Pojok

Sosialisme di Indonesia: Dari Sneevliet Hingga Soekarno, Dari Pemimpin Menuju Massa

 

Apakah “sosialisme” masih terlalu seram di pendengaran kita? Jika iya, besar kemungkinan ungkapan “sejarah adalah milik penguasa” telah berhasil dijalankan oleh Soeharto dan tentara sejak mereka berkuasa di tahun 1966. Semua aspek dan pengaruh sosialisme di Indonesia dapat segera dibuat hilang dan terlarang, seperti juga penghilangan para pengikutnya dalam babak kelam sejarah Indonesia. Tetapi bagi yang berpikiran maju dan sadar sejarah, penting untuk membongkar kembali catatan-catatan yang telah dipalsukan demi penguasa, agar makna dari apa yang telah berlalu dapat jadi amunisi penguat untuk perjuangan rakyat Indonesia di masa depan.

Tertancapnya ideologi hingga ke akar-akarnya

Tidak ada yang lebih bertanggung jawab dalam menancapkan sosialisme di negeri Indonesia (dulu Hindia Belanda) selain sebuah organisasi kaum sosialis yang dibangun tahun 1914: ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Organisasi ini pada awalnya merupakan kumpulan dari kaum sosialis Belanda yang bekerja di Hindia-Belanda, dan dibentuk atas kegelisahan seorang sosialis Belanda yang berhadapan dengan kondisi-kondisi sosial-politik Hindia Belanda saat itu. Sneevliet namanya. Atau lengkapnya Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Kedatangannya ke Hindia Belanda tahun 1913 dan berkerja di Soerjabajaasch Handelsblad (sebuah surat kabar di Surabaya) telah membawanya menjadi tonggak awal dari kemunculan ide-ide Sosialisme di Indonesia. Namun sebelum memulainya, Sneevliet harus bertemu terlebih dahulu dengan sebuah perdebatan awal didalam ISDV tentang tugas kaum sosialis Belanda di Hindia-Belanda (Indonesia).

sneevlietSaat itu ISDV mengerti betul bahwa penjajahan Belanda di Indonesia dalam bentuk kolonialisme (pemerintahan Hindia Belanda) merupakan bagian langsung dari cara untuk mempertahankan Kapitalisme di Eropa dan Amerika (Imperialisme). Tetapi mereka masih berbeda pandangan tentang apakah sudah saatnya untuk mempropagandakan ide-ide sosialisme dan mendorong kemerdekaan pada masyarakat Hindia Belanda. Pihak yang lebih moderat (yang di kemudian hari berpecah dengan ISDV) lebih menekankan pada tugas-tugas kajian bagi kepentingan fraksi SDAP (Partai Sosial Demokrat Belanda) di parlemen Belanda. Sneevliet akhirnya harus berkompromi, dimana selain mempropagandakan ide-ide sosialisme dan kajian-kajian bagi kepentingan SDAP, ISDV disepakati hanya berurusan dengan politik sebatas apa yang tidak dilarang oleh peraturan kolonial.

Namun demikian, dalam deklarasi prinsip nya ISDV telah memasukkan prinsip “perjuangan kelas” dan makna kemerdekaan dalam tujuan organisasinya, berbeda dari organisasi-organisasi pergerakan sebelumnya yang lebih menekankan segi kebangsaan (seperti Boedi Oetomo atau Indische Partij) atau keagamaan (seperti Serikat Islam):

“persatuan sosial demokrat Hindia Belanda memiliki tujuan bagi pengorganisasian pendudukan Hindia, terutama kaum proletar dan kaum petani tanpa memandang ras dan agama, untuk membentuk suatu partai politik independen yang akan memimpin perjuangan kelas melawan penguasa kelas kapitalis asing di tanah air, dengan demikian melakukan satu-satunya perjuangan yang mungkin mencapai pembebasan nasional. Gerakan ini memberikan segala dukungan yang mungkin pada setiap gerakan ekonomi dan politik rakyat sejauh gerakan itu memperkuat kedudukan pendudukan melawan kelas penguasa” [huruf tebal dari penulis]

ISDV kemudian mulai mengeluarkan pandangan-pandangan sosialisnya dalam terbitan “Het Vrije Woord“ (Suara Kemerdekaan) pada tahun 1915. Walau masih menggunakan bahasa Belanda, tulisan-tulisan dalam terbitan ini ternyata ikut mempopulerkan ISDV dan gagasan Sosialisme di kalangan pemimpin pergerakan rakyat Hindia Belanda ketika itu. Pada 1917 ISDV meluaskan pandangannya dengan penerbitan berbahasa Melayu/Indonesia, “Soeara Merdeka”.

Namun terbitan yang cukup menuai popularitas itu ternyata terasa masih kurang disaat ISDV belum berhasil melahirkan sebuah gerakan berbasis massa yang menjadi syarat dari kemerdekaan rakyat. Saat itu faksi Snevliet yang lebih menekankan sisi agitasi-propaganda dan aksi di ISDV memulai propagandanya menentang pemerintah (salah satunya dalam menentang kriminalisasi terhadap jurnalis Indonesia – Marco Kartodikromo – dan menolak rencana milisi bumi putera menghadapi Perang Dunia I). Faksi Sneevliet juga mulai mempengaruhi organisasi-organisasi massa besar seperti insulinde dan Serikat Islam. Usaha ini dilakukan karena ISDV membutuhkan pengikut sosialis dari kalangan pribumi untuk tampil memimpin dan mengorganisasikan perjuangan rakyat, sebagai suatu hal yang sulit dilakukan oleh kaum sosialis berkebangsaan Belanda. Hingga akhirnya Serikat Islam terbukti menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan pemikiran sosialis di kalangan pribumi, dan menjadikan gerakan berbasis massa yang diharapkan Sneevliet mendapatkan sejarahnya di Indonesia.

Serikat Islam sendiri pada awalnya merupakan organisasi para pedagang pribumi yang ingin menghempang dominasi pedagang-pedagang dari timur asing dan eropa. Tidak ada niat apapun untuk menghentikan pemerintahan kolonial Belanda selain hanya meminta sedikit ruang hidup dalam perdagangan. Namun kepopulerannya lewat simbol islam (yang menjadi salah satu identitas pribumi saat itu) membuat penduduk pribumi yang berasal dari ‘kelas bawah’ sering menjadikannya simbol perlawanan dan (karena pembukaan keanggotaan SI secara luas) akhirnya membuat rakyat berkumpul didalamnya. Semaun, Darsono maupun Alimin (yang kemudian menjadi kaum sosialis) pertama kali dilahirkan dari organisasi ini.

Sedangkan, disaat pandangan-pandangan sosialis telah mengalir deras dan meraih kepopuleran dalam tubuh SI khususnya cabang Semarang, dan setelah peristiwa revolusi Rusia 1917 yang tersiar ke pelosok dunia, tokoh-tokoh pergerakan Indonesia dari yang berpandangan nasionalis sampai islam, dari Tjokroaminoto sampai Soekarno, mulai ikut gandrung untuk mempelajari karya-karya Marx dan Engels, khususnya yang berjudul Das Capital (Modal). Dan saat itu dapat dikatakan, tidak ada pemimpin pergerakan yang menolak tujuan-tujuan sosialisme secara umum (yang dianggap sebagai tujuan persamaan antara sesama manusia tanpa penindasan).


Jatuh-bangun, perpecahan dan persebaran

Pengusungan prinsip dan tujuan sosialisme kedalam sebuah partai politik akhirnya terjadi pada tahun 1920, yaitu hasil dari perubahan ISDV sendiri menjadi Partai Komunis Indonesia. Dalam komposisi ISDV yang sudah banyak memiliki anggota dari kaum buruh dan pribumi, momentum pendirian partai bernama komunis didorong oleh dua hal. Pertama, terbentuknya Internasional Komunis pada 1919, yang sekaligus mematenkan nama ‘komunis’ secara internasional untuk membedakan diri dari sosial-demokrat secara internasional yang berkhianat pada perjuangan kelas—lalu menggusarkan pemimpin ISDV atas nama ‘sosial-demokrasi’ yang disandangnya. Kedua, faksi yang lebih moderat dalam ISDV kemudian membentuk organ terpisah yang bernama ISDP—sehingga ikut melahirkan masalah kemiripan penyebutan ‘v’ dengan ‘p’ di kalangan pribumi. PKI akhirnya bergabung dengan Komunis Internasional (Komintern).

PKI 1

Namun permasalahan prinsip dan karakter Internasional yang menjadi salah satu prinsip sosialisme akhirnya menuai pertentangan tajam dikalanga

n yang mengakui tujuan-tujuan sosialisme, baik yang berada didalam PKI maupun yang kemudian tumbuh diluar PKI (semisal yang berada didalam PSI, PNI, PARI, maupun Murba). Kelompok-kelompok yang tumbuh diluar PKI merasa ada ‘jalan lain’ diluar dari apa yang dikatakan Marx dan diluar dari apa yang terjadi di Rusia pada tahun 1917; yang ‘lebih berkarakter Indonesia’ dalam bentuk-bentuk “sosialisme islam/religius”, “marhaenisme”, ataupun “sosialisme-demokrasi/kerakyatan” yang menolak prinsip perjuangan kelas dan internasionalisme.

Sedangkan didalam PKI sendiri kebijakan Komintern saat itu untuk bekerjasama dengan kalangan nasionalis revolusioner atau borjuis-demokratik (demi kemerdekaan nasional) juga sempat membuat kegagapan. Sebagian besar pemimpin meyakini dukungan terhadap nasionalisme (yang dibawa oleh kelas pedagang) sama saja membiarkan perjuangan kelas berada dibawah perjuangan nasional dan ikut menyudutkan kaum sosialis berkebangsaan Belanda. Mereka meyakini bahwa hanya perjuangan kelas (kaum proletariat dan kaum tani) yang mampu menjadi dasar dari pembebasan/kemerdekaan nasional yang sejati.

Pertentangan-pertentangan lain antara Komintern dengan sebagian pemimpin PKI juga terjadi pada soal keterlibatan didalam Volksraad (semacam Dewan Perwakilan Rakyat) ataupun kerjasama dengan Pan-Islamisme. Ketegangan ini diperparah dengan terlambatnya resolusi khusus Komintern pada persoalan-persoalan di Asia khususnya Indonesia (yang menurut sebagian pemimpin PKI berbeda dengan India maupun Mesir), dan membuat beberapa pemimpin PKI beberapa kali menghiraukan kebijakan Komintern. Demikian pula Komintern sempat menuding PKI sedang bergerak ke ‘ekstrem kiri.’

Tetapi, periode pembangunan perlawanan rakyat (1920-1926) melalui metode aksi massa dan mogok kerja yang dipimpin oleh PKI dan SI ketika itu telah membuat pengaktifan perlawanan massa rakyat mulai sampai pada usaha-usaha (politik) penumbangan pemerintah kolonial. Dan ditahun 1926, beberapa faksi PKI ‘dipaksa’ oleh ancaman pemerintah dan agitasi revolusioner mereka sendiri—yang membuat anggota dari kaum pribumi yang memiliki sentimen anti-kolonial yang tinggi membengkak jumlahnya—untuk melakukan pemberontakan segera. Walau berhasil dipatahkan dengan mudah dan kemudian PKI dilarang, pemberontakan ini ikut memberi inspirasi bagi pejuang-pejuang rakyat yang bertumbuhan di periode selanjutnya untuk mendorong kemerdekaan lebih serius lagi. Dikalangan PKI sendiri terjadi perpecahan besar dalam mengevaluasi peristiwa ini.

Dilarangnya PKI tidak membuat pandangan-pandangan sosialisme sama sekali hilang dari dunia pergerakan. Prinsip-prinsip kesetaraan antar bangsa, ras, agama, maupun kedudukan sosial (yang awalnya diterangi oleh Sosialisme), walau dijalankan dalam praktek politik yang berbeda-beda sekaligus membingungkan, telah juga merasuk kedalam gerakan kemerdekaan nasional hingga terwujudnya di tahun 1945. Saat itu kaum yang menamakan diri sebagai sosialis memang telah berpencar kedalam berbagai organisasi dan menerapkan strategi-taktik yang berbeda-beda pula dalam menyongsong kemerdekaan nasional.

buruh sedunia

Dengan dibukanya demokrasi setelah kemerdekaan, PKI akhirnya kembali ke permukaan dan berhasil mengkonsolidasi diri dengan cepat, sehingga pada pemilu pertama tahun 1955 mampu menjadi partai ke empat terbesar di Indonesia. Polarisasi kekuatan-kekuatan penggerak kemerdekaan yang dianggap sudah mengakar di Indonesia  menggiring Soekarno pada suatu konsep aliansi 3 kekuatan besar di Indonesia: Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM). Namun kelompok-kelompok sosialis yang berseberangan dengan kebijakan Soekarno (khususnya soal perjanjian KMB) akhirnya semakin menjauhkan diri dari garis politik PKI di era Soekarno.

 

Setelah mendapat banyak pelajaran politik dari periode kemerdekaan (kemajuan dan kemunduran, persatuan dan perpecahan), peristiwa G30S tahun 1965 yang dituduhkan pada PKI akhirnya menutup lembar terbuka sosialisme di Indonesia. Tidak begitu jelas alasan yang dialamatkan pada PKI dalam membunuh para Jendral dan menjatuhkan Soekarno saat itu. Banyak buku dan kisah yang memberi analisa ilmiah tentang peristiwa ini. Tapi yang ironis, peristiwa lubang buaya telah dijadikan alasan bagi Soeharto untuk membubarkan PKI dan melakukan pembunuhan massal terhadap jutaan rakyat pendukung PKI (ditaksir mencapai 1,5 juta). Alasan pembantaian ini menjadi lebih jelas setelahnya, ketika Soeharto membawa kembali penjajahan baru ke Indonesia melalui kontrak dengan modal asing.


Menimang masa depan

Begitulah jalannya sejarah kita, bahwa sosialisme telah meninggalkan bekas pada jiwa perlawanan rakyat Indonesia menghadapi penindasan di lapangan apapun. Alasan yang menyebabkan mengapa pandangan sosialis sering dimusuhi oleh berbagai jenis pemerintahan dari kolonial hingga orde baru, dan yang membuatnya harus jatuh-bangun, adalah terutama karena pandangan nya yang tajam dalam melihat ‘masyarakat berkelas’ yang dipertahankan para pemilik modal. Dengan mengambil sudut pandang ‘kelas’ pada aspek perjuangannya, kaum sosialis telah membuat ‘terang’ hakikat dari penindasan yang terjadi dalam diri rakyat Indonesia. Tentu dalam serangkaian ketajaman, sosialisme tetap tidak dapat dijalankan tanpa merebut kekuasaan (politik), hal yang akhirnya menuai banyak perpecahan juga dalam memandang cara-caranya (strategi-taktik politik).

Sejalan dengan ketajamannya, kaum sosialis telah dipupuk untuk menjadi pejuang yang paling militan di setiap arena perlawanan dalam sejarah. Snevliet sampai harus meninggalkan pekerjaannya yang bergaji tinggi untuk turut dalam pembangunan sosialisme di Indonesia. Tan Malaka sampai harus masuk penjara berkali-kali. Sedangkan Semaun, Darsono, Alimin, Pramudya Ananta Toer dan beribu-ribu pejuang lainnya harus melewati penangkapan, pembuangan dan pengasingan untuk mewujudkan kemerdekaan dan pembebasan rakyat.

Sebagai dasar negara, Pancasila yang diilhami oleh Soekarno juga tidak dapat ditolak telah mendapat pengaruh dari pandangan-pandangan sosialis. Soekarno bahkan sudah mengatakan dengan tegas bahwa arah dari kemerdekaan Indonesia adalah sosialisme. Selain butir kelima yang sedikit-banyak mencerminkan ke”sama-rata”an, butir kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab) juga telah mendekati karakter internasional yang sebelumnya tidak dikenal dalam Budi Utomo, Indische Partij, Serikat Islam, maupun PNI.

Memang, berbagai pelajaran dan peraturan sedang terus dikeluarkan pemerintah untuk menghempang pandangan dan gerakan sosialis, termasuk dengan menutupi sejarah peran kaum sosialis dalam kemerdekaan. Namun, ideologi sosialisme telah terlanjur menyatu dengan jiwa perlawanan rakyat Indonesia yang kokoh, sehingga semakin memperjelas kepentingan apa yang berada dibalik kekuasaan pemerintah yang melarangnya, yaitu modal.

Saat ini, pemikiran sosialis ditantang untuk terus menajamkan pandangan berikut strategi-taktik politiknya. Laju krisis kapitalisme yang bertubi-tubi dan menimbulkan pergolakan rakyat di seluruh dunia beserta bukti terus-menerus pemerintahan yang berpihak pada kaum modal telah menjadi ‘pintu lebar’ dari gagasan sosialisme untuk menjelaskan pada rakyat Indonesia dan mendaratkan cita-citanya: Pemerintahan rakyat, Kesejahteraan rakyat, dan Kepemilikan sosial/kolektif atas alat produksi.

 

Sumber:

A.M Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, l967

John Roosa, Dalih pembunuhan massal: Gerakan 30 September dan kudeta Soeharto, ISSI dan Hasta Mitra, Jakarta, 2007

Ruth T. Mcvey, Kemunculan Komunisme di Indonesia, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009

Soe Hok Gie, Orang-orang di persimpangan kiri jalan: Kisah pemberontakan Madiun 1948, Bentang Budaya, Jakarta, 1997

Suwarsono, Berbareng Bergerak: sepenggal riwayat dan pemikiran Semaoen, LkiS, Yogyakarta, 2000

 

Pernah Diterbitkan dalam Kibar Juang 3

Loading

Comment here