Menjelang Pemilu 2014 yang dimulai 9 April mendatang, seluruh rakyat seakan didesak lebih keras untuk memilih wakil-wakil nya masuk ke dalam lembaga perwakilan rakyat. Instrumen “lembaga perwakilan rakyat” sendiri, jika dilihat dari sejarah, adalah bagian dari konsep trias politika (eksekutif, legislatif, yudikatif) yang menandai berakhirnya kekuasaan monarki (kerajaan) dan berkuasa nya kelas borjuis/pemodal beserta ide-ide nya tentang kekuasaan di jaman kelahiran kapitalisme. Salah satu ide yang menumbuh-kembangkan kapitalisme ditahap awal, sekaligus menjadi landasan dari trias politika adalah demokrasi.
Demokrasi saat itu bagai air yang menyirami gersang nya pemerintahan absolut (monarki). Namun sebenarnya, walau “demokrasi” sudah ada dalam bentuk pergantian kekuasaan reguler, kebebasan berpendapat dan berorganisasi, demokrasi masih memiliki watak yang “jauh dari rakyat”. Jika di jaman kerajaan bersuara dan berpendapat yang berbeda dengan penguasa saja dilarang, di jaman demokrasi hambatan berpendapat dan bersuara memang telah banyak berkurang (tapi tidak hilang), namun pemerintah dan wakil rakyat pun berhak untuk tidak mendengar apalagi menjalankan suara atau pendapat tersebut. Tidak ada sanksi dan hukuman bagi pemerintah atau wakil rakyat yang tidak menjalankan apa yang dijanjikan nya pada rakyat dan semua yang mengatasnamakan rakyat.
Hal ini sesungguhnya wajar, karena demokrasi yang muncul dari awal sampai sekarang memang belum lah sesungguhnya dibangun dan berdasar pada kepentingan rakyat.
Kapitalisme dan Demokrasi Borjuis
Demokrasi demikian sebenarnya berakar dari sistem kapitalisme. Sejak kapitalisme lahir, dimana akumulasi dan persaingan mengakibatkan terkonsentrasi nya sebagian besar alat produksi di tangan segelintir orang, demokrasi lebih dulu dipraktekkan melalui kebebasan mempekerjakan anak berusia 10 tahun, kebebasan menggusur tanah petani untuk industri, dan kebebasan menentukan jam kerja yang tinggi (12-20 jam). Karena tidak memiliki alat produksi, buruh yang harus menjual tenaga kerja nya pada pemilik alat produksi/pemodal dipaksa juga menjual hak nya dalam merencanakan dan menentukan produksi.
Dengan tersentralisasi nya modal ke tangan segelintir orang dan semakin terbebas nya pemodal dari proses produksi, pemodal berkesempatan melancarkan kepentingan nya untuk mengembangkan dan mempertahankan sistem ekonomi yang menguntungkan nya itu melalui negara. Negara pun akhirnya ‘ditugaskan’ melapangkan jalan bagi ekonomi yang menguntungkan segelintir orang dan merugikan rakyat banyak itu. Ini sering disebut ekonomi-politik; sebab-akibat ekonomi dengan politik.
Kepemimpinan borjuis dalam negara demokrasi salah satu nya dicapai melalui kemudahan mereka mengakses perkumpulan hingga partai-partai nya yang mengusung slogan kebebasan dan persamaan. Disaat yang sama buruh dan rakyat selalu memiliki batasan waktu dan tenaga untuk berkumpul dan berorganisasi berdasar kepentingan nya akibat kerja produksi yang berat. Butuh ratusan tahun bagi buruh mengorganisir diri berjuang untuk 8 jam kerja maupun kebebasan berserikat—sebagai organisasi pertama yang berdasar pada kelas nya.
Dengan begitu, demokrasi di tangan borjuis pada awalnya lebih merupakan alat melawan dominasi monarki yang menghambat keharusan modal berakumulasi ketimbang ditujukan bagi seluruh rakyat. Tidak heran, ‘kediktatoran’ masih tetap terjadi di lini produksi. Kaum buruh yang berproduksi tidak mempunyai hak menentukan waktu kerja dan upah nya. Bahkan tidak punya hak pula menentukan harga barang-barang yang diproduksinya sendiri.
Sifat dari kapitalisme yang mengubah semua hal menjadi barang-dagangan juga merasuki demokrasi. Kelas buruh dan rakyat pekerja sulit mendapat akses menentukan negara karena ‘berpolitik’ oleh kelas borjuis dibuat sama dengan berwirausaha yang bergantung pada keberadaan modal. Dampaknya, kelas buruh ‘dipaksa’ untuk diwakili oleh perwakilan-perwakilan yang berasal dari borjuis dan partai-partai nya. Tapi bagaimana mungkin buruh dapat mengaspirasikan kepentingan kelas nya melalui borjuis dan instrumen politik borjuis yang menindas nya sendiri?
Borjuis/pemodal yang terlanjur memakai demokrasi kali ini tidak bisa mengelak dari fakta bahwa demokrasi yang semakin mendekat pada rakyat akan merugikan kepentingan nya secara keseluruhan. Terang saja di masa-masa awal demokrasi, masih terjadi banyak batasan dan diskriminasi terhadap hak etnis/ras minoritas maupun kaum perempuan dalam hak suara pemilu, hak berorganisasi, dsb. Seluruh rakyat baru mempunyai hak setelah memperjuangkan nya ratusan tahun, dan sampai sekarang, masih banyak aspek demokrasi yang tidak benar-benar dijalankan oleh negara pemodal di banyak negara.
Kesadaran atas hal ini pula yang membuat borjuis tidak akan pernah konsisten pada demokrasi. Negara yang dikuasai kelas borjuis/pemodal akan membatasi sendiri hakikat demokrasi pada aspek-aspek yang tidak merugikan kekuasaan kelas nya. Dan karena itu pula borjuis berkepentingan membangun demokrasi yang “seakan-akan milik rakyat” melalui ilusi terhadap demokrasi perwakilan: bahwa kekuasaan harus diwakilkan, perwakilan rakyat harus pemodal/orang kaya, pergantian harus sekali 5 tahun, perubahan harus melalui sistem yang ada tanpa mengganti nya, dll. Ilusi-ilusi ini bekerja mengikis kedaulatan rakyat terhadap negara.
Singkat nya, demokrasi di tangan pemodal hanyalah diperuntukkan bagi kelas nya, tapi tidak untuk diluar kelas nya (rakyat pekerja).
Demokrasi : Untuk Rakyat!
Meningkatnya angka golput dalam 3 pemilu terakhir tidak dapat diartikan bahwa rakyat tidak butuh dan percaya lagi pada demokrasi, atau demokrasi sudah gagal. Tetapi justru tanda bahwa rakyat jenuh pada mekanisme dan isi dari demokrasi yang ada. Rakyat butuh demokrasi yang lebih esensial; yang berdaulat menentukan ‘iya’ dan ‘tidak’ pada berbagai kebijakan (melalui referendum rakyat), dan yang bertindak langsung sebagai kontrol karena sudah lelah ditipu.
Namun kedaulatan yang demikian sebaiknya memerlukan tingkat partisipasi yang lebih dari sekedar memberikan suara dan memilih wakil nya. Seluruh rakyat perlu membangun partisipasi nya dalam menentukan negara melalui organisasi-organisasi dewan buruh dan dewan rakyat yang dibangun dari bawah ke atas, dan yang bekerja dan berfungsi sebagai pemerintahan. Disana lah demokrasi (nya) rakyat terjadi; demokrasi yang benar-benar dari, oleh dan untuk rakyat.
Tetapi dalam sistem demokrasi borjuis saat ini, demokrasi rakyat belum akan tercapai tanpa suatu perombakan kekuasaan menuju pemerintahan rakyat. Kaum buruh dan rakyat pekerja membutuhkan syarat yang memungkinkan nya mengakses demokrasi sampai ke lini produksi. Demokratisasi alat produksi (baca: perubahan kepemilikan atas alat produksi) akan menentukan proses demokrasi ini. Untuk itu, dibutuhkan alat politik alternatif yang berkarakter kelas buruh yang sanggup memperjuangkan keberadaan demokrasi yang demikian.
Maka sekarang, ketika pemilu dikatakan ajang demokrasi karena merupakan ajang pemilihan oleh rakyat, kedaulatan rakyat harus bertanya (pada semua calon yang masih ingin dipercayai nya) : “apa guna nya memilih bagi rakyat?”, “apa yang diperjuangkan untuk rakyat?”, “bagaimana rakyat mengawasi dan mengevaluasi nya?”, “bagaimana dengan pembangunan partai alternatif yang berdasar dan bertujuan pada kelas buruh dan rakyat tertindas?” Jika tidak ada jawaban yang ilmiah, tidak memilih adalah jalan paling terang bagi demokrasi (nya) rakyat (kbr).
Comment here