Dalam waktu dua hingga tiga tahun belakangan ini gerakan buruh mengalami perkembangan. Hak-hak normatif yang walau sudah diatur di dalam berbagai produk hukum faktanya sulit sekali diberikan kepada kaum buruh. Jalur-jalur yang tertuang dalam berbagai peraturan hukum untuk memenuhi hak normatif nyatanya seperti perundingan, mediasi, pengaduan ke dinas tenaga kerja ataupun PHI tidak pernah memberikan kemenangan sejati kepada kaum buruh. Karena esensi hak normatif adalah kewajiban bagi pemilik modal untuk memenhinya bukan untuk dinegosiasikan. Gerakan buruh belajar dari pengalaman buruk tersebut dan mengembangkan metode geruduk pabrik, blokade jalur distribusi, dan melumpuhkan kawasan industri. Faktanya metode tersebut efektif dalam memenuhi hak-hak normatif, puluhan ribu buruh yang status kerjanya dilanggar (kontrak dan outsourcing) diangkat menjadi pekerja tetap. Semakin metode tersebut berhasil menghentikan proses perputaran modal maka semakin besar kemungkinan keberhasilan dipenuhinya tuntutan kaum buruh.
Perkembangan gerakan buruh juga telah membuka kemungkinan-kemungkinan kemajuan lainnya, yaitu perjuangan politik mulai membesar diantara gerakan buruh. Dahulu sudah pernah kita dengar bahwa ada upaya membangun suatu partai buruh untuk masuk ke dalam Pemilihan Umum. Selain itu sudah cukup sering kita dengar menjelang pemilihan umum muncul berbagai kontrak politik yang dilakukan oleh partai politik dengan serikat-serikat buruh. Mayoritas cara tersebut minim sekali melibatkan anggota serikat buruh atau kaum buruh itu sendiri. Melainkan hanya merupakan kesepakatan antara elit-elit serikat buruh dengan elit-elit politik.
Namun perkembangan perjuangan politik yang sekarang dilakukan oleh gerakan buruh jauh berbeda. Perbedaan tersebut karena kemunculannya adalah akibat dari perkembangan radikalisasi gerakan buruh. Hal tersebut mengakibatkan bahwa dorongan buruh melancarkan perjuangan politik sekarang memiliki basis massa dan kesadaran yang berkembang. Perjuangan politik tersebut saat ini termanifestasikan juga pada upaya intervensi gerakan buruh terhadap Pemilihan Umum 2014 dengan menitipkan anggota-anggota serikat buruh sebagai calon legislatif. Juga muncul pandangan-pandangan mengenai kemungkinan dibangunnya suatu partai sendiri oleh kaum buruh. Bangkitnya kekuatan kaum buruh menandakan munculnya kekuatan alternatif di luar berbagai macam spektrum kekuatan borjuis dan militer yang telah mendominasi Indonesia selama berpuluh-puluh tahun.
Menjelang Pemilihan Umum 2014 ini bergema slogan diantara kalangan Kiri, yaitu: “Bangun Partai Politik Alternatif”. Namun apa maksud dari Partai Politik Alternatif tersebut? Siapa yang menjadi unsur pembentuknya? Lalu apakah Partai tersebut Partai Revolusioner ataukah Partai Massa Buruh? Jika berbeda lalu bagaimana hubungan antara keduanya? Bagaimana prospek partai tersebut ke depannya? Itu adalah beberapa pertanyaan yang dijawab dalam diskusi ini. Menjawabnya dengan melihat pengalaman dari gerakan buruh di negara tetangga kita, Australia. Gerakan buruh yang sudah memiliki pengalaman perjuangan selama 100 tahun lebih.[1]
Berikut merupakan notula/catatan mengenai jalannya diskusi bertema “Partai Massa Buruh dan Partai Revolusioner: Belajar dari Pengalaman Kaum Buruh Australia”. Diskusi menghadirkan narasumber Kawan Julian dari Socialist Alternative, Australia. Julian adalah seorang aktivis sosialis kelahiran Amerika Serikat (AS) sekaligus sejarawan dan penulis serta salah satu pendiri International Socialist Tendency di Australia. Dia berkuliah di UC Berkeley pada tahun 1966 dan bergabung dengan International Socialists serta terlibat dalam Gerakan Kebebasan Berpendapat dua tahun sebelumnya. Kawan Julian juga pernah melakukan peliputan langsung mengenai revolusi 1974-1975 di Portugal, Revolusi Sandinista di Nikaragua, gerakan rakyat di Filipina pasca jatuhnya Ferdinand Marcos, Uni Soviet di bawah rezim Mikhail Gorbachev, serta pergolakan sosial melawan Soeharto di Indonesia. Diskusi ini diselenggarakan atas kerjasama Penerbit Buku Bintang Nusantara, Konggres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP), dan Partai Pembebasan Rakyat (PPR).
Ignatius Mahendra (Moderator) : Hidup buruh! Malam ini kita diskusi “Partai Massa Buruh dan Partai Revolusioner – Belajar dari Pengalaman Kaum Buruh Australia” Seperti kawan-kawan ketahui gerakan buruh berkembang cukup lumayan. Ada mogok nasional di dua tahun ini. Ada kemenangan di negosiasi-negosiasi.
Ignatius Mahendra : Kita dengar ungkapan buruh go politik. Manifestasinya beberapa serikat buruh menetipkan anggota-anggotanya jadi Caleg. Ada pembicaraan buruh perlu punya partai buruh sendiri. Pembicaraan ini terhenti karena posisinya berbeda. Beberapa SB dukung Jokowi sementara KSPI dipimpin Said Iqbal dukung Prabowo. Kita akan bahas secara spesifik tentang apa itu partai buruh dan apa itu partai revolusioner dengan belajar dari pengalaman kaum buruh di Australia. Saat ini telah hadir di tengah kita, Kawan Julian dari Australia, seorang aktivis buruh sekaligus seorang sosialis yang juga salah satu pimpinan Socialist Alternative (SA).
Julian : Mungkin ada baiknya saya jelaskan bahwa saya bukan pimpinan SA walaupun dulu iya. Tahun 1891 Partai Buruh Australia berdiri. Lebih awal daripada Partai Buruh di Inggris. Memang terdengar mengesankan. Partai Buruh punya peranan khusus dan arti khusus dalam merangkul buruh Australia. Tapi Partai Buruh sama seperti partai lainnya. Bisa kita temukan di beberapa tempat. Situasi ekonomi di Aussie pada 1890an, sebelum partai buruh berdiri adalah situasi ekonomi sangat kuat. Kaum buruh merasa bisa memperjuangkan nasib mereka dalam sistem kapitalis. Bersama partai yang ada, yaitu partai buruh. Tapi kaum buruh tidak tertarik dengan langkah revolusioner. Terjadi krisis 1890 dimana terjadi krisis luar biasa. Kaum buruh melihat tidak mungkin mengembangkan solusi dalam sistem kapitalis yang ada. Dengan atau tanpa partai buruh, tidak ada cara untuk maju dalam situasi seperti itu. Perjuangan tidak bisa capai banyak. Jadi mereka beralih. Keberadan Partai Buruh membawa gagasan “Apa yang diperlukan adalah sebuah partai yang menempatkan individu dalam parlemen untuk memperbaiki situasi tanpa kaum buruh perlu berbuat apa-apa.” Jadi situasi ekonomi secara obyektif pengaruhi partai buruh dengan akibat bahwa partai buruh, meskipun berbasis massa buruh, namun cenderung bersikap menghalangi gerakan buruh dan perjuangan kelas buruh dari bawah.
Hal lainnya yang menarik untuk diangkat adalah partai buruh tidak sendirian dalam gerakannya untuk meraih kekuasaan. Partai Buruh Australia memiliki dua aliansi. Pertama, aliansi Partai Buruh Australia dengan kaum petani (farmers). Sebagian besar petani tidak sepenuhnya bekerja di ladang sepanjang tahun. Ada periode dimana selama enam bulan petani cari pekerjaan lain, misalnya mencukur bulu domba atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Jadi petani juga setengah buruh. Nah, selama periode ini mereka ikut Partai Buruh Australia. Bahkan di utara, para petani ini ikut Partai Buruh Australia melakukan touring kelilingi Queensland. Kedua, di Victoria, belahan selatan Australia, ada aliansi antara Partai Buruh Australia dengan pemilik pabrik (khususnya para pemilik pabrik kecil). Para pemilik pabrik ini takut terhadap persaingan internasional sehingga mereka mencari persekutuan dengan Partai Buruh Australia. Partai Buruh Australia menjanjikan kepada mereka untuk melindungi para pemilik pabrik demikian dengan mengambil alih admnistrasi negara. Inilah dua jenis aliansi yang dimiliki Partai Buruh Australia namun aliansi-aliansi ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan perjuangan revolusioner.
Sejarah Partai Buruh Australia sangatlah panjang. Umurnya sangat tua, bahkan seratus tahun lebih. Jadi apa yang disumbangkan Partai Buruh Australia? Tiga hal. Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan menghalangi perang kelas sekeras-kerasnya. Mari kita bahas satu persatu. Menjelang Perang Dunia I terdapat krisis politik luar biasa di Australia. Saat itu Partai Buruh Australia yang menguasai pemerintahan. Andrew Fisher, perdana menteri Australia berjanji akan mendukung Inggris dalam Perang Dunia I sampai keping dolar terakhir. Fisher dan Partai Buruhnya berusaha terapkan wajib militer namun berkali-kali referendum, gagal total. Buruh-buruh di Australia tidak mau ikut perang. Fisher sang perdana menteri dan para pendukungnya bahkan sampai ditendang keluar dari Partai Buruh Australia.
Kemudian Perang Dunia II. Sekali lagi Australia berada di bawah rezim pemerintahan Partai Buruh Australia (tepatnya sejak 1941). Saat rakyat Australia bertanya mengapa Australia harus ikut berperang dalam PD II, Partai Buruh Australia menjawab “untuk memperjuangkan demokrasi dan kebebasan atau kemerdekaan.” Namun ini tidak benar sama sekali. Sama seperti PD I, PD II adalah Perang Imperialis. Selain itu mereka juga menyebarkan propaganda bohong bahwasanya Jepang hendak menginvasi Australia. Ini tidak benar sama sekali.
Contoh lainnya, saat Partai Buruh Australia berkuasa pasca perang, khususnya dalam bentuk rezim pemerintah dibawah Perdana Menteri Gough Whitlam tahun 1972. Tahun yang sama saya tiba di Australia. Memang saat itu rezim Whitlam menjalankan berbagai reforma-reforma yang menguntungkan kelas buruh dan rakyat Australia. Misalkan upah setara untuk perempuan, asuransi medis, dan lainnya. Namun patut digarisbawahi bahwa ini tidak terjadi atas kebaikan Whitlam dan Partai Buruh Australia begitu saja. Sebaliknya ini terjadi disebabkan gerakan buruh Australia itu sendiri yang mendesakkan tuntutan-tuntutannya jauh bertahun-tahun sebelumnya. Upah setara, misalnya, sudah dituntut dan diperjuangkan sejak tahun 1960. Namun dengan seenaknya Whitlam mengklaimnya sebagai prestasinya. Bahkan saat Whitlam didepak dari kursi kekuasaannya oleh para kapitalis pada tahun 1975, ia dan para pendukungnya berusaha menggambarkan dirinya sebagai seorang revolusioner. Apa yang terjadi sebenarnya adalah selama itu ia berusaha berbaik-baik dengan kelas penguasa di Australia di satu sisi sementara di sisi lain Whitlam menghalang-halangi sekeras mungkin agar gerakan buruh di Australia tidak bisa melancarkan perjuangan serius melawan para kapitalis.
Nah, sekarang kita akan masuk pada poin dan pertanyaan yang paling sulit. Apakah relevan untuk membangun partai buruh massa di Indonesia seperti Partai Buruh Australia? Ini pertanyaan yang sangat sulit dan sangat kompleks. Kita bisa berdebat dan sangat berbeda pandangan terkait hal ini namun sebagai kaum revolusioner, satu hal yang pasti adalah, kita melancarkan perjuangan dengan cara memobilisasi massa buruh untuk berjuang menuntut hak-haknya dengan kekuatan mereka sendiri. Itulah yang paling penting. Kalau diantara kalian ada yang berpandangan bahwa hal yang paling penting untuk dilakukan kaum revolusioner adalah memilih anggota legislatif dari buruh atau menempatkan buruh sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, baik itu presiden maupun perdana menteri, maka silakan angkat tangan. Karena kita akan sangat berseberangan pandangan. Sebagai kaum revolusioner, kita memprioritaskan gerakan buruh berupa radikalisasi dan mobilisasi massa buruh dari bawah. Sementara berkebalikan sepenuhnya dengan hal itu, tradisi Partai Buruh Australia adalah administrasi dan legislasi dari atas agar buruh tidak perlu bergerak dan berjuang di bawah.
Sekarang pertanyaannya adalah apakah dari sana kita bisa menarik perbandingan dengan pengalaman dan kondisi yang ada di Indonesia? Sayangnya tidak. Jembatan yang lebih penting justru datang bukan dari pengalaman Partai Buruh Australia melainkan dari pengalaman membangun Partai Komunis Australia. Inilah yang paling penting karena organisasi ini datang dari tradisi revolusioner bahkan sejarahnya bisa ditarik sejak gerakan sosial demokrasi. Secara historis, terjadi perpecahan-perpecahan dalam gerakan sosial demokrasi antara sayap yang lebih revolusioner seperti Lenin dan Trotsky dengan kaum Sosdem yang telah banyak berkhianat dengan berkapitulasi kepada borjuasi dan mendukung perang-perang Imperialis. Dari perpecahan inilah, sayap-sayap revolusioner kemudian membentuk partai-partai komunis dimana-mana, termasuk Partai Komunis Australia. Namun patut kita garisbawahi disini bahwa kita sebagai kaum revolusioner tidak dalam posisi membuat split atau perpecahan dimana-mana. Apa yang kita harus lakukan adalah mendekati kaum buruh, mengajak mereka berdialog, meyakinkan mereka akan gagasan dan pandangan kita, serta berjuang bersama mereka.
Khusus di Indonesia kita menghadapi perbedaan yang sangat besar bila hendak memperbandingkan dengan kasus di Australia. Partai Buruh di Australia yang sudah ratusan tahun umurnya sudah bangkrut, terpisah dari basis massa buruhnya, bahkan kehilangan dukungan dari buruh, dan sangat terdegenerasi. Sementara di Indonesia, kita menyaksikan justru sedang bertumbuhnya militansi kelas buruh. Memang kalau kita berkaca pada sejarah, terdapat berbagai kelompok revolusioner yang bekerja di dalam partai buruh massa, termasuk Trotsky dan para pendukungnya. Ini banyak kita temui pada orang-orang seperti Ernest Mandel dan sejawatnya sepanjang dekade 1940an dan dekade 1950an. Namun saya melihatnya tidak efektif sama sekali. Tidak ada sumbangsih yang bisa diberikan darinya. Justru pade dekade 1950an malah gerakan mahasiswa yang bangkit dan menyuarakan kritik-kritik keras dan memperjuangkan tuntutan-tuntutan penting. Saya tidak punya jawaban pasti apakah taktik ini akan berbeda bila dipakai di Indonesia, khususnya karena kita sedang menyaksikan tengah bangkitnya perjuangan kelas buruh di Indonesia. Tentu kita juga harus mengembangkan strategi dan taktik berdasarkan situasi dan kondisi obyektif saat ini di Indonesia. Namun berdasarkan insting dan pengalaman saya selama ini, saya merasa jauh lebih baik dan lebih segar saat bekerja di luar struktur yang konservatif, termasuk di luar Partai Buruh Australia.
Mahendra : Baiklah, kini kita memasuki sesi diskusi atau tanya jawab. Silakan bagi kawan-kawan yang ada disini untuk menyampaikan pertanyaan atau pendapatnya masing-masing.
Peserta 1 : Tadi kita sudah dengar perjalanan Partai Buruh di Australia namun sebenarnya bagaimana proses terbangunnya serta bagaimana komposisi gerakan disana? Sementara kalau menurutku secara pribadi, kalau lihat, situasi gerakan di buruh Indonesia bisa berkembang lebih baik pasca 98. Muncul banyak serikat buruh dan serikat pekerja, buruh bisa berorganisasi secara bebas, tidak seperti di rezim Orde Baru. Kupikir bisa dibangun partai buruh massa berdasarkan kekuatan dari buruh itu sendiri.
Julian : Kalau kita bicara konteks Indonesia, saya perkirakan ke depannya akan semakin banyak bermunculan formasi politik massa. Tentu saja jelas menunjukkan kemungkinan besar mengarah ke pembentukan partai buruh massa. Tapi kita juga harus realistis bahwasanya partai buruh massa yang akan terbentuk ini adalah suatu partai reformis. Suatu partai buruh yang hanya akan memperjuangkan perbaikan-perbaikan dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Bukan untuk memimpin kelas buruh di Indonesia menggulingkan sistem kapitalisme. Selama sepuluh hingga lima belas tahun ke depan kita akan menyaksikan dan menghadapi arus politik yang datang dari buruh dan mengarah ke formasi atau pembentukan Partai Buruh, baik itu arus politik reformis maupun arus politik revolusioner. Ya, tentu saja akan ada buruh-buruh yang mengarah ke politik revolusioner tapi harus kita akui bahwa itu jauh lebih sulit terjadi dibandingkan dengan buruh yang bergerak ke gagasan-gagasan reformis. Namun pekerjaan memenangkan buruh-buruh ke gagasan-gagasan, teori, dan politik revolusioner tetap merupakan pekerjaan penting yang harus kita lakukan. Bahkan butuh berlipat-lipat jumlah dari para peserta yang hadir dalam diskusi ini untuk memperjuangkan hal itu lewat usaha yang gigih dan telaten melalui propaganda-propaganda dan forum-forum diskusi publik. Kita juga harus siap bahwasanya dalam kegiatan propaganda-propaganda dan forum-forum diskusi publik kita akan banyak menghabiskan waktu dan tenaga berdiskusi dan berdebat dengan para buruh, meyakinkan mereka, dan berulang kali berkata, “Jangan bertindak konyol dengan berharap pada partai buruh massa yang reformis itu.”
Sedangkan untuk pertanyaan soal kondisi di Australia, saya bisa jawab bahwa saat ini tidak ada organisasi yang bisa disebut partai buruh massa revolusioner. Partai Buruh Australia adalah partai buruh yang reformis.
Peserta 2 : Ini mudah-mudahan saya tidak salah tangkap. Namun saya pikir apa yang kau sampaikan adalah setelah ratusan tahun berlalu, terus naiknya politik buruh, mulai dari pembentukan Partai Buruh Australia, sampai jadi Perdana Menteri Australia, justru tidak ada manfaat berarti bagi kaum buruh disana?
Julian : Benar. Selain itu apa yang terjadi bukanlah proses naik terus secara stabil. Melainkan suatu proses naik turun. Namun selain itu baru-baru ini kelas buruh Australia juga menderita kekalahan besar dalam perjuangan kelas. Jadi kita butuh suatu partai buruh yang revolusioner. Karena selama ini Partai Buruh Australia tidak mampu jawab permasalahan kaum buruh Australia. Memang sudah kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwasanya kelas buruh tidak bisa ikut sistem kapitalisme.
Peserta 3 : Kalau begitu apakah saat ini di Australia ada Partai buruh Revolusioner dan sejauh apa kiprahnya dalam gerakan buruh?
Julian : Tidak ada sama sekali. Memang ada organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok revolusioner tapi mereka terlalu kecil untuk bisa disebut partai. Kita harus pahami bahwa suatu partai itu merupakan organisasi politik berskala besar seperti Partai Buruh Australia (ALP) dan Partai Nasional Liberal (LNP). Kalau kita bicara suatu partai buruh revolusioner maka itu seharusnya merupakan organisasi politik besar yang punya pengaruh-pengaruh besar dalam serikat-serikat buruh bahkan mampu memimpin perjuangan-perjuangan buruh serta mampu menyajikan alternatif di luar sistem yang ada. Partai seperti itu sudah bertahun-tahun tidak ada di Australia. Memang dulu ada Partai Komunis Australia tapi sekarang sudah hilang. Jadi sekali lagi memang ada kelompok-kelompok revolusioner tapi masih kecil.
Peserta 4 : Dalam Pemilu 2009, 2004, dan 1999, sempat ada beberapa partai buruh. Misalnya Partai Buruh-nya SBSI (dengan berbagai nama Partai Buruh Nasional hingga Partai Buruh Sosial Demokrat), Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia (PPPI), yang semuanya diisi oleh orang-orang reformis. Semuanya ikut Pemilu tapi kalah dan memang tidak signifikan perolehan suaranya. Sedangkan di sisi lain juga ada partai dengan politik kiri seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD), Partai Pembebasan Rakyat (PPR), hingga Partai Rakyat Pekerja (PRP), yang juga masih kecil dan minoritas selama bertahun-tahun. Mungkinkah kurang menyebarnya gagasan-gagasan kiri revolusioner serta kurang membesarnya organisasi-organisasi politik ini disebabkan oleh larangan-larangan terhadap Marxisme dan Leninisme? Sementara kalau dibandingkan dengan di Australia, kan, tidak ada larangan demikian sama sekali. Diskusi soal ideologi juga lebih terbuka.
Julian : Memang itu fakta, ya. Namun ada fakta lain yang lebih penting, yaitu bukan larangannya melainkan trauma atau ketakutan yang diakibatkan larangan. Jadi masalahnya bukan pada kata-kata itu sendiri melainkan asosiasi yang ditimbulkannya. Selain itu juga ada faktor lain. Faktor lain itu apa? Seringkali aktivis-aktivis merasa heran, di tengah penindasan dan penghisapan sedemikian bengisnya mengapa massa tidak marah? Kita lihat kehidupan sehari-hari massa buruh berjalan di atas roda industri, disiplin dalam pabrik, sistem sosial yang tidak manusiawi ini membebani pundak kelas buruh begitu luar biasa berat. Namun kita lihat sendiri jumlah buruh yang kemudian masuk serikat buruh juga masih minoritas. Banyak aktivis yang kemudian berpikir mengapa buruh bisa begitu pasif? Mengapa kaum buruh tidak marah? Ini pertanyaan penting yang jawabannya kurang lebih karena buruh bekerja sepanjang hari, terbawa disiplin pabrik, sehingga sistem sosial kapitalisme begitu kuat menghegemoni mereka. Memang harus kita sadari bahwa di masa-masa yang tidak revolusioner, jumlah buruh yang maju kesadarannya dan melibatkan diri dalam serikat maupun kelompok politik revolusioner hanyalah minoritas. Namun mereka ini yang justru harus kita jaga dan rawat sebaik mungkin.
Peserta 5 : Saya buta peta politik di Australia tapi ada satu dua catatan yang saya buat mengenai Socialist Alternative. Karena tema diskusi malam ini tentang Partai Buruh massa dan Partai Revolusioner saya teringat kembali mengenai Partai Bolshevik. Lenin dan kawan-kawannya, pada suatu masa, pernah terlibat dalam perdebatan sengit mengenai bagaimana cara membangun partai. Lenin menyatakan harus membangun partai ketat dengan tradisi revolusioner termasuk soal iuran. Dalam perdebatan dan polemiknya melawan Martov, Lenin menyatakan bahwa anggota partai adalah mereka yang setuju dan paham mengenai program partai serta mendedikasikan diri untuk memperjuangkannya. Sementara itu Martov dan para pendukungnya lebih menghendaki keanggotaan partai dibuka seluas mungkin dan kriteria anggota adalah mereka yang mendaftar serta membayar iuran anggota.
Formulasi Lenin dan kawan-kawan Bolsheviknya terbukti benar. Menjelang revolusi partai Bolshevik punya keanggotaan 8.000 orang. Momen saat itu, 8.000 anggota merupakan anggota yang sudah dididik secara teoretis dan digembleng dengan disiplin partai sehingga mampu membawa gelombang revolusioner agar tidak menyerahkan kekuasaan pada borjuasi melainkan memimpin buruh merebut kekuasaan ke tangan mereka sendiri.
Dalam pandangan saya, dan kawan-kawan Militan lainnya, Partai Revolusioner yang bisa kita bangun adalah partai dengan tradisi Bolshevik. Partai dengan ide, gagasan, tradisi, serta aparatus yang terdidik secara teoretis dan tergembleng disiplin partai. Saya kurang tahu apa Socialist Alternative menyebut dirinya sebagai organisasi atau partai kader. Apa yang mau saya tanyakan adalah, dengan melihat tradisi Bolshevik, dimana anggotanya yang berjumlah 8.000 orang bisa memimpin kelas buruh merebut kekuasaan, bagaimana pandangan Socialist Alternative terhadap Bolshevisme? Bagaimana peran Socialist Alternative di Australia? Apakah Socialist Alternative sama seperti Bolshevik? Selain itu bagaimana juga sikap Socialist Alternative terhadap jalur parlementer?
Julian : Kami tidak menentang perjuangan parlementer. Lenin dan Partai Bolsheviknya sendiri juga pernah menempuh perjuangan parlementer. Bahkan kandidat dari Partai Bolshevik ada yang terpilih duduk dalam Parlementer atau Duma di Rusia. Namun satu hal yang pokok adalah perjuangan harus berdasarkan mobilisasi massa. Socialist Alternative mendasarkan diri pada tradisi Bolshevik. Namun tentu saja ada perbedaan-perbedaan pandangan. Memang Socialist Alternative adalah organisasi kader yang menanamkan teori-teori, wacana-wacana, gagasan-gagasan revolusioner ke anggota sampai menancap kuat, menjalankan tradisi revolusioner soal iuran, menulis dan menerbitkan koran dwi mingguan Red Flag (Bendera Merah), dan sebagainya. Namun kami juga merekrut banyak anggota. Sementara itu di sisi lain ada juga organisasi di Australia yang sampai kelewatan dalam mengikuti formulasi Lenin bahkan hingga sampai jadi karikatur.
Peserta 5 : Saya masih punya pertanyaan-pertanyaan lain khususnya mengenai pertentangan dengan Sosial Demokrasi (Sosdem) dan gagasan-gagasan Kolaborasi Kelas. Partai Bolshevik sendiri menekankan ketatnya organisasi berhubungan dengan kuatnya gagasan-gagasan perjuangan kelas. Termasuk menekankan harus percaya pada kelas buruh serta kelas buruh yang harus pegang dominasi di Uni Soviet. Nah, dalam hubungan antara partai buruh massa dan partai revolusioner, saya dan kawan-kawan di Militan, berpikir bahwa orang-orang dari Partai Revolusioner harus bekerja di ormas-ormas buruh, di serikat-serikat buruh, untuk memenangkan gagasan serta merekrut satu atau dua orang ke dalam garis dan perspektif revolusioner sembari menekankan untuk tetap menjunjung tinggi perjuangan kelas. Jangan menempuh kolaborasi kelas.
Soal parlementer, apa yang kami pahami adalah, taktik parlementer maupun ekstra parlementer tidak jadi masalah, asalkan dilakukan dengan orientasi demi meraih telinga massa buruh. Apakah Socialist Alternative punya pandangan yang sama? Bagaimana kerja-kerja politik Socialist Alternative yang konkret? Selain itu bagaimana posisi yang akan diambil Socialist Alternative seandainya berada dalam situasi yang 100% sama dengan Partai Bolshevik?
Julian : Pertama-tama harus kita sadari bahwanya parlementer adalah medan perang sama dengan pabrik-pabrik dan jalanan. Medan perang perjuangan kelas ada di mana-mana dan suatu organisasi revolusioner harus siap bertarung dimanapun. Apa yang harus kita pahami adalah perjuangan parlementer itu sifatnya sekunder. Kalau kita punya kesempatan maka tentu kita gunakan. Organisasi revolusioner tentu wajib punya program politik yang setiap waktu kita propagandakan ke massa buruh. Tentu ada suatu titik dimana buruh akan berkata, “Kalian punya program politik dan selama ini berjuang tapi mengapa kalian cuma berjuang di pabrik-pabrik dan di jalanan saja? Mengapa tidak berjuang dalam parlemen?”. Dalam situasi demikian kita menghadapi dorongan dari massa buruh yang masih belum mengerti keterbatasan parlemen. Bagaimana kita menyikapinya? Kita menyikapinya dengan merespon, “Baiklah kalau kelas buruh ingin kita masuk parlemen, kita akan masuk parlemen, tapi kita akan melakukannya bukan dengan ilusi bahwa parlemen akan menjawab persoalan buruh. Kita akan masuk parlemen justru untuk memblejeti kapitalisme, untuk menunjukkan batas-batas parlemen, untuk mengeskpos bahwa demokrasi borjuis tetaplah merupakan kediktatoran kelas borjuasi dengan berlandaskan monopoli terhadap alat-alat produksi serta penindasan dan penghisapan terhadap kelas buruh.
Penanya 6 : Tadi Bung Julian sebutkan saat ini tidak ada partai kiri di Australia karena tidak ada yang skalanya bisa disebut sebagai partai. Lantas adakah organisasi-organisasi atau kelompok kiri revolusioner di Australia? Kalau ya, apa saja?
Julian : Pertama, ada Socialist Alternative, organisasi dimana saya tergabung di dalamnya. Jumlah anggotanya sebanyak 300an orang. Kedua, ada Socialist Alliance dengan jumlah anggota sedikit dibawah Socialist Alternative. Ketiga, ada Socialist Party yang merupakan anggota Committee for Workers International (CWI). Keempat, ada Freedom Socialist Party. Kelima, ada Socialist Equality Party dengan jumlah anggota kecil sekali. Selain itu ada beberapa kelompok anarkis tapi tidak ada yang berarti.
Penanya 7 : Jujur saya masih bingung dengan gerakan buruh di Australia. Apalagi kalau mendengar dari penjelasan yang tadi disampaikan, jadi sebenarnya keberadaan Partai Buruh Australia malah merugikan buruh itu sendiri. Padahal soal pendidikan juga lebih baik disana, gerakan masyarakat sipilnya kuat, tidak ada larangan atau trauma komunisme. Lantas mengapa belum ada gerakan buruh atau partai revolusioner yang besar? Apakah ada isu yang lebih besar daripada isu buruh? Apa sebenarnya hambatan perjuangan kelas buruh di Australia?
Julian : Ini pertanyaan yang bagus sekaligus pertanyaan sulit. Kelas buruh sudah berjuang selama seabad lebih di Australia. Tentu saja ada capaian-capaian kecil yang diperoleh, baik itu berupa tunjangan, hak-hak normatif, maupun reforma-reforma lainnya. Termasuk yang dibuahkan oleh kebijakan Partai Buruh namun sekali lagi Partai Buruh Australia tidak tertarik untuk benar-benar memimpin perjuangan kelas sampai kepada kemenangan. Apa yang dilakukan Partai Buruh Australia justru menjadi manajer dari kapitalisme itu sendiri. Selain itu selama 12 tahun terakhir, kelas buruh Australia menderita kekalahan demi kekalahan secara berturut-turut. Tentu ini juga berakibat semakit kuatnya dominasi hubungan sosial buruh dan majikan. Biarpun buruh atau keluarga buruh bisa menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah paling bagus di Australia namun dari tahun ke tahun mereka semakin tertekan oleh sistem sosial ini. Makin lama buruh semakin menyaksikan dan menghadapi posisi bos atau majikan sebagai seorang diktator yang semakin kuat. Ini berlangsung selama 12 tahun terakhir.
Memang ada isu-isu lain di luar isu buruh, misalnya isu pendidikan yang berhasil menarik banyak massa untuk turun ke jalan, dimana pemotongan anggaran pemerintah akibat krisis kapitalisme memaksa dikorbankannya hak-hak rakyat terhadap pendidikan. Selain itu juga ada isu pencari suaka/pengungsi yang merupakan isu kemanusiaan dan berhasil menggerakkan banyak orang dalam demonstrasi-demonstrasi. Namun pada pokoknya, perjuangan kelas buruh di Australia selama 12 tahun terakhir menderita pukulan mundur. Ini harus kita akui. Saat ini jumlah penduduk Australia ada kira-kira 30 juta jiwa. Jumlah buruhnya kira-kira sebesar 70% dari total populasi. Tentu dengan jumlah keanggotaan Socialist Alternative sebanyak 300 orang, apa yang harus kami lakukan adalah bagaimana caranya terus mempertahankan, merawat, dan mengembangkan kader-kader itu melalui terus menjalankan pendidikan rutin mengenai teori-teori Marxisme, kelompok baca buku-buku revolusioner, pertemuan-pertemuan publik mengenai isu-isu terkini, sembari terus bekerja di serikat-serikat buruh dan di kampus-kampus untuk memenangkan buruh dan mahasiswa serta merekrutnya menjadi anggota.
Mahendra : Baiklah, kawan-kawan sekalian, sudah dua setengah jam kita berdiskusi mengenai Partai Massa Buruh dan Partai Revolusioner. Saya pikir banyak pelajaran yang kita dapat dalam diskusi malam ini. Terimakasih pada kawan-kawan buruh dan mahasiswa yang sudah hadir dan berpartisipasi. Sebelum kita tutup diskusi ini, saya persilakan Kawan Julian menyampaikan pesan atau pandangannya.
Julian : Saya pikir diskusi macam ini sangat diperlukan. Banyak sekali yang perlu kita lakukan untuk menyebarkan gagasan dan wacana revolusioner kepada massa. Saya berterimakasih sekali sudah diundang dalam diskusi yang sangat hangat dan bersahabat ini. Semoga acara-acara seperti ini bisa semakin banyak lagi ke depannya.
Mahendra : Mari kita berikan aplaus pada Kawan Julian (tepuk tangan).
Mahendra: Hidup buruh! Hidup mahasiswa!
Para Peserta: Hidup buruh! Hidup mahasiswa!
(Acara ditutup dengan nyanyian “Internasionale” oleh kawan-kawan SeBUMI (Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia). Sebagian peserta masih tinggal di tempat untuk melihat-lihat lapak buku-buku Bintang Nusantara, Toko Buku Buruh Membaca, maupun stan kaos SeBUMI sementara lainnya menikmati obrolan santai tentang pergerakan sembari minum kopi)[2]
[1] Pengumuman Acara via Facebook, “Diskusi Terbatas ‘Partai Massa Buruh dan Partai Revolusioner: Belajar dari Pengalaman Kaum Buruh Australia’”, diselenggarakan oleh Bintang Nusantara, Senin 5 Mei 2014.
[2] Notula ini ditulis oleh Luki Hari, kontributor Bumi Rakyat, salah satu peserta yang diundang, sekaligus bertindak sebagai Interpreter atau penerjemah bagi Kawan Julian dalam diskusi. Notula ini tidak mewakili pandangan pribadi penulis.
Notula ini dikutip dari blog Bumi Rakyat, disebarluaskan kembali sebagai bahan diskusi dan perdebatan bagaimana seharusnya perspektif gerakan buruh yang harus dibangun di Indonesia.
artikel yang bagus mantap