Opini PembacaPerempuan dan LGBT

Marsinah dan Perjuangan Buruh Sepanjang Masa

MarsinahMarsinah… Marsinah… Marsinah…

Marsinah buruh pabrik arloji…

Marsinah.. Marsinah… Marsinah…

Marsinah dibunuh Orde Baru…

Wahai buruh sedunia… bangkitlah melawan…

Hancurkan segala penindasan…

Wahai buruh sedunia… bangkitlah melawan…

Hancurkan segala penindasan…

Penggalan lagu di atas kerap kali terdengar ketika memperingati hari Marsinah. Ia dikenal sebagai pahlawan buruh yang hilang dan akhirnya ditemukan tak bernyawa di ladang petani di desa Nganjuk, Jawa Timur. Marsinah, adalah buruh yang menjadi korban kekejaman Orde Baru. Ia terlibat aktif dalam perlawanan untuk menuntut kenaikan upah sesuai dengan Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur., No. 50/Th. 1992, dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Vokalitasnya dalam menuntut kenaikan upah 20 persen dari gaji pokok di pabrik arloji PT Catur Putra Surya tempat ia bekerja, berujung pada penghilangan nyawanya. Tanggal 8 Mei 1993, jasadnya ditemukan dalam kondisi telah mengalami penyiksaan berat hanya karena kenaikan upah sebesar Rp 550.

Genap sudah dua puluh tahun kasusnya terabaikan oleh pemerintah, pengusutan kasusnya berakhir begitu saja tanpa kejelasan. Selama kurun waktu tersebut dalang dibalik terbunuhnya Marsinah tidak pernah terungkap. Kasus Marsinah, merupakan sebuah catatan hitam bagi penegakan keadilan dan demokrasi di Indonesia.

Sejak jaman Orde Baru, gerakan buruh mengalami intimidasi yang cukup kuat . Organisasi-organisasi buruh yang ada dibatasi hanya pada satu payung yaitu SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Penyelesaian-penyelesaian kasus perburuhan pada masa Orde Baru dianggap tidak adil dan dengan mengandalkan kekuatan militer. Bahkan militer terlibat langsung dan menjadi bagian dari Pola Penyelesaian hubungan Industrial. Mereka diberi wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang cenderung represif guna menghentikan perlawanan gerakan buruh. Salah satu kasus yang paling nyata adalah kasus Marsinah di tahun 1993.

Setelah era reformasi, kondisi perburuhan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Ruang-ruang demokrasi mulai terbuka lebar. Pada perkembangan gerakan buruh, ditandai mulai dari berkembangnya organisasi-organisasi politik buruh, menjamurnya serikat-serikat pekerja di tingkat pabrik hingga aturan-aturan hukum perburuhan yang dianggap interpretatif bagi penyelesaian kasus-kasus perburuhan antara lain Undang-undang No. 21 tahun 2000 Tentang Serikat Buruh, Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Namun, sekedar aturan saja tidaklah cukup. Penerapan aturan-aturan hukum yang sangat tidak maksimal membuat kaum buruh harus bersusah payah menuntut apa yang menjadi hak mereka yang jelas-jelas sudah tertuang dalam UU. Ini dikarenakan lemahnya pemerintah kita mengontrol kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sehingga terkesan ada pembiaran dan pengabaian. Akibatnya,di dalam pabrik pengusaha-pengusaha memainkan aturan ini dengan berbagai cara yang tentu saja agar mereka bisa mendapatkan nilai lebih dari tidak diterapkannya aturan-aturan tersebut.

Problematika Buruh Perempuan

Seperti Marsinah, buruh perempuan lainnya masih juga menuntut hak-hak normatif yang sebenarnya sudah tidak perlu lagi diminta. Dan ternyata masih banyak perusahaan/pabrik yang tidak memberikan hak tersebut. Misalnya cuti haid yang tertuang dalam Pasal 81 UU No. 13 Tahun 2003 masih diabaikan atau kemudian dialihkan melalui aturan/ perjanjian kerja yang isinya memotong masa cuti tahunan jika mengambil cuti haid atau memotong gaji yang besarnya ditentukan oleh manajemen pabrik jika mengambil cuti haid. Ini kemudian memaksa buruh perempuan untuk urung mengambil cuti haid. Pada kasus lain, lembur yang tidak dibayarkan secara penuh masih sering terjadi di beberapa pabrik/ perusahaan. Ironisnya, pengusaha berdalih bahwa lembur adalah bagian dari pengabdian para pekerja terhadap perusahaan. Ada pula pabrik yang menyediakan makanan ketika lembur hingga 4 jam di luar jam kerja, tetapi lembur tetap tidak dibayarkan dengan alasan uang lembur mereka telah berubah menjadi makanan yang mereka makan.

Upah, yang kerap menjadi isu utama bagi kaum buruh sepanjang masa, terutama buruh perempuan. Kebanyakan buruh perempuan digaji lebih rendah karena anggapan-anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, mudah diintimidasi dan tidak berani melawan, perempuan bekerja untuk membantu suami sebagai penafkah utama, atau karena anggapan bahwa kesempatan kerja bagi perempuan sangat sedikit karena pendidikan yang rendah sehingga akhirnya mau digaji berapapun asalkan bekerja dan punya penghasilan. Penangguhan UMP 2013 ditengarai ada permainan antara pemerintah dan pengusaha, dengan alasan bahwa UMP 2013 tersebut terlalu tinggi melampaui KHL dan bisa mengakibatkan kebangkrutan perusahaan. Padahal, selama ini 46 Komponen KHL ( Permenaker No.17/2005 ) yang dijadikan patokan kenaikan UMP sangat tidak relevan dengan kondisi yang ada sekarang. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun telah menegaskan bahwa upah buruh di Indonesia adalah yang paling rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Lainnya.

Kasus pelecahan seksual tak kalah maraknya terjadi di pabrik-pabrik. Dan sudah pasti korbannya adalah buruh perempuan. Modus pelecehannya pun bermacam-macam, mulai dari pelecehan secara verbal seperti bersiul atau mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, psikis seperti lirikan mata dan gerakan lidah dan fisik yang mengarah pada perbuatan seksual seperti mencolek atau mencium. Beberapa kasus pelecehan seksual dilakukan oleh atasan mereka sendiri dengan iming-iming kenaikan gaji atau pemindahan ke divisi kerja yang lebih baik. Dan jika terjadi kasus pelecehan seksual, justru kebanyakan tidak mendapat tanggapan positif oleh pihak manajemen pabrik atau bahkan menyalahkan korban dan dianggap mencemarkan nama baik perusahaan.

Kembali lagi, tidak adanya jaminan keamanan kepada buruh perempuan menyebabkan mereka tak mampu melindungi dirinya sendiri dalam sebuah payung peraturan. Walaupun telah dikeluarkan Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja yang dikeluarkan olah Kemenakertrans yang bekerjasama dengan ILO, namun tetaplah belum mampu mencegah atau menurunkan tingkat pelecehan seksual di pabrik-pabrik. Pedoman tersebut hanyalah himbauan dan anjuran, tetapi bukan merupakan jaminan hukum tetap dalam mencegah maupun menyelesaikan kasus pelecehan seksual yang dialami oleh kaum buruh perempuan. Juga tidak adanya perlindungan keselamatan bagi buruh perempuan yang bekerja di shift sore hingga malam semisal menyediakan sarana angkutan antar jemput khusus, terbatasnya jaminan kesehatan dan jaminan sosial bagi buruh perempuan yang menyusui seperti menyediakan Tempat Penitipan Anak dan Ruang Menyusui di tempat kerja, menunjukkan betapa lemahnya peran negara atas keberpihakan mereka terhadap buruh perempuan.

Marsinah dan buruh masa kini

Marsinah, adalah potret pejuang bagi kaum buruh saat ini. Perjuangan Marsinah, adalah juga apa yang kaum buruh perjuangkan hingga hari ini. Ingatan rakyat Indonesia terhadap tak akan pernah hilang. Tepat hari ini 8 Mei, kematian Marsinah telah menyalakan obor perjuangan kaum buruh di Indonesia, khususnya buruh perempuan. Patutlah, Marsinah diberi penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap apa yang telah ia abdikan atas nama buruh yang ditinhdas.

Marsinah, ia yang berani menentang antek-antek penguasa Orde Baru saat itu dalam menuntut kenaikan upah hingga berujung pada kematiannya, hendaknya menjadi semangat buat kaum buruh di Indonesia untuk tidak lelah berjuang menuntut apa yang telah menjadi hak. Matinya Marsinah jangan sampai sia-sia, jangan sampai perjuangannya terlupakan begitu saja. Perlawanannya tetap akan hidup dalam setiap teriakan “hidup buruh yang melawan” dan dalam setiap langkah kaum buruh yang masih berjuang sampai hari ini. . Sudah saatnya buruh mendesak kepada pemerintah mengambil sikap tegas kepada para pengusaha nakal yang melakukan penangguhan upah terselubung, yang membiarkan pelecehan seksual terjadi di lingkungan pabrik dan PHK sepihak. Pemerintah pun harus segera menerapkan aturan perundang-undangan secara menyeluruh tanpa adanya kepentingan sehingga dapat dijadikan payung hukum bagi tegaknya HAM dan demokrasi bagi kaum buruh di Indonesia.

Dan sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah harus berani membuka ulang kasus Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah menemui titik terang. Pertanyaan yang muncul kemudian : “apakah pemerintah yang sekarang ini mau membuka kembali kasus ini, agar keadilan dapat ditegakkan?”. Sebab, keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap Hak Asasi Manusia (Sumber : Kompasiana).

Belajar dari Marsinah.

Ia yang tak pernah mati………..

Oleh : Qory Dellasera, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.

Loading

Comment here