Engkau yang ajarkan kami cara
kembangkan kehidupan dengan bertani.
Kini, kami tak bisa terima dengan masa depan anak-anakmu yang terus dipaksa jadi TKI.
Ibu, kami masih pegang teguh cita-citamu
untuk hilangkan ketidakadilan diatas tanah kehidupan.
Karena engkau telah ajarkan pemilik hari esok tentang tanggung jawab perjuangan.
#KisahIbuHari.
Kemarin, 22 Desember, kita sudah memperingati Hari Ibu. Di Surabaya, hari Ibu diperingati dengan menggelar acara “Goyang Caesar” di halaman Balaikota Surabaya (detik.com). Di Solo, peringatan hari Ibu dirayakan dengan lomba balap karung (sindonews.com). Sedangkan di Jakarta, peringatan hari Ibu dilaksanakan dengan menggelar jalan santai dan funbike. (metrotvnews.com). Pada hari itu pula jutaan orang memberi ucapan selamat dan terima kasih kepada ibu mereka masing-masing karena telah berkorban demi tumbuh berkembang nya mereka sampai sekarang.
Namun tak banyak yang mengetahui apa dan bagaimana sejarah hari ibu untuk kemudian memaknainya hari ini. Tentu saja setiap ibu memiliki jasa tak terkira dengan melahirkan dan merawat setiap generasi yang sering tumbuh melebihi batasan masa lalu. Tetapi dalam sejarah diketahui persis, bahwa hari ibu bukanlah sekedar tentang ibu yang sangat domestikal didalam setiap rumah tangga. Melainkan tentang perjuangan kaum perempuan itu sendiri secara umum.
Awal Kebangkitan dan Perjuangan Kaum Perempuan
Tahun 1890-1930 merupakan tahun-tahun kebangkitan nasionalisme di Indonesia. Di tahun inilah banyak pejuang bermunculan menentang pemerintahan Belanda. Organisasi-organisasi pun mulai bermunculan: Budi Utomo (1908), Serikat Islam (1912), bahkan organisasi kedaerahan seperti Jong Java (sebelumnya bernama Tri Koro Darmo pada tahun 1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Ambon (1918), Jong Celebes (1919) .
Selain itu, organisasi perempuan juga mulai bermunculan: Putri Mardika (atas bentukan Budi Utomo di tahun 1912), Sekola Kautamaan Istri (didirikan oleh Dewi Sartika di Tasikmalaya tahun 1913), Keradjinan Amal Setia (didirikan oleh Rohana Kudus di Bukittinggi tahun 1914), Wanito Hadi (Jepara 1915), Pawijatan Wanito (Magelang 1915), Poerborini (Tegal 1917), Pertjintaan Ibu Kepada Anak Temoroen/PIKAT (didirikan oleh Maria Walanda Maramis di Minahasa pada tahun 1917), Wanito Soesilo (Pemalang 1918), Gorontalische Mohamedaanshe Vrouwenbeweging (Gorontalo 1920), Wanodjo Oetomo (Jogjakarta 1920), Sarekat kaoem Ibu Soematera (Bukittinggi 1920), Kemadjoean Istri (Jakarta dan Bogor 1926), Mardi Kamoeliaan (Madiun 1927), Ina Toeni (Ambon 1927).
Periode awal kemunculan organisasi-organisasi perempuan ini menguatamakan isu “emansipasi” yang merupakan isu yang berkembang di dunia pada abad 17-18. Beberapa isu utama yang diangkat oleh organisasi perempuan pada masa itu adalah kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan, menyatakan pendapat di muka umum, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan keluarga, memperoleh pengetahuan dan keahlian di luar rumah dan lingkungan adat.
Organisasi perempuan yang terbentuk mengalami perkembangan pesat. Anggota organisasi-organisasi tersebut bertambah banyak dan organisasi keagamaan semisal Muhammadyah pun turut ambil bagian dengan membentuk Aisyiyah yang diketuai oleh Siti Wardiah yang juga istri KH.Ahmad Dahlan. Sementara di sisi lain, mereka selalu bertindak hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan karena pemerintahan Belanda pada waktu itu juga semakin represif dalam menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang menjamur, termasuk juga kepada organisasi perempuan.
Penyatuan Gerakan Dalam Kongres Perempuan Indonesia I
Organisasi-organisasi perempuan ini menyadari, banyak sekali hambatan dalam perjuangan perempuan. Namun di sisi lain, semangat nasionalisme untuk mengangkat derajat perempuan dari kebodohan secara adat dan intelektual inilah yang kemudian membawa mereka pada pertemuan di Jogjakarta pada tahun 1928 untuk menyatukan visi dan misi secara ekonomi dan politik dalam Kongres Perempuan.
Sebelumnya, pada tanggal 22 Agustus 1928 di Jogjakarta, berbagai wakil dari organisasi perempuan akhirnya bertemu untuk pertama kali. Pertemuan ini menyusun konsep .penyatuan berbagai organisasi perempuan kedaerahan dalam sebuah payung organisasi. Disepakati lah saat itu sebuah organisasi payung yang bernama Perserikatan Perempuan Indonesia atau disingkat PPI. Ny. Sukanto dipilih menjadi ketua PPI dan merekomendasikan akan melaksanakan Kongres Perempuan se Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928 di Jakarta dengan menunjuk Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro dan Sitti Sundari sebagai panitia Kongres.
Kongres Perempuan Pertama Indonesia kemudian terlaksana pada tanggal 22-25 Desember 1928 bertempat di Djoyodipuran,Yogyakarta. Kongres ini dihadiri utusan 30 organisasi perempuan, 21 utusan dari organisasi non-perempuan (diantaranya Budi Oetomo dan PNI), wakil dari pemerintah dan pers. Kongres Perempuan Indonesia I menghasilkan poin-poin perjuangan perempuan Indonesia yaitu: pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, hak perempuan dalam rumah tangga, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan dalam hak memperoleh pendidikan, hak-hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak di bawah umur, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita serta menghancurkan ketimpangan dalam kesejahteraan sosial. Dalam kongres ini pula, PPI berubah nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia atau disingkat PPPI.
Rentetan sejarah ini kemudian menjadi bibit kemunculan organisasi perempuan yang lebih progresif dengan mengangkat program yang lebih maju. Diantaranya adalah Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang didirikan pada Juni 1950, dan pada Kongres II (1954), Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Mengenai sejarah Gerwani akan dibahas pada waktu yang lain.
Dengan demikian, Kongres Perempuan Indonesia I inilah yang merupakan tonggak sejarah lahirnya hari Ibu di Indonesia, dimana pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa tanggal 22 Desember diperingati secara nasional sebagai Hari Ibu.
Hari Ibu dan Masa Kini
Jika kita melihat sejarah Hari Ibu, maka kita dapat menggariskan bahwa perjuangan perempuan pada masa kolonial adalah untuk maju mengambil peran secara ekonomi dan politik. Kaum perempuan pada masa itu mempunyai kesadararan perjuangan dan mengorganisir diri ke dalam wadah-wadah organisasi perempuan. Mereka melihat bahwa untuk berjuang mengangkat derajat dan hak perempuan, tidak cukup hanya dengan berjuang sendiri-sendiri seperti para pendahulu mereka. Disinilah poin penting pertama.
Sayangnya jauh setelah Kongres Perempuan Indonesia I, terutama di masa Orde Baru hingga sekarang, peringatan Hari Ibu mengalami pergeseran makna dalam sejarahnya. Peringatan Hari Ibu dilakukan hanya sebagai bentuk kasih sayang kepada ibu secara lahiriah. Bahwa memang benar ibu adalah juga perempuan. Akan tetapi, ibu yang dimaknai disini hanyalah sosok ibu secara domestikal bahkan dianggap sebagai kodrat yang berperan penting dalam keluarga, membangun rumah tangga yang harmonis, menyediakan makanan untuk keluarga, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anak.
Poin-poin penting terlupakan dan isu-isu perempuan terabaikan., Banyak generasi penerus tidak memahami makna dari hari Ibu itu sendiri. Alhasil, peringatan hari Ibu lebih bersifat seremonial budaya tanpa muatan semangat perjuangan kaum perempuan itu sendiri.
Kita bisa melihat betapa perempuan masih menjadi objek peruntuhan dirinya sebagai manusia yang tidak memiliki hak atas apapun, bahkan atas tubuhnya sendiri. Perempuan hanya menjadi objek seksualitas, tidak ada perlindungan dan rasa aman untuk dirinya. Beban domestik dan sosial, pemerkosaan, meningkatnya angka kematian ibu melahirkan, hingga upah yang lebih murah bagi buruh perempuan adalah model kekerasan dan diskriminasi yang dialami perempuan.
Hingga yang perlu dimunculkan sekarang adalah mengembalikan nilai-nilai perjuangan perempuan. Nilai-nilai itu tidak hanya sebatas peran perempuan dalam wilayah budaya secara umum dan domestik secara khusus. Akan tetapi keterlibatan aktif perempuan dalam ekonomi dan politik yang sudah dimulai pada Kongres Perempuan Indonesia I.
Tugas kita adalah melanjutkan perjuangan, melanjutkan cita-cita perempuan Indonesia untuk bebas dari kungkungan ekonomi, politk, sosial, dan budaya. Perjuangan perempuan adalah untuk Kesetaraan, yang berarti membebaskan perempuan dari budaya (patriarki), serta pembebasan seluruh rakyat dari penjajahan ekonomi politik yang masih ada sampai sekarang.
Selamat Hari Ibu 22 Desember 2013
* Anggota KPO PRP, bertempat tinggal di Jakarta
Sumber :
- Susan Blackburn, Koesalah Soebagyo Toer, Kongres Perempuan Pertama-Tinjauan Ulang, Yayasan Obor Jakarta, 2007
- Marwati Djonoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V – Zaman Kebangkitan Nasional dan Hindia Belanda, Balai Pustaka, 2008
sumber foto:
Foto 1: www.suarakita.org
Foto 2: biliksastra.wordpress.com
[…] http://www.arahjuang.com/2013/12/23/hari-ibu-dan-tugas-perjuangan-perempuan/ […]
[…] http://www.arahjuang.com/2013/12/23/hari-ibu-dan-tugas-perjuangan-perempuan/ […]