kejadian-kejadian tersebut diulangi berkali-kali selama 32 tahun Rejim Militer Soeharto berkuasa. Untuk mempertahankan kepentingan modal asing di Papua dan Aceh maka kedua daerah tersebut diberi status sebagai Daerah Operasi Militer. Dengan kenaikan Rejim Militer Soeharto maka para modal asing dan juga modal milik kroni-kroni militer Soeharto bisa berkembang pesat. Untuk itu maka perubahan-perubahan dilakukan didalam bidang perburuhan. Rejim Militer Soeharto membuat serikat buruh bonekanya, FBSI yang kemudian menjadi SPSI. Fungsi utamanya adalah untuk mengontrol kaum buruh. Militer terlibat didalam persoalan perburuhan, dalam negosiasi hingga merepresi aksi atau pemogokan buruh bahkan juga menjadi pengurus SPSI. Marsinah adalah salah satu contoh korban kejahatan HAM, apa yang dia minta adalah sangat sederhana, yaitu upahnya diberikan sesuai keputusan pemerintah.

Demikian untuk mempertahankan Rejim Militer Soeharto dari gelombang aksi-aksi mahasiswa dan rakyat berbagai kekejian mereka lancarkan. Para aktivis mereka culik dan masih hilang hingga kini. Mahasiswa Trisakti mereka tembaki. Isu SARA mereka hembuskan untuk mengalihkan akar permasalah, yiatu Rejim Militer Soeharto itu sendiri. Kerusuhan kemudian mereka rancang, diarahkan terhadap etnis Tionghoa, untuk mengalihkan kemarahan dari Rejim Militer Soeharto.

Kesimpulan

Memisahkan antara kejahatan HAM dengan kepentingan ekonomi politik yang melandasinya akan membuat setiap peristiwa kejahatan HAM terlihat seperti tidak berhubungan dan terisolasi sendiri. Kemudian dapat dengan salah disimpulkan bahwa peristiwa tersebut adalah akibat dari kekejian jenderal-jenderal ataupun kesalahan-kesalahan oknum-oknum. Maka kepentingan ekonomi politik yang menindas dapat diselamatkan dari kesalahan. Sehingga para penjahat HAM yang dahulu mati-matian menjalankan dan mempertahankan kepentingan ekonomi politik Rejim Militer Soeharto, sekarang dapat dengan mudah menipu rakyat.

Menipu dengan mengatakan bahwa mereka akan mengelola sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Bahwa mereka akan membangun BANGSA YANG MANDIRI dari kekuatan-kekuatan Imperialis. Bahwa suara mereka adalah SUARA RAKYAT. bahwa mereka akan membangun EKONOMI KERAKYATAN. Karena semua itu dahulu dihancurkan oleh Rejim Militer Soeharto. Dan mereka (Golkar dan Militer) dengan tegas, berani berada di garis depan mempertahankan Rejim Militer Soeharto.

Secara umum politisi borjuis memang akan selalu menipu. Mereka sejatinya membawa kepentingan para pemilik modal dan tuan tanah, yang merupakan kelompok kecil didalam ratusan juta rakyat Indonesia. Namun pemilihan umum terus memaksa mereka bahwa untuk menang mereka harus mencari dukungan sebanyak mungkin rakyat. Rakyat yang kepentingannya berbeda bahkan bertolak belakang dengan borjuasi. Sehingga politisi borjuis akan selalu mempunyai pidato yang berbeda di berbagai kesempatan. Untuk hal ini kita mendapatkan pengakuan dari Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra (Sumber : Tempo).

Persoalan kejahatan HAM terhubung erat dengan kepentingan ekonomi politik. Faktanya berbagai kejahatan HAM terjadi untuk menjalankan kepentingan ekonomi politik tertentu. Ada kepentingan-kepentingan ekonomi politik yang begitu tidak populer sehingga satu-satunya cara kepentingan tersebut dapat dijalankan adalah dengan kekerasan. Para penjahat HAM memenjarakan rakyat agar dapat membebaskan kenaikan harga-harga. Mereka menghilangkan aktivis agar akumulasi modal dapat ditemui dimana-mana. Mereka membunuh rakyat untuk menghidupkan kembali kekuatan modal.

Kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal seperti pencabutan subsidi, privatisasi, liberalisasi dan fleksibilitas pasar tenaga kerja hanya bisa berjalan dengan maksimal mempersempit hak asasi politik rakyat. Tidak heran kemudian muncul UU Ormas, UU Kamnas, RUU KUHP hingga penetapan 48 industri (termasuk kawasan industri) menjadi objek vital nasional ataupun penandatanganan kerjasama kawasan industri dengan militer.

Sehingga bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa Prabowo akan menaikan upah minimum dengan merevisi KHL (Sumber : Kompas) Tidak mungkin kita bisa mempercayai Prabowo untuk memenuhi janji kesejahteraan buruh ketika dia merupakan bagian dari Rejim Milter Soeharto (Sumber : Merdeka.com) yang membunuh Marsinah hanya karena menuntut upahnya. Yang berdiri untuk menjaga kepentingan modal internasional serta kroni-kroninya diatas eksploitasi tehadap buruh murah (dan lobi-lobi sudah dilakukan: Lihat Tempo) Tidak mungkin juga kita bisa mempercayai Prabowo akan mendukung demokratisasi dengan mencabut UU Ormas, sementara dia sendiri merupakan bagian dari Rejim Militer Soeharto yang pendiriannya berlandaskan atas penghancuran esensi demokrasi itu sendiri. Apalagi bermimpi Prabowo akan membawa ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan sudah dihancurkan sejak Rejim Militer Soeharto berkuasa.

Disisi yang lain persoalan penuntasan kejahatan HAM adalah bagian dari perjuangan demokratisasi di Indonesia. Hambatan paling besar dari proses demokratisasi tersebut adalah masih bercokolnya kekuatan sisa-sisa Orde Baru (yaitu Golkar dan Militer). Sehingga tentu saja kita tidak dapat mengharapkan penuntasan kejahatan HAM dilakukan oleh kekuatan sisa-sisa Orde Baru tersebut. Namun apakah itu berarti bahwa kita dapat mengharapkan kekuatan borjuis diluar sisa-sisa Orde Baru untuk menuntaskan kejahatan HAM? Jawabannya juga tidak. Karena sejak dahulu peran mereka dalam perjuangan untuk demokrasi setengah-setengah, tidak serius dan masih ditarik-tarik kakinya oleh sisa-sisa Orde Baru.

Demikian maka penyelesaian kejahatan HAM hanya bisa dilakukan oleh kekuatan yang tegas terpisah dari kekuatan penopang Rejim Militer Soeharto (Golkar dan Militer). Hanya kekuatan gerakan demokratik dan rakyat yang dahulu berjuang melawan Rejim Militer Soeharto serta yang tumbuh paska penggulingan Soeharto yang dapat menuntaskannya. Tentunya kekuatan utama dalam menuntaskan perjuangan untuk demokrasi adalah klas buruh. Karena posisinya didalam tatanan kapitalisme maka pada akhirnya perjuangan kaum buruh menuntut kesejahteraan bukan saja mengharuskan penuntasan demokratisasi di Indonesia namun juga membangun demokrasi sejati.

Masa depan yang kita inginkan adalah kesejahteraan bagi rakyat. Dan kesejahteraan itu hanya bisa didapatkan ketika kekuasaan ekonomi politik berada ditangan rakyat. Ketika hak asasi rakyat bukan saja dalam deklarasi-deklarasi; ketika demokrasi bukan hanya lima tahunan. Ketika kaum buruh dan rakyat memiliki kekuasaan politik untuk menentukan arah dan kebijakan yang akan dijalankan.

Untuk membangunnya maka kaum buruh harus melawan lupa. Lupa terhadap kekejian yang dilakukan oleh para penjahat HAM terhadap rakyat di Aceh, Papua, Timor Leste; terhadap mahasiswa, buruh dan petani yang menuntut haknya; terhadap kepentingan kekuatan modal, mengobral aset-aset dan sumber daya alam, pasar buruh murah, hutang luar negeri yang hanya bisa mereka jalankan dengan kejahatan HAM. Tentunya kaum buruh juga harus menolak ke-“masa bodo”-an. Karena ke-“masa bodo”-an akan berarti membiarkan penindasan terus berjalan. Membiarkan para Penjahat HAM kembali mengulangi kekejian mereka dengan tujuan untuk membentuk Indonesia sesuai dengan keinginan kekuatan modal.

Oleh : Ignatius Mahendra Kusumawardhana, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.

Loading

Comment here