Opini PembacaPerempuan dan LGBT

Kartini, Tentang Pendidikan dan Kesetaraan

Kartini“Saya akan mengajar anak-anak saya, baik laki-laki maupun perempuan untuk saling memandang sebagai makhluk yang sama. Saya akan memberikan pendidikan yang sama kepada mereka, tentu saja menurut bakatnya masing-masing. …Lagi pula, saya bermaksud akan menghapuskan batas yang menggelikan antara laki-laki dan perempuan yang dibuat orang sedemikian cermatnya.” Kutipan Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 23 Agustus 1900. (Sulastrin Sutrisno, 1981: 66)

25 tahun, hidup yang sangat singkat dengan pemikiran yang luar biasa maju. Kartini, setengah masa hidupnya dikelilingi penjara “adat” yang membuat pemikiran, pertentangan dan perlawanannya diarahkan ke ujung pena dan menggema hingga jauh ke negeri luar. Kartini bukanlah seorang politikus apalagi seorang pejuang garis depan pemimpin perang melawan penjajah yang mati di ujung senjata. Ia hanya perempuan ningrat serba kecukupan, yang berangkat dari apa yang dilihat dan dirasakannya sebagai sebuah penderitaan, bergerak mengubah paradigma ketertindasan adat dan pengetahuan menjadi menjadi kemerdekaan dan kebebasan yang humanis.

Dua setengah tahun setelah suratnya kepada Stella, Kartini membuat nota untuk Menteri Jajahan A.W.F Idenburg yang diberi judul Berilah Orang Jawa Pendidikan. Tiga bulan berikutnya Kartini  kembali menulis nota yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Willem Rooseboom. (Dikutip dari Sulastrin Sutrisno:  Surat-Surat Kartini, Djambatan, 198: 367-397 oleh Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, Kompas Jakarta, 2005)

Kedua nota ini menitikberatkan betapa pentingnya pendidikan harus diberikan kepada rakyat karena pendidikan bagi Kartini merupakan jalan keberhasilan bagi kemerdekaan manusia. Juga bagaimana pendidikan dapat diterima oleh semua kalangan; laki-laki dan perempuan, ningrat dan jelata, kanak-kanak dan dewasa tanpa ada diskriminasi. Sayangnya, nota ini tidak pernah dipublikasikan sehingga penentangannya yang maju tidak pernah diketahui pada saat itu

Pada saat Politik Etis gencar diterapkan pemerintah Kolonial sebagai balas budi kepada Hindia Belanda, dirasakan Kartini tak membuat serta-merta kehidupan menjadi lebih baik.  Beasiswa ke Holland  yang didapat Kartini malah diberikan kepada Agus Salim, karena sang ayah RM Adipati Ario Sosrodiningrat menentang keberangkatan Kartini untuk melanjutkan sekolah ke Holland. Begitupun ketika ia bermohon untuk bersekolah di HBS Semarang, ayahnya tetap tak membolehkannya karena pada saat itu datang lamaran dari Adipati Djojoadiningrat.

Asa yang setinggi langit sebegitu ketika jatuh menghujam bumi. Hingga baginya, politik etis hanyalah akan menambah penderitaan panjang bangsanya, kesempatan memperoleh pendidikan hanya bisa dirasakan oleh laki-laki keturunan ningrat dan bangsawan. Sedang perempuan seperti dirinya apalagi sebagai Raden Ayu, harus dikungkung dengan budaya pingitan dan ketakutan akan perjodohan yang tidak diinginkannya.

Ketika saya membaca novel Jejak Langkah (bagian ketiga dari Tetralogi pulau Buru), Pramoedya Ananta Toer mengkisah tentang gadis Jepara yang tak lain adalah Kartini dan menobatkannya sebagai manusia pelopor dengan pemikiran modern. Dalam novel tersebut terdapat bagian dimana Ang San Mei, istri Minke yang berdarah Tionghoa mendatangi Kartini dan terlibat diskusi yang cukup seru mengenai pendidikan. Ketika Ang San Mei bertanya pada Kartini tentang apa yang akan ia lakukan ketika mendapatkan kebebasan, ia menjawab bahwa di sekelilingnya ada kebodohan dan ketidaktahuan dan juga ada kepandaian, ilmu pengetahuan, kekuasaan berlebih-lebihan yang justru berakibat pada penderitaan masyarakat. (Pramoedya, 2006: 147)

Berangkat dari dua hal itu, Kartini mengkonsep, menggagas dan menyusun pegangan-pegangan pendidikan yang tepat sejak masa kanak-kanak hingga dewasa.  Kartini mewujudkan itu dengan mendirikan sekolah khusus untuk anak perempuan di belakang pendopo rumahnya di Jepara. Pendidikan ia gambarkan sebagai  ”jadi murid dan guru sekaligus, jadi guru dan murid sekaligus”. Saya melihat disinilah letak kesetaraan pendidikan, dimana murid dan guru adalah satu, saling bertaut bukan terpisah, saling memberi dan saling menerima, saling berbagi dan saling mengasihi, saling menghormati dan saling membebaskan. Dan semua itu menjadi terbatas hanya karena terhalang adat yang tidak memperbolehkan perempuan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, melarang perempuan untuk menentukan masa depan sendiri karena sang ayahlah sebagai pemimpin keluarga yang berhak menentukan kemana anak perempuannya akan dibawa dan kepada siapa diserahkan. Dan bahwa tempat perempuan tak lebih berada di ketiak laki-laki yang menjadi suaminya.

Dalam buku berjudul Panggil Aku Kartini Saja,  Pramoedya Ananta Toer juga menelaah ketidaksetujuan Kartini akan adat yang begitu menyiksa, aturan-aturan yang bertingkat-tingkat dan wajib dipatuhi, penindasan manusia atas manusia, hubungan ketidaksetaraan yang mengikat kuat: yang berkuasa dan yang dikuasai.

Adat ini dipatuhi dari lapisan masyarakat paling atas sampai paling bawah. Setiap lapisan diperintah oleh adat tertentu. Hubungan antara lapisan yang satu dengan yang lainnya, pun diatur oleh hukum tertentu pula. Setiap tindakan yang diganjur dikendalikan olehnya, sampai- sampai pada hal yang sekecil-kecilnya: cara bicara, berdiri, duduk membuka mulut, mengulurkan tangan, bahkan cara bernafas pun! (Pramoedya, 2007: 89)

Kartini membebaskan dirinya terhadap adat dan dimulai dari lingkungan rumahnya. Kepada adik-adiknya, Kartini melarang berjalan jongkok, menyembah, menunduk dan bersuara pelan ketika berbicara, dan membebaskan adik-adiknya memanggilnya hanya dengan nama saja. Surat kabar dibaca bersama-sama, makan bersama-sama dan tidur pun bersama. Kebebasan dan kebersamaan yang diinginkan Kartini, bukan ketakutan dan keterpaksaan yang dijalankan untuknya.

Pada ranah kesetaraan inilah saya melihat apa yang dipergolakkan Kartini pada jamannya sangatlah luas. Tidak hanya melihat pada kesetaraan terhadap pendidikan, tetapi juga kesetaraan terhadap kedudukan sosial perempuan. Kartini pun mengalami sendiri bagaimana pahitnya dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga ningrat. Menyaksikan ibunya sendiri, Ngasirah ngesot di hadapannya hanya karena gelar Raden Ayu yang disandangnya, perempuan boleh dipoligami sesuka hati, tidak bisa melanjutkan sekolah hanya karena ia perempuan dan dinikahkan tanpa diberikan keleluasaan untuk menentukan pilihan.

Pernikahannya dengan bupati Rembang Adipati Djojoadiningrat, menuai pergumulan batin terhadap diri Kartini. Bukan main, ia yang menentang keras poligami harus mengingkari sendiri prinsip yang dielu-elukannya. Memang, usia 24 tahun bagi masyarakat Jawa pada waktu itu dianggap sudah perawan tua. Apalagi pemberontakannya terhadap adat sudah sedemikian besar di lingkungan keluarga. Namun kecintaan pada sang ayah membuat pendiriannya luluh. Walaupun begitu, masih ada kekuatan perlawanan dalam diri Kartini untuk memerdekakan dirinya sendiri dari kungkungan budaya dan ketimpangan sosial yang sangat merugikan perempuan. Kartini lalu mengajukan syarat-syarat kepada Adipati Djojoadiningrat. Diantaranya Kartini tidak menginginkan ada prosesi, jalan jongkok,  berlutut dan menyembah kaki  suami.  Kartini juga meminta agar ia dibebaskan juga untuk membuka sekolah dan mengajar di Rembang dan berbicara dalam bahasa Jawa biasa sebagai wujud kesetaraan istri dan suami. (Tempo, 2013: 107)

Pada akhirnya, ada dua pokok yang bisa saya simpulkan. Yang pertama, saya ingin mengungkap bahwa pendidikan adalah jalan menuju kesetaraan dan keadilan bagi manusia tanpa memandang jenis kelamin. Seluruh rakyat harus mendapatkan pendidikan, tidak ada diskriminasi karena kedudukan sosial dan lebih mengutamakan pembentukan watak dan kepribadian sejak dini. Kedua, hanya kesetaraanlah yang  membebaskan perempuan dari budaya yang menindas. Kesetaraan mendapatkan perlakuan yang sama, karena perempuan adalah juga manusia.  Bagaimanakah cara mencapai kesetaraan itu? Jawabnya ada pada surat Kartini yang saya kutip di atas.

Itulah Kartini, pendobrak  yang berjuang dengan caranya sendiri. Bukan sekedar ide, namun juga mempraksiskannya langsung. Dibalik kebaya dan pingitan, pemikiran  bebas membumbung ke udara bagai asap perapian yang keluar dari cerobong. Penghargaan setinggi-tingginya patutlah kita sematkan atas buah pikiran dan perjuangannya. Kartini, tidak ingin masa depan anak-anak bangsa mengalami nasib tragis seperti jamannya. Sekali lagi saya mengatakan : Kartini sudah memulai dan mari kita lanjutkan!

Oleh : Qory Dellasera, Kontributor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.

Referensi

Arbaningsih Dri. 2005. Kartini dari Sisi Lain. Jakarta: Buku Kompas.

Kompas. 2013. Gelap Terang Hidup Kartini. Jakarta: KPG (Kepustakaan Pupuler Gramedia).

Sutrisno Sulastrin. 1981. Surat-Surat Kartini, Terjemahan Door Duisternis Tot Licht Cetakan ke 4. Bandung: Djambatan.

Toer Pramoedya Ananta. 2006.  Jejak Langkah. Jakarta: Lentera Dipantara.

Toer Pramoedya Ananta. 2007. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara

Loading

Comment here