Pemilihan Umum atau yang disingkat “Pemilu”, dimaknai sebagai alat demokrasi di zaman modern. Konon dengan pemilu-lah Rakyat diberikan ruang partisipasi untuk menentukan pemimpin dan wakil-wakil mereka dimasa depan. Jika berkaca kepada proses pemilu di Indonesia, banyak kalangan yang menyebut jika pemilu tidak lebih dari sekedar label formal yang digunakan untuk melegitimasi pemimpin yang akan terpilih nantinya.
Sesungguhnya pemilu hanya menjadi sandiwara tanpa arti, dimana pemenang sudah ditentukan sebelum proses pemilu berlangsung. Coba saja tengok aturan main pemilu! Dibuat sedemikian rupa agar memudahkan individu atau kelompok tertentu, dan disisi lain justru mengebiri hak mayoritas Rakyat Indonesia. Setidaknya terdapat beberapa alasan yang mendasari hal tersebut.
Pertama, Sejak tahun 2004, dimana sistem pemerintahan mulai mengalami pergeseran dari parlementer ke presidensial, terhitung aturan pemilu legislatif telah berganti sebanyak 3 kali. Mulai dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Ketiga produk Undang-Undang tersebut mengatur tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jika coba dibandingkan, undang-undang pemilu yang berubah-ubah tersebut pada intinya mencoba membuat pengetatan syarat kepesertaan partai politik dalam pemilu. Artinya, hal tersebut sama saja dengan mengunci pintu hak politik rakyat untuk membangun wadah politiknya sendiri.
Kedua, aturan main pemilu yang tidak konsisten atau berubah-ubah, berimplikasi kepada pembatasan hak politik Rakyat. Salah satunya menyangkut syarat peserta pemilu. Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dikatakan bahwa “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. Ambang batas (parlementary threshold) yang dipatok sebesar 2,5 persen dari total jumlah suara sah secara nasional, jelas hanya mengakomodasi partai-partai penguasa saja. Ini berarti partai-partai yang tidak lolos ambang batas (non parlemen), termasuk partai baru, harus berjibaku untuk menjadi peserta pemilu.
Ini sama saja dengan membunuh partisipasi politik Rakyat dengan membebankan syarat yang terlalu berat jika ingin menjadi peserta pemilu. Dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, secara tegas menyebutkan bahwa jika partai baru termasuk partai yang tidak lolos ambang batas, ingin menjadi peserta pemilu, maka harus memenuhi syarat diantaranya, berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik, memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, dll.
Ketiga, aturan ambang batas (parlementary threshold) membunuh politik lokal. Tidak semua partai-partai yang ada memiliki representasi kursi ditingkat pusat. Sebagian partai-partai peserta pemilu sebelumnya, justru memiliki keterwakilan ditingkat lokal. Jika aturan main mengenai ambang batas diberlakukan, maka keterwakilan mereka menjadi tidak berarti sama sekali. Kita tidak sedang membela kepentingan partai-partai peserta pemilu sebelumnya yang memiliki kursi ditingkat daerah, tetapi ingin menelanjangi bahwa aturan main pemilu hari ini memang hanya diarahkan untuk mengakomodasi partai-partai besar yang berkuasa saja.
Keempat, keterwakilan perempuan yang didorong oleh politik afirmatif, tidak lebih dari sekedar formalitas belaka. Permasalahan perempuan dalam ranah politik, cenderung dianggap selesai hanya dengan pendekatan kuantitas tanpa mengedepankan kualitas politik dari perjuangan kaum perempuan. Akibatnya, partai-partai politik justru berlomba-lomba memasang calon-calon anggota legislatif yang berasal dari kaum perempuan. Tetapi hal tersebut hanya secara simbolik belaka, tanpa menekankan basis program partai yang mendorong partisipasi dan hak politik kaum perempuan secara nyata. Gejalan ini terlihat dari banyaknya kaum peremuan dari kalangan artis yang dipasang sebagai caleg dipartai-partai tertentu. Dorongan popularitas seseorang dijadikan sebagai mesin pengeruk suara bagi partai-partai. Logika ini yang justru menjadikan kaum perempuan sebagai objek eksploitasi politik, ketimbang mengasah dan menempa kemampuan politik melelalui kaderisasi secara matang.
Kelima, aturan main pemilu tidak cukup memuat mengenai sanksi atau paling tidak pengetatan syarat terhadap partai-partai politik yang terindikasi banyak melakukan penyimpangan. Hal ini mencakup, aturan mengenai transparansi keuangan partai politik yang lemah dan justru cenderung menjadi bias saja, termasuk pula bagaimana sistem yang harus dipergunakan kepada kader-kader partai politik yang tersangkut kasus korupsi, pelecehan, dll. Walhasil, mereka yang tersangkut kasus-kasus hukum, justru bebas diajukan kembali mejadi anggota legislatif.
Lantas bagaimana dengan hak politik Rakyat? Aturan pemilu tidak memberikan jalan bagi terbangunnya partisipasi politik secara kongkrit. Rakyat justru masih diposisikan tidak lebih dari sekedar mesin suara (voter gate) saja. Ini berarti Rakyat hanya diposisikan sebagai objek, bukan sebagai entitas subjek yang berhak terlibat secara penuh dalam proses politik tersebut. Mulai dari keterlimbatan dalam membangun alat politiknya sendiri melalui partai politik, hingga dalam hal menentukan pilihannya sendiri, termasuk hak untuk tidak memilih dalam pemilu nantinya. Maka adalah hal yang wajar jika dikatakan bahwa pemilu hari ini, bukanlah pemilu untuk Rakyat, tetapi pemilu bagi kaum pemodal. Pemilu yang tidak akan menghasilkan apa-apa bagi Rakyat Indonesia (cst).
tolak pemilu. pemilu tdk penting karna syarat dgn kecurangan dan penyelewengan. tolak pemilu