Opini Pembaca

Korupsi Konstitusi dan Politik Pemilukada

Korupsi Membawa SengsaraTertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, menjadi berita menghebohkan sepanjang minggu ini. Berbagai kalangan bahkan menyebut ini sebagai kiamat kecil di Negara kita, khususnya bagi lembaga peradilan Indonesia, mengingat mahkamah konstitusi merupakan benteng terakhir penegakan hukum di Indonesia.

Seperti kita ketahui, Akil Mochtar tertangkap tangan bersama beberapa orang lainnya, antara lain politisi Partai Golkar Chairun Nisa, pengusaha Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang juga adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, pengacara Susi Tur Andayani serta pengusaha asal kalimantan tengah Cornelis Nalau.

Korupsi Konstitusi

Korupsi memang memiliki dua sisi wajah, senduh dan sejuk ketika seseorang asyik menikmatinya, namun akan berubah menjadi menakutkan jika urusan rampok-merampok uang rakyat ini terbongkar. Coba saja tengok wajah seorang Akil Mochtar sebelum skandal korupsinya terungkap. Akil ibarat manusia setengah dewa yang terlalu disegani. Namun kini hujatan bertubi-tubi datang kepadanya, membayangkan pencuri ternak yang digebukin massa sekampung.

Apa yang menimpa Akil Mochtar, tentu saja bukan hanya petaka bagi lembaga pengawal konstitusi (the quardian of constitution) tersebut. Tapi telah menjadi tambaparan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Betapa tidak, disanalah pertaruhan hak konstitusional warga Negara dipertaruhkan. Disana pulalah masa depan keluhuran konstitusi Negara kita ditentukan. Namun harapan itu kini menjadi “kosong”, dan seeakan yang tersisa tinggal keputusasaan.

Bagi sebahagian orang, kasus korupsi selama ini adalah sesuatu yang biasa. Namun kasus korupsi dilembaga negara penegak konstitusi ini adalah bencana besar (bigger dissaster). Korupsi tersebut bukan hanya perkara perampokan “uang” semata. Tetapi juga perampokan terhadap kewibawaan dan kepercayaan lembaga pengawal konstitusi tersebut, yang juga berarti merampok kemerdekan konstitusional warga Negara yang selama ini bergantung kepada lembaga tersebut.

Politik Pemilukada

Pasca ditangkapnya Akil Mochtar, banyak pihak terutama mereka yang pernah berperkara di Mahkamah Konsitusi menjadi kalap dan teriak kemana-mana. Mereka menuding keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi selama ini adalah salah dan dipenuhi praktek suap dan kecurangan. Bahkan mereka meminta agar keputusan sengketa pemilihan umum kepala daerah yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, ditinjau ulang.

Memang benar, kasus suap Akil Mochtar berangkat dari sengketa pemilukada Gunung Mas Kalteng dan Lebak Banten. Namun apakah sengketa pemilukada tersebut dan daerah-daerah lainnya, semata-mata hanya melihat proses perkara di Mahkamah Konstitusi? Bukankah upaya suap dari para calon yang berberkara, mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam proses politik pemilukada kita? Justru permasalahan disektor hulu politik pemilukada yang menjadi pokok persoalan.

Proses pemilihan umum kepala daerah selama ini belangsung dengan dominasi pemilik modal dan rezim status quois. Maka tak salah jika praktek politik uang, sogok-menyogok, suap, patronase dan politik dinasti menjadi hal yang biasa kita saksikan dalam penyelenggaraan pemilukada. Partisipasi politik yang dikebiri dan minimnya keterlibatan massa, telah membangun tradisi politik pemilukada yang tidak fair, korup dan penuh dengan kecurangan. Jadi, seribu kali-pun pemilukada diulang, tetap saja tidak akan melahirkan rezim yang bersih, amanah dan pro terhadap kepentingan rakyat.

Castro, Anggota KPO-PRP.

Loading

Comment here