AksiReportase

Hentikan Operasi dan Tarik Militer dari Papua serta Hentikan Eksploitasi Alam Penyebab Bencana bagi Rakyat Papua!

Sabtu siang, 23 Maret 2019, sekitar 70 orang dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti-Militerisme atas Operasi Militer di Nduga, menggelar aksi di kawasan Jl. Pahlawan – Simpang Lima, Semarang. Aksi ini merupakan respon terhadap Operasi Militer Pemerintah Indonesia di Nduga, Papua, yang menyebabkan hampir 30.000 rakyat Papua mengungsi di hutan dan wilayah terdekat hingga hari ini. Selain itu banjir bandang yang terjadi di Sentani pada 16 Maret 2019 lalu mengakibatkan 89 orang tewas, 159 luka-luka, 74 orang hilang, dan 6.831 lainnya menjadi pengungsi. Bencana banjir bandang ini tidak lain adalah akibat dari eksploitasi alam yang dilakukan oleh kapitalis terhadap pegunungan Cycloop, di Papua. Ini adalah satu dari banyak bencana lingkungan hidup lainnya yang disebabkan oleh kapitalisme dan imperialisme di tanah Papua.

Aksi dimulai di depan Patung Diponegoro Jl. Pahlawan pada pukul 09:40, dengan membawa spanduk bertuliskan “Hentikan Operasi Militer di Ndugama sekaligus Hentikan Eksploitasi SDA di Papua” berserta poster-poster seruan membuka ruang demokrasi dan kebebasan pers di Papua serta foto-foto korban dan senjata kimia yang dijatuhkan ke hutan-hutan Papua. Orasi-orasi politik juga disampaikan dalam aksi tersebut, mereka menentang keras militerisme dari kolonialis Indonesia di Papua dan Hak Menentukan Nasib Sendiri adalah hak demokratis bagi seluruh umat manusia, pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap perempuan Papua juga adalah akibat dari militerisme Indonesia. Massa aksi melakukan long march menuju Simpang Lima, mengitarinya, dan kembali lagi ke Jl. Pahlawan untuk meneruskan orasi. Aksi tersebut dijaga oleh sekitar 50 orang polisi berseragam, 1 mobil truk polisi, 1 sedan dan pick up kepolisian, dan sekitar 5-10 orang intel. Sepanjang long-march, 3 orang anggota kelompok reaksioner berseragam Pemuda Pancasila menghampiri kawan yang menyebarkan selebaran aksi untuk mengintimidasi. Beberapa pengguna jalan juga melakukan provokasi rasis terhadap massa aksi. Dua orang yang mengaku wartawan dari Modus Investigasi mendekati orator aksi dan melakukan wawancara intimidatif, mencari tahu identitas orator seperti nama lengkap, kampus, semester, dan asal daerah. Pukul 11:40 massa aksi menutup aksi dengan pernyataan sikap dan membubarkan diri. (na)

Berikut adalah pernyataan sikap aksi.

PERNYATAAN SIKAP

Hentikan Operasi dan Tarik Miiter di Nduga Papua sekaligus Hentikan Exploitasi sebagai Sumber Bencana Alam di Papua.

Kionak, Koya, Koha, wa wa wa

Tidak terlepas dari sejarah rakyat bangsa Papua yang mendeklarasikan Manifesto Bangsa Papua pada 1 Desember 1961. Hak yang kemudian dikebiri oleh kolonial Indonesia saat Presiden Soekarno mengeluarkan TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) pada 19 Desember 1961 yang berujung pada perampasan hak politik bangsa Papua. Bahkan perjanjian internasional seperti Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 dan Perjanjian Roma pada 30 September 1962, tidak ada perwakilan dari orang Papua yang hadir dalam perjanjian itu untuk membahas status politik bangsa Papua. Kemudian terus berlanjut pada 1 Mei 1963, pencaplokan/pemaksaan wilayah Papua untuk masuk dalam NKRI dengan operasi militer besar-besaran terus menerus dilakukan dari tahun 1963 hingga saat ini. Akibatnya banyak terjadi pelanggaran HAM seperti pembunuhan, teror, intimidasi, pemerkosaan, penculikan, dan banyak lainnya.

Untuk memuluskan eksploitasi sumber daya alam sebagai syaratnya adalah dibangunnya jalan trans, pelabuhan internasional, dan bandara intensional agar kepentingan kapitalis dapat berjalan mulus. Indonesia menggunakan militer untuk menjaga agar exploitasi tetap berjalan lancar, sehingga berdampak bagi orang Papua yang kehilangan tanah, pembungkaman ruang demokrasi, pembungkaman terhadap kebebasan pers, sampai penghilangan nyawa orang Papua, sampai kematian bayi secara massal untuk memusnahkan orang Papua atau genosida.

Pada 01 Desember 2018, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) Kodap III Nduga di bawah pimpinan Komandan Operasi, Penme Kogoya dan Egianus Karunggu telah menyerang dan menembak 24 anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kronologis ini berawal dari saat diselenggarakannya upacara Hari Kemerdekaan West Papua oleh TPN PB Makodap III Ndugama, ada beberapa warga yang merekam diselenggarakannya upacara tersebut. TPN PB hancurkan Jalan Trans Papua, karena sesuai dengan pembacaan mereka bahwa, arus jalan Trans Papua akan menjadi jalan-jalan utama untuk mencuri kekayaan alam Papua, jalan Trans Papua di Nduga itu direncanakan oleh Indonesia untuk dibangun dan menembus ke Pelabuhan Nduga, di Sungai Digul. Dan ini bagian dari proses kolonisasi untuk menciptakan konflik-konflik horizontal antar rakyat Papua. TPN PB dari awal pembangunan jalan sudah mencurigai, bahwa yang menjaga dan bekerja di jalan-jalan trans Papua ternyata bukan hanya pekerja, tapi juga mayoritas adalah TNI. Yang sejak 1962 hingga 2014 yang telah menghilangkan 500 ribu jiwa.

Indonesia kemudian merespon dengan mengerahkan pasukan dalam jumlah yang banyak dan melakukan penyerangan melalui darat dan udara dengan sandi Operasi Maleo. Serangan bertubi-tubi dengan peluru timah panas juga serangan bom udara. Kurang lebih telah menewaskan 40 lebih orang sipil di Ndugama. Sampai saat ini pengiriman pasukan Militer Indonesia serta serangan masih terus dilakukan.

Hingga saat ini masyarakat Nduga masih dalam kondisi trauma sehingga memilih mengungsi ke beberapa kabupaten terdekat seperti Kabupaten Wamena, Jayawijaya, dan Puncakjaya. Dan masih banyak masyarakat sipil lagi di hutan karena bunyi tembakannya masih terus terdengar. Bahkan kondisi di beberapa distrik masih sangat memprihatinkan karena sejak bulan Desember hingga sekarang ini masyarakat Nduga dalam keadaan lapar, sakit dan juga trauma sehingga akibat dari itu ibu hamil meninggal, anak-anak sekolah tidak mendapat pendidikan, bahkan masih banyak korban jiwa lainya. Jumlah pengungsi masyarakat sipil di Nduga pada tahun 2018 mencapai 2.508 jiwa akibat operasi yang terus dilakukan oleh Militer Indonesia. Pada 9 Maret 2019 Indonesia mengirimkan 6.000 personil militer ke Nduga melalui kapal laut. Kebebasan pers dan ruang demokrasi dibungkam, tidak ada media yang meliput tentang situasi Nduga.  

Kontrak Freeport dibuat tahun 1967, padahal PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) baru dilaksanakan pada tahun 1969. Dalam PEPERA itu rakyat Papua yang memilih hanya 1025 orang padahal jumlah seluruh rakyat Papua 800.000 orang. Itu adalah salah satu contoh masuknya imperialisme kapitalisme masuk ke Papua Barat mengexploitasi sumber daya alam dan mengakibatkan kerusakan alam serta merusak kehidupan masyarakat Papua. Bencana banjir bandang yang tejadi di Sentani, Jayapura pada 16 Maret 2019, yang memakan ratusan korban jiwa, tidak lain adalah akibat dari exploitasi sumber daya alam. Dan masih banyak tempat lain di Papua yang mengalami bencana alam akibat exploitasi sumber daya alam oleh Perusahaan Asing seperti Merauke dan Sentani hingga memakan korban ratusan korban jiwa.

Maka, Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti Militerisme menuntut kepada rezim Kolonial Indonesia, untuk segera;

1. Hentikan operasi dan tarik militer organik maupun non-organic dari Nduga, Papua.

2. Tutup perusahaan asing dan hentikan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)

3. Hentikan pengiriman militer di Nduga, Papua

4. Membuka akses jurnalis lokal, nasional, dan internasional

5. PBB segera turun intervensi operasi di Nduga, Papua

6. Pemerintah Indonesia segera bertanggung jawab atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

7. Hentikan eksploitasi sumber daya alam seperti Ilegal logging, penambangan pasir dan lain-lain yang menyebabkan bencana alam

8. Pemerintah Indonesia segera membuka ruang demokrasi di Papua

9. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratik bagi Rakyat Papua.

Demikian Sikap Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti Militerisme atas Operasi Militer di Nduga.

Salam Pembebasan.

Medan Juang, 23 Maret 2019

Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti Militerisme

Loading

Comment here