Oleh: Sarip – Anggota KPO-PRP (*)
Sore itu masih saja terlihat lengang. Jam dinding telah menunjuk angka 4 dimana beberapa pengurus suatu serikat buruh sudah terlihat menunggu kehadiran anggotanya di sebuah sekretariat di daerah Serang Cikarang. Hari itu memang telah diagendakan sebuah diskusi disana.
Diskusi rencananya membahas persoalan kelas buruh dalam perjuangan upah yang akhir-akhir ini memang sedang diperjuangkan kaum buruh dimana-mana. Namun seperti biasa, belum banyak peserta yang hadir pada waktu yang telah ditentukan. Hanya terdapat beberapa pengurus beserta beberapa anggota yang memang mendapatkan shift malam. Sebagian besar anggota baru selesai bekerja pukul 4 tepat. Dalam beberapa kesempatan, anggota yang sebagian besar bekerja di kawasan industri Hyundai itu dipanjangkan jam kerja nya 10 sampai 30 menit. Tidak terhitung lembur. Hanya toleransi pergantian shift, umumnya kata pengusaha demikian.
Bagusnya, sekretariat berbentuk rumah panggung yang teduh tidak membuat pengurus bosan untuk menunggu. Gelas kopi pertama sudah habis setengahnya. Tidak begitu lama, rombongan motor pun tiba. Sekitar 10 motor yang langsung diparkir di halaman yang penuh dengan akar pohon rambutan. Disusul kemudian dengan rombongan lainnya, dan beberapa lagi yang berjalan kaki.
Riuh suara mulai memecah keheningan. Setelah saling bersalaman ala pejuang, obrolan ringan yang bernada keluhan sampai candaan mulai mengisi waktu yang berjalan. Batang rokok pun mulai dinyalakan. Begitu terasa ekspresi kemerdekaan yang mereka tumpahkan dari disiplin pabrik yang menjenuhkan.
Namun itu, pengurus merasa ada yang lebih penting. Perjuangan upah yang sedang memanas membuat pengurus merasa harus memperkuat pemahaman para pengurus dan anggota dari tiap pabrik. Belum habis batang rokok pertama, semua anggota yang telah berkumpul di depan sekretariat pun diarahkan masuk. “Ayo mulai diskusi, sebelum magrib”, kata seorang pengurus. Ada yang langsung masuk, ada pula yang menunggu sampai keluarnya panggilan ketiga. “Masuk dong, biar cepet juga selesainya”, tuntut seorang peserta mengajak rekannya masuk. Diskusi yang sedianya rutin dilaksanakan setiap hari selasa ini pun akhirnya dimulai.
Seorang pemateri yang sampai saat ini masih menjadi tersangka karena membela buruh memulai pengantarnya dengan menjelaskan apa itu kelas buruh, apa itu kelas pemodal dan apa itu upah. Peserta terlihat serius mengikutinya diawal. Tidak semuanya mungkin, karena sebagian kecil terlihat sibuk mengutak-atik telepon genggamnya. Air panas beserta gelas, kopi dan teh diantar seorang pengurus ke tengah forum diskusi. Sambil menyedu kopi dan teh, peserta masih mengikuti diskusi dengan mendengar hikmat.
Semua sisi argumen kenaikan upah dibongkar. Diskusi menjadi menarik saat upah dikaitkan dengan harga-harga barang yang memang terus merangkak naik. “Mengapa kita tidak menuntut untuk menurunkan harga saja?”, tanya seorang peserta. Peserta lain menjawab bahwa hal itu juga diperlukan agar kenaikan upah tidak selalu disusul kenaikan harga. “kontrakan saya tahun kemarin saja, setelah kenaikan upah, naik sampai 20%-an, belum yang lain-lain”, katanya lagi. “Tapi apa bisa kalau menuntut turunkan harga?”, sambung peserta lainnya.
Merasa dikepung pertanyaan, pemateri coba menjelaskannya dengan menghubungkan upah dan harga sebagai cara kelas pemodal untuk tidak berkurang keuntungannya. Tapi ini tidak berlaku umum. “Terhadap beberapa produk, naiknya harga berarti turunnya konsumen”, timpal pemateri. “kalau gitu bisa tutup dong perusahaan, bisa PHK dong?”, sahut peserta lain mulai antusias.
Setelah sekitar 1 jam berdiskusi, pemateri akhirnya masuk ke ranah yang lebih kompleks dengan menyebut kapitalisme dan imperialisme sebagai akar persoalan. “selama kapitalisme ada, perjuangan upah akan terus ada, tetapi tidak otomatis menjamin kesejahteraan buruh maupun rakyat secara keseluruhan”, ungkap pemateri. “Kita bisa saja sejahtera. Tapi kalau keluarga kita, tetangga kita, saudara kita tidak sejahtera, apa kita mau?”, tanya pemateri lagi. “Ya, nggak lah. Itu sama aja kita gak sejahtera. Kan harus nyetor juga sama keluarga, harus berteman dan bersosialisasi juga”, jawab peserta sambil tertawa kecil.
Pemateri menyambungkan bahwa tutupnya perusahaan atau PHK massal yang pernah terjadi dalam sejarah, terutama bukanlah disebabkan oleh faktor upah. Kalaupun ada, persentasinya sangat kecil. Yang lebih utama penyebab PHK adalah karena krisis ekonomi kapitalisme. Yakni jatuhnya daya beli masyarakat secara umum atau jatuhnya tingkat keuntungan perusahaan akibat persaingan bebas ditambah birokrasi yang korup. Ini lebih mudah terjadi kalau industri di Indonesia lemah. Artinya, industri sangat tergantung pada pasar dan teknologi dari luar negeri. Lebih dalam lagi, karena sistem kapitalisme itu sendiri yang menyebabkan anarki produksi.
Disini peserta mulai terlihat bingung. Kerut di kening belum mengartikan bahwa mereka mengerti dan paham. “Terus gimana dong bung jadinya? Revolusi aja lah kalo begini rumitnya”, sahut seorang peserta dengan raut muka bingung yang disambut tawa dan canda peserta lainnya.
“Revolusi tidak sekali jadi, walau memang perjuangan kita harus menuju kesana. Yang terpenting bahwa kita tidak hanya berkesadaran juang tentang upah. Inilah pentingnya melakukan diskusi rutin. Tapi hari ini kita harus fokus dulu berjuang untuk upah sampai mogok nasional nanti. Besok mungkin kita bicara soal harga dan korupsi. Besok lagi bersuara untuk kebebasan dan demokrasi. Besok lagi tentang perampasan tanah dan pendidikan. Dan terus demikian, untuk membuktikan watak negara hari ini yang pro terhadap modal, dan sampai kita kaum buruh lah yang memegang kekuasaan”. Begitu ceramah panjang pemateri dibawah langit yang sudah mulai menghitam.
“Apakah kita sanggup demikian?”, tantang pemateri. “Sanggup!”, serentak peserta menjawab. Jawaban itu terasa masih seperti jawaban dalam diskusi semata. Kedepan, pengalaman juang sepertinya akan lebih menuntun kesanggupan mereka.
Diskusi pun akhirnya ditutup. Beberapa peserta masih menahan diri untuk berdiskusi ringan dengan pengurus tentang mogok nasional. Pengurus tingkat pabrik, seperti biasanya, berkonsultasi tentang masalah-masalah di tingkat pabrik sambil memegang berkas-berkas. Beberapa lainnya meninggalkan sekretariat untuk melakukan tanggung jawab lain. “saya cabut ya bung, anak lagi minta dibawain makanan nih”, pamit seorang peserta.
Diskusi-diskusi seperti ini memang terasa menjadi kebutuhan buruh untuk berjuang. Semoga dapat terus diulang.
(*) Penulis juga merupakan Sekjend F-PROGRESIP
Diedit oleh Rabik
Comment here