Gadis kecil ini murid kelas 5 Sekolah Dasar 015 di Kelurahan Rawa Makmur, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda. Umurnya baru 10 tahun di tahun 2014 ini. Nadia Tazkia Putri namanya, ia biasa disapa dengan Nadia. Sehari-harinya Nadia di kenal pendiam dan pintar di kelasnya. Anak pertama dari pasangan Ngatimin (39) dan Zuraida (36) ini bercita-cita menjadi guru, ketika ia besar nanti. Kakak dari Amel ini sangat suka olahraga dan ia ingin sekali bisa berenang. Nadia memiliki 6 sahabat dekat yang hampir setiap hari pergi bermain bersamanya, Lika salah satunya. Lika tinggal tepat di depan rumahnya.
Nadia, lahir dan besar di kelurahan Rawa Makmur, Palaran. Ayah dan ibunya adalah transmigran asal kebumen, Jawa barat yang datang pada tahun 1975 ke Kacamatan Palaran, Kota Samarinda. Palaran adalah kecamatan kedua terluas di Kota Samarinda, setelah Kecamatan Samarinda Utara. Luasnya 18.253 Ha atau sama dengan 25,4% luas kota Samarinda. Palaran memiliki 5 kelurahan yang berbatasan langsung dengan kabupaten Kutai Kartanegara dan sungai Mahakam.
Bukuan, Simpang Pasir, Bentuas, Rawa Makmur dan Handil Bakti, sejak tahun 2010 kelima kelurahan tersebut telah dikapling oleh 24 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan satu ijin PKP2B, yang luasnya mencapai 12.915,67 Ha atau 70,76% dari luas wilayah Kecamatan Palaran, rata-rata semua IUP tersebut aktif berproduksi.
Salah satunya ialah PT. Energi Cahaya Industritama, pemegang ijin seluas 1.977,33 Ha yang mengkapling empat Kelurahan di Kecamatan Palaran yaitu Rawa Makmur, Handil Bakti, Bukuan dan Bentuas ini baru saja menyebabkan hilangnya nyawa seorang bocah sekolah dasar bernama Nadia Tazkia Putri pada selasa 8 April 2014 lalu, tepat sehari sebelum pesta demokrasi di Indonesia, untuk pemilihan wakil rakyat yang akan menempati kursi parlemen dan mewakili suara jutaan rakyat Indonesia, termasuk warga kecamatan Palaran.
Nadia tewas saat berenang bersama 6 temannya di lubang tambang milik CV. Cahaya Ramadhan yang merupakan salah satu sub perusahaan PT. Energi Cahaya Industritama (ECI), yang beroprasi di kelurahan Rawa Makmur RT. 43. Lubang seluas kurang lebih 200 meter persegi yang di tinggalkan dan dibiarkan menganga tanpa ada tanda larangan dan peringatan oleh perusahaan tambang dan perhatian serta pengawasan pemerintah kota ini membuat salah satu warganya tewas.
Lubang sedalam 7 meter tersebut dibiarkan sejak tahun 2012 lalu, “saya tau Nadia tengelam dari temannya, saat kami temukan kepala Nadia tertanam di dalam lumpur, dengan memakai seragam olah raga sekolahnya”, tutur Margono bapak yang kini berusia 47 tahun.
“Dulu, lubang ini adalah bukit yang menjadi batas RT. 43 dan 48, bukit itu menjadi daerah resapan air saat hujan, karena banyak pohon yang tumbuh di situ, pohon buah utamanya” kata Basuki Rahmat (53) kakek dari Nadia menimpali.
Tambang ini datangnya pada masa pak Dahlan menjabat sebagai Lurah di 2012 lalu, kami pernah kordinasi dengan beliau kalau kami menolak tambang masuk ke kampung, karena kampung ini kan padat penduduk, ada 52 Rukun Tetangga di kelurahan Rawa Makmur, bagaimana bisa menambang batubara, dan jalannya lewat mana. “ tambah pak Basuki.
Celakanya, selama kami melakukan protes ke pak lurah, tambang tersebut terus saja bekerja, siang dan malam dia meruntuhkan gunung dan menggali lubang. Bukan pakai truk besar mengangkut batubaranya tapi dimasukan karung terlebih dahulu baru diangkut kejalan besar dengan menggunakan truk dan di bawa ke penumpukan di pinggir sungai Mahakam ‘ pak Basuki menambahkan cerita bagaimana cara CV. Cahaya Ramdhan menambang.
Dulu pada awalnya Dinas Pertambangan kota Samarinda sempat memasang pita tanda peringatan bahaya terhadap tambang ini, tapi cuma sekali saja mereka datang selama 2 tahun terakhir. Pita tersebut hilang entah kemana, dan Distamben lupa datang kembali ke Rawa Makmur, mungkin karena terlalu banyak tambang di kota Samarinda hingga mereka melupakan kampung ini.
Memang, hingga akhir november 2012 lalu Dinas pertambangan dan energi kota Samarinda merilis ada 63 IUP dan 5 ijin PKP2B di kota samarinda serta 150 lubang tambang yang masih menganga, mengkapling 71,2% luas kota Samarinda. Bagiamana tidak mungkin, kelurahan Rawa Makmur dengan 1 lubang tambang yang merenggut nyawa Nadia mereka lupakan begitu saja tanpa tanggung jawab menutup dan meratakannya kembali.
PT. Energi Cahaya Industritama (ECI) adalah tambang kedua yang memiliki konsesi terbesar kedua untuk skala Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di kota Samarinda, setelah PT. Insani Bara Perkasa, Ia sudah mulai berproduksi sejak 9 Nvember 2010 dan akan berakhir 13 oktober 2018, perusahaan yang pada awalnya meleburkan diri dari 3 perusahaan skala IUP.
Pemiliknya Honardy Boentario, ia adalah pemain lama bisnis tambang sebagai pemasok PT. Timah, di kaltim ia memiliki bisnis batu bara Mahakam Coal, terminal di Balik Buaya Palaran, melalui grounya Borneo Indonesia, ia juga memiliki 7 tambang di kaltim dan tak luput juga bisnis reklamasi yang sekarang sedang digandrunginya.
PT. Energi Cahaya Industritama memproduksi batubara Palaran untuk melayani India dan china.
Nadia, adalah anak ke delapan yang tewas di lubang tambang setelah Miftahul Jannah, Junaidi, Ramadhani (PT. Hymco Coal, 2011), Eza dan Ema (PT. Panca Prima Mining, 2011), Maulana Mahendra (tambang milik Darmadi, 2012) dan satu anak yang tidak terekspose oleh media di Palaran, Simpang Pasir 2013. Pemerintah kota Samarinda tidak pernah mau belajar dari kejadian-kejadian ini, selalu saja masuk ke lubang yang sama, bagai keledai yang terjerumus kelubang sebelumnya.
Tujuh kasus anak sebelumnya hingga saat ini tidak ada upaya hukum yang tegas untuk memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan penyebab hilangnya nyawa anak-anak tersebut.
Walikota dan dinas pertambangan dan energi kota samarinda dapat diterapkan pasal 359 kitab undang-undang hukum pidana dan pasal 112 UUPLH sebab unsur barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain yang tercantum dalam pasal 359 KUHP maupun paasal 112 UUPLH “setiap pejabat berwenang”, tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penaggung jawab usaha, atau kegiatan lingkungan”, mengakibatkan hilangnya nyawa manusia telah terpenuhi, maka pejabat tersebut harus mendapatkan hukum pidana.
Jika pasal tersebut tidak di jalankan dan diterapkan serta penyidikan pun tidak jelas, yang selama ini penyidikan kasus hanya berlarut-larut mengendur waktu tanpa kejelasan kepastian, dan tanpa transparan atas perkembangan penyidikan kepada publik.
Jikalau memang walikota, dinas pertambangan dan energi serta badan lingkungan hidup yang bertugas selama ini mengawasi jalannya usaha pertambangan tidak mampu mengemban tugasnya lagi, lebih baik mundur dari jabatannya. Karena tidak pernah mau belajaar dari kejadian 7 anak sebelumnya. Mau berapa orang lagikah generasi suram akan tercipta di Kota Samarinda yang hidupnya berakhir di lubang tambang atas kelalaian dan kebijakan yang mereka buat.
#RIPNadia
Samarinda, 10 April 2014
Sarah Agustio, Kontribuor Arah Juang Samarinda.
Comment here