Disaat massa aksi buruh mengepung kantor Jokowi-Ahok dalam menuntut penghapusan upah murah dan revisi UMP DKI Jakarta, seorang guru bantu beraksi pula di Jakarta. Ini seperti menyambung aksi massa puluhan guru bantu di Jakarta, 25 November lalu, yang sekaligus memperingati Hari Guru Nasional.
Dalam aksinya, guru bantu bernama Samsudin itu memakai kardus di seluruh tubuhnya yang bertuliskan berbagai macam persoalan yang dihadapi rakyat. Dia berjalan dari Monas ke HI sambil juga membagi-bagikan rilis kepada beberapa media maupun masyarakat yang bertanya. Selain persoalan-persoalan guru, petani, buruh migran, dan sebagainya, salah satu yang terlihat di salah satu kardus yang dibawanya adalah sebuah tulisan “Guru adalah Buruh”.
Dibawah ini rilis yang dikeluarkan Samsudin.
(Siaran Pers)
Manusia Kardus Indonesia;
Lahir dari Pendidikan dan Pemerintahan Kardus
Samsudin si “manusia kardus” asal Indramayu mengawali protes nya dengan berjalan kaki sekitar 200 KM dari Indramayu ke Jakarta untuk menyuarakan keresahannya. Dia adalah seorang penggiat pendidikan. Sehari-harinya Samsudin menjadi guru bantu di sebuah sekolah dasar negeri (SDN). Karena pendidikan formal menurutnya tidak cukup, dia juga mendirikan sebuah Rumah Baca bernama “Bumi Pertiwi” disana. Sekarang ini, dia terpanggil untuk bersuara lantang atas persoalan-persoalan yang dihadapinya sebagai seorang guru dan atas carut-marutnya pemerintahan Indramayu, karena media di Indramayu pun tidak adil karena lebih berpihak pada penguasa.
Mengapa kardus? Samsudin mengatakan, masyarakat Indramayu dan Indonesia secara umum telah menjadi manusia-manusia kardus yang terlihat bagus, kokoh dan pintar diluar. Namun pada kenyataannya penuh dengan kerapuhan, kekosongan, kebohongan dan ketidakpedulian. Ini berasal dari pendidikan yang tidak pernah benar-benar melahirkan generasi yang cerdas dan kritis secara karakter, sehingga mau dan diam saja ketika diperalat.
Politisasi dunia pendidikan
Selama menjadi guru, ternyata banyak peristiwa khususnya di Indramayu yang saya temui, dimana profesi guru telah dimanfaatkan sebagai alat dari kepentingan politik praktis. Ini tentu menciderai pendidikan sebagai media pencerdasan anak-anak bangsa. Salah satu contohnya adalah ketika murid-murid diberi kuisioner yang berisi kampanye-kampanye pemilukada untuk diberikan kepada orang tua nya. Ada pula kepala sekolah yang ikut-ikutan menjadi juru kampanye ketika para calon legislatif datang ke sekolah-sekolah (SMA) untuk menjaring pemilih pemula.
Apa jadinya murid yang belum mendapatkan ilmu pengetahuan tentang politik namun telah diseret-seret dalam politik praktis di tempatnya belajar menimba ilmu?
Standarisasi yang salah kaprah
Begitu juga dengan standarisasi-standarisasi dalam pendidikan yang tidak memajukan kemampuan kritis dan emosional dari murid maupun guru.
Bagi guru, standarisasi berupa sertifikat tidak menghasilkan kemajuan apa-apa yang menuntun murid untuk lebih memahami isi dari pelajaran. Sertifikat yang didapat dari banyak nya mengikuti seminar-seminar maupun pelatihan hanya menghasilkan guru-guru yang lebih mengutamakan laporan-laporan tertulis ketimbang mengembangkan kemampuan dan kecerdasan emosional murid. Kegiatan-kegiatan yang menyokong pemberian sertifikat pun tidak merata karena hanya mudah diakses oleh guru-guru yang berada di perkotaan dibanding di perkampungan kecil atau pedalaman.
Sedangkan bagi murid, standar kelulusan dengan memakai ujian nasional juga menjadi kejam dan hanya mengedepankan aspek kognitif dari murid. Bagaimana mungkin kemampuan murid dalam hal karakter/emosional dan ketrampilan diabaikan begitu saja.
Indramayu: contoh otonomi daerah yang tidak berguna untuk rakyat
Persoalan-persoalan pendidikan diatas sepertinya juga berhubungan dengan pemerintahan. Sejak otonomi daerah diberlakukan setelah reformasi, sebenarnya banyak harapan perubahan muncul dari rakyat khususnya Indramayu. Namun ternyata otonomi daerah pun sama saja. Di Indramayu, KKN masih subur dijalankan dalam pemerintahan. Pejabat-pejabat pemerintahan diangkat tidak dengan uji kalayakan dan kepatutan yang transparan, sehingga sangat kental faktor-faktor kedekatan dengan penguasa setempat.
Dalam hal keuangan daerah, pemerintahan Indramayu tidak menjalankan transparansi terhadap pemasukan dan pengeluaran daerah. Ini membuat rakyat tidak pernah tahu kemana saja CSR pertamina yang setiap tahunnya digelontorkan sebesar Rp 1,25 miliar atau dana-dana alokasi dari pemerintah pusat.
Kepala-kepala desa (kuwu) yang sebenarnya dipilih oleh rakyat bahkan sering dijadikan kaki-tangan dari penguasa sehingga menjauh dari aspirasi rakyat dan mendekat pada aspirasi politik dari penguasa. Begitu pun media lokal yang tidak pernah menyoroti dugaan-dugaan penyimpangan kekuasaan ini, seakan-akan Indramayu tidak ada masalah.
Wajar akhirnya kalau saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indramayu tergolong rendah dibanding daerah-daerah lain.
Sehingga, akan sangat baik kiranya kalau media-media nasional, auditor keuangan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjun langsung ke Indramayu untuk ikut mendorong terbentuknya pemerintahan yang tidak kardusan, pendidikan yang tidak kardusan, sehingga ikut mendorong pula kesejahteraan dan kepedulian rakyat Indramayu.
Berhentilah jadi kardus!
Akhir kata, marilah kita bersama-sama memperdulikan nasib pendidikan Indonesia yang sudah kardusan agar kita tidak ikut-ikutan jadi kardus. Perhatikan juga daerah-daerah yang tidak berkembang walaupun potensi nya sangat besar seperti Indramayu. Ya, sepertinya memang akibat pemerintahan yang juga kardusan.
(nsm)
Comment here