Strategi Taktik

Menolak Persatuan Gerakan Buruh Dengan Kaum Reaksioner (Bagian II)

Bahaya Spontanitas Reaksioner

Sedangkan di sisi lain Ilhamsyah, Ketua Umum KPBI dalam status Facebooknya pada tanggal 25 November menyarankan kaum buruh untuk “melakukan pemogokan pada tanggal 2 desember untuk menolak PP 78 dengan target kuras pabrik di kawasan industri…” Karena menurutnya “melihat pengalaman pemogokan tahun lalu… aparat tidak akan sesiap tahun kemarin untuk membubarkan pemogokan. Aparat pasti akan mengkonsentrasikan kekuatannya di Istana, Balai Kota, HI, DPR, daerah kota dan pusat pusat perbelanjaan lainnya.” Syarat untuk keberhasilan mogok menolak PP 78 tersebut adalah “ada masa pelopor.”

Ketua Umum KPBI ini tidak terang-terangan mengatakan mendukung GNPF-MUI. Namun dalam poster KPBI disebutkan “Kyai, Ulama, Buruh, Tani, Nelayan, Guru Bersatu Cabut PP 78/2015.” Jadi bisa kita lihat untuk pertama kalinya seruan mobilisasi massa sekarang diluaskan KPBI ke kalangan agamawan. Ini tidak mungkin tidak terkait dengan maraknya gerakan anti penistaan agama Islam.

Beberapa orang bisa melakukan pembelaan terhadap pernyataan Ilham Syah dan slogan KPBI dengan menyatakan bahwa ini sekadar taktik untuk memanfaatkan momentum dimana fokus perhatian aparat tengah terkonsentrasi di Jakarta. Meskipun (bilamana) ini benar adanya, ini justru menunjukkan oportunisme serta ambisi untuk menunggangi ledakan massa. Oportunisme demikian jelas mengabaikan fakta bahwa ada Aksi Bela Islam yang membawa isu reaksioner dan dipimpin oleh kelompok-kelompok reaksioner. Isian dan kepemimpinan dari Aksi Bela Islam itu akan menelan aksi buruh menolak PP 78.

Fenomena ini sebenarnya menunjukkan adanya bahaya tendensi Spontanisme Reaksioner. Spontanisme Reaksioner adalah kebalikan sepenuhnya dari Spontanisme Revolusioner. Bila Spontanisme Revolusioner adalah suatu tendensi revisionis yang meyakini bahwa  pergolakan sosial maupun revolusi sosial bisa dan seharusnya muncul secara spontan dari bawah tanpa intervensi, bantuan, apalagi kepemimpinan partai pelopor revolusioner, bahkan memandang pergolakan sosial dan revolusi sosial tidak bisa dan tidak seharusnya dilancarkan oleh tindakan-tindakan para individu maupun partai yang berupaya mendorong pergolakan atau revolusi demikian. Maka Spontanisme Reaksioner adalah tendensi yang memandang bahwa pergolakan sosial yang bersifat reaksioner bisa didukung, dimanfaatkan, dan diarahkan untuk mengajukan tuntutan-tuntutan perjuangan buruh atau gerakan rakyat. Tendensi ini mengglorifikasikan atau mengagung-agungkan mobilisasi massa secara berlebihan dan menempatkannya sebagai segala-galanya. Serta di sisi lain mengebelakangkan bahkan cenderung meremehkan persoalan kesadaran kelas dan watak mobilisasi tersebut.

Argumentasi Ilhamsyah yang menyandarkan dirinya pada spontanitas juga mencerminkan kepercayaan pada spontanitas massa dengan memicu ledakan untuk melawan kekuasaan yang sebenarnya ini merupakan kekeliruan. Karena mengabaikan fakta kondisi gerakan buruh saat ini yang sedang menurun. Seolah-olah jika kelas buruh tanpa ragu pasti melancarkan perlawanan hingga akhir maka tidak dibutuhkan sebuah partai revolusioner. Seolah-olah tidak dibutuhkan kerja keras untuk berpropaganda, merekruit, mengagitasi dan mengorganisir. Seolah-olah kita cukup menunggu datangnya gerakan perlawanan dan menempel pada gerakan tersebut.

Militerisme, Fundamentalisme, Krisis Kapitalisme, dan Krisis Rezim Borjuis

Militerisme, dengan berbagai faksi dan derajat keterlibatannya, jelas turut berada di balik aksi rasis GNPF-MUI. Organisasi buruh dan gerakan rakyat manapun yang menempuh oportunisme kanan dan berusaha menunggangi ledakan massa spontanisme reaksioner ini tidak melihat atau bahkan menutup mata atas bahaya militerisme di balik GNPF-MUI. Bahkan dalam perkembangan terbaru militerisme sudah siap menyingkirkan gerakan buruh yang mau ikut momentum ataupun memanfaatkan momentum dengan demonstrasi serta mogok kerja. Wiranto, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), menyatakan, “Tanggal 2 Desember demo ada di Monas. Demo di luar Monas ilegal dan akan dibubarkan…masyarakat juga dapat melapor jika terdapat aksi demonstrasi yang tidak berada di Silang Monas kepada polisi agar dapat segera dilakukan penindakan…”.

Selama ini akomodasi aparat terhadap kaum fundamentalis memang sangatlah besar. Sangat berbeda perlakuannya bila dibandingkan terhadap massa buruh, petani, dan pemuda Papua. Kita menyaksikan massa buruh 30 Oktober lalu yang berdemo di depan Istana Negara direpresi, dipukuli, ditendangi, dan mobil-mobil komandonya dihancurkan oleh aparat polisi Turn Back Crime (TBC). Kita menyaksikan pengerahan 1500 aparat gabungan militer, polisi, dan Satpol PP menyerbu kaum tani Sukomulyo. Kita menyaksikan penangkapan massa Forum Rakyat Indonesia (FRI) West Papua pada 1 Desember 2016 kemarin dan penangkapan 306 demonstran Papua menuntut hak menentukan nasib sendiri pada 1 Desember 2015 lalu. Bandingkan betapa berbedanya hal ini dan betapa baiknya perlakuan aparat kepada massa fundamentalis. GNPF-MUI dibiarkan memobilisasi diri meskipun para oratornya berkali-kali menyerukan pembunuhan terhadap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibebaskan beraksi meskipun terang-terangan menyatakan anti-demokrasi, anti-Pancasila, dan ingin menggulingkan NKRI serta menggantinya dengan pendirian Khilafah Islamiyah. Sebab gerakan rakyat di satu sisi menyerang langsung kepentingan para penindas. Termasuk aktivis pembebasan nasional Papua juga merugikan para kapitalis birokrat (baik sipil maupun militer) yang selama ini diuntungkan atas penindasan dan penghisapan terhadap Papua serta menjadi antek-antek Imperialisme. Sedangkan di sisi lain kaum penindas diuntungkan atas keberadaan HTI yang menjalankan politik pecah belah rakyat di atas sentimen agama dan terutama karena HTI sendiri mendukung bahkan menyerukan militer untuk kudeta. Sebagaimana seru Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib pada 20 Juni 2014 lalu, “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!”

Bung Bona dari Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) dengan tepat menyatakan, “(Apa) yang menjadi persoalan hari ini isu SARA dan rasis dibangun oleh kekuatan kelas borjuasi fundamentalis kanan yang dimanfaatkan kembalinya militer membuka ruang militer untuk ikut campur dalam persoalan rakyat. Maka yang harus diwaspadai adalah kembalinya militer bermain dengan propaganda ke rakyat dalam isu adanya gerakan makar atau kudeta kepada rezim Neolib dengan tujuan kesadaran rakyat yang tidak paham meminta kembali militer mengambil alih kekuasaan mutlak untuk berpolitik, dengan tujuan menutup kembali ruang-ruang demokrasi bagi organisasi-organisasi massa yang tidak ada lagi ruang untuk menentukan suara pendapat di muka umum. Maka itu aksi 212 adalah kepentingan pertarungan elit politik borjuasi dengan fundamentalis kanan yang dimanfaatkan militer dengan tujuan manipulasi rakyat melakukan perlawanan gerakan rakyat bela islam vs kelompok rakyat bela negara dengan cara memanfaatkan isu-isu rasis, SARA dan makar.”

Oleh karena itu merupakan kesalahan fatal apabila gerakan buruh dan gerakan rakyat menjerumuskan diri dan terjebak pada perseteruan antara dua kubu penindas ini.

Dalam perkembangan terbaru di pagi hari aksi 212, kita menyaksikan para elit oposisi borjuis ditangkapi. Ahmad Dhani, Eko, Adityawarman, Kivlan Zein, Firza Husein, Rachawati, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang pamungkas, Jamran, dan Rizal merupakan beberapa tokoh dari Oposisi Kanan Borjuis yang ditangkap. Bagaimana kaum Sosialis memandang perkembangan ini? Ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari krisis kapitalisme yang juga mengakibatkan krisis politik borjuasi itu sendiri.

Saat kapitalisme mengalami “booming” ekonomi, kelas penindas yang berkuasa tidak hanya bisa memberikan konsesi-konsesi atau menuruti reforma-reforma yang dituntut dan didesakkan kelas buruh dan rakyat pekerja namun juga bisa mengonsolidasi mayoritas faksi dari kelas borjuasi untuk secara relatif bersatu dan menjaga keadaan tetap stabil. Namun saat kapitalisme mengalami krisis, rezim dan kelas penguasa bukan hanya tidak mampu memberikan reforma dan harus merampas kembali semua konsesi yang diberikan kepada rakyat pekerja namun mereka juga bahkan semakin mengalami perpecahan seiring menajamnya kontradiksi antar kubu borjuasi. Kontradiksi ini seringkali tidak hanya sebatas pertikaian mengenai bagaimana cara terbaik mengelola krisis dan menyelamatkan kapitalisme. Namun bahkan sampai merembet mengenai rebutan jatah penghisapan dan penindasan yang harus diselamatkan maupun hingga perebutan kekuasaan di antara kubu-kubu borjuasi itu sendiri. Persis inilah yang terjadi di Indonesia saat ini.

Rezim Jokowi-JK memang berhasil mengalahkan Prabowo-Hatta namun mereka memenangkan Pilpres 2014 dengan selisih yang tipis. Secara formal Jokowi-JK menyatakan akan membentuk kabinet berdasarkan koalisi ramping karena berdasarkan kesamaan tujuan dan cita-cita bukan berdasarkan bagi-bagi kekuasaan, namun kenyataannya lain. Ini menunjukkan ketidakmampuannya mengonsolidasi kubu-kubu borjuasi. Perkembangan berikutnya menunjukkan Prabowo-Hatta mengonsolidasi para (partai) pendukungnya ke dalam kubu oposisi bernama Koalisi Merah Putih (KMP). Bahkan KMP berhasil menguasai parlemen mengucilkan kubu pemerintah bernama Koalisi Indonesia Hebat (KIH). KMP juga berhasil meloloskan Undang-undang MD3 dan mengubah pemilihan langsung menjadi pemilihan perwakilan. Ini kemudian sempat memunculkan konflik parlemen tandingan. Sampai kemudian tercapai gencatan senjata dan persetujuan di antara kedua kubu. Seiring perkembangannya rezim Jokowi-JK selanjutnya berhasil menarik Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Golkar untuk mendukung rezim pemerintah. KMP hanya tinggal Partai Gerindra dan PKS—dua motor besar KMP—serta ditambah partai kecil yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan partai baru: partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang didirikan Harry Tanoe setelah pecah dengan Wiranto dan partai Hanura. Namun ini belum termasuk kelompok-kelompok oposisi yang secara formal di luar KMP. Dalam kelompok partai borjuis ada Partai Demokrat pimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang babak belur dalam Pemilu 2014 lalu terutama karena dilanda kasus korupsi yang menyerat banyak pimpinannya. Dalam kelompok fundamentalis dan konservatif agama ada FPI dan MUI. Hingga dalam kalangan birokrat serikat ada Said Iqbal dan KSPI. Tentu masih ada kelompok-kelompok oposisi reaksioner lainnya namun kelompok-kelompok ini yang secara utama bersekutu mendukung aksi rasis GNPF-MUI baik secara tersirat maupun tersurat.

Maka saat rezim Jokowi-JK, melalui aparatnya, kemudian menangkapi Ahmad Dhani, Eko, Adityawarman, Kivlan Zein, Firza Husein, Rachawati, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang pamungkas, Jamran, dan Rizal, ini merupakan salah satu letusan kontradiksi tersebut. Meskipun bukan letusan frontal skala penuh. Sebagaimana dikatakan Danial Indrakusuma, yang juga aktivis Gerakan Masyarakat Demokrasi (GEMA Demokrasi), “Penangkapan Sri Bintang Pamungkas cs adalah tukar guling yang sangat baik buat penguasa (yang tentaranya masih mendukung Jokowi). Ini juga akan menakuti-nakuti gerakan pro-demokrasi. Kita tidak boleh takut, karena kalau takut, maka akan membahayakan demokrasi, bargain kaum konservatif akan semakin besar, dan mereka akan semakin bisa dimanfaatkan tentara sesuai dengan tukar-guling tentara dengan kaum Islam konservatif itu—kaum Islam konservatif dapat kesempatan khilafah dan syariah pada batas tertentu dan dapat ceceran kekuasaan dan tentara dapat bantuan menghambat demokrasi agar jangan terlalu maju (mengingat akan membahayakan kekuatan sisa-sisa lama yang masih digdaya) dan pemberantasan komunisme…”

Dalam situasi ini, di tengah penangkapan terhadap delapan orang tokoh reaksioner oposisi  kanan borjuis ini, kita tidak akan dan tidak boleh bertingkah seperti kaum liberal. Kaum liberal memuja-muja kebebasan berpendapat dan berserikat, termasuk kebebasan berpendapat dan berserikat bagi kaum reaksioner, rasis, dan fasis. Padahal kaum itu pula yang selama ini secara gencar dan sengit memecahbelah rakyat dan yang paling giat memberangus demokrasi serta menginjak-injak HAM. Jadi bilamana rezim penguasa memutuskan menghantam kaum reaksioner, rasis, dan fasistis ini, kita tidak perlu terisak menangisi pemberangusan demokrasi para rasis pemberangus demokrasi ini. Namun kita juga jangan pernah bersorak. Karena pemberangusan oleh rezim penindas ini tidak dilakukan semata karena kereaksioneran mereka. Melainkan utamanya karena pergesekan kepentingan dua kubu borjuasi yang semakin tak terdamaikan lagi. Kita juga tidak bersorak karena pemberangusan demikian juga akan (bahkan juga telah dan sedang) dijadikan dalih untuk semakin memberangus pergerakan rakyat. Maka dalam situasi seperti inilah justru semakin pentingnya bagi kelas buruh untuk menegakkan independensi kelasnya dan membangun kepeloporan revolusionernya.

411-gpi2Urgensi Independensi Kelas dan Kepeloporan Revolusioner

Kolaborasi kelas telah menorehkan luka dan kerugian yang tak terhitung banyaknya bagi kelas buruh. Politik lesser evil atau memilih penindas yang paling sedikit mudharatnya telah begitu banyak memukul mundur perjuangan untuk demokrasi dan perlawanan rakyat. Dukungan kaum radikal bebas dan kaum revisionis kepada apa yang disebut-sebut sebagai ‘borjuis progresif’ beserta kolaborasi kelasnya justru yang akan membuka jalan semakin lebar pada kebangkitan kediktatoran militer yang sesungguhnya di Indonesia. Bahkan bisa jadi lebih parah berupa bangkitnya fasisme. Mengapa demikian? Khusus dalam kasus di Indonesia, para kolaborator kelas seperti IP dan PRP bukan hanya menutup mata dari watak dan latar belakang kelas borjuis dari Jokowi-JK namun juga menyepelekan bahwa para pelanggar HAM dan antek Orde Baru tidak hanya ada di kubu Prabowo-Hatta melainkan juga memenuhi kubu Jokowi-JK. Ada Hendropriyono (antek Orba yang bertanggungjawab atas pembantaian Talangsari serta terduga otak pembunuhan Munir) yang mengepalai Tim Transisi

Semakin lama semakin jelas watak menindasnya rezim borjuis Jokowi-JK. Semakin lama semakin banyak pemberangusan demokrasi, penggusuran kaum miskin kota, penembakan petani, dan pemukulan buruh. Rezim kapitalis, baik dipimpin oleh sipil maupun militer, tetaplah kediktatoran borjuasi. Khususnya dalam masa krisis, kapitalisme akan semakin memperparah penghisapan dan penindasan demi menyelamatkan sistemnya. Maka sekarang semakin terang-benderang betapa salah dan fatalnya kolaborasi kelas yang dilakukan kaum radikal bebas dan kaum revisionis yang dulu menabur ilusi “populisme”, “kerakyatan”, “demokratis”, dan “pro-HAM” ke kubu Jokowi-JK. Karena sekarang sudah semakin tidak ada perbedaan signifikan antara kedua kubu borjuasi ini. Baik rezim militeris ataupun sipilis, selama masih berdiri di atas sistem kapitalisme, maka keduanya tetaplah dua sisi koin yang sama: kediktatoran borjuasi.

Maka disinilah semakin mendesar urgensi untuk menegakkan independensi kelas dan membangun kepeloporan revolusioner. Terkait ini kita harus memahami bahwa kelas buruh sebagai kelas dalam dirinya sendiri (the class in itself) yang tidak memilik alat produksi dan harus menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis untuk bertahan hidup dalam operasi kerja upahan serta berada dalam kesenjangan yang dinormalisir dan dipreduksi melalui ideologi kultural kapitalistis harus bergerak mencapai kelas bagi dirinya sendiri (class for itself). Artinya Pertama, proletariat mencapai kesadaran atas ketertindasan dan keterhisapannya oleh kapitalisme. Kedua, proletariat menyadari kekuatannya sebagai suatu kelas. Ketiga, proletariat mengambil aksi-aksi politik secara kolektif. Ketiga hal inilah yang dimaksudkan sebagai kelas bagi dirinya sendiri dimana proletariat memiliki ptensi revolusioner menjadi kelas penguasa. Ini mensyaratkan indenpensi kelas. Kelas buruh harus membangun kemandiriannya sendiri. Kemandirian ini jelas harus berdasarkan perjuangan kelas bukan kolaborasi kelas. Artinya berbasiskan perjuangan kelas buruh melawan kelas penindas. Bukan kolaborasi kelas dengan bersekutu bersama suatu kubu kelas penindas dan menyubordinasikan atau menundukkan kepentingannya di bawah kubu kelas penindas tersebut, demi melawan kubu kelas penindas lainnya. Kelas buruh harus menjunjung tinggi independensi kelasnya. Dalam perjuangan melawan tirani kelas penindas yang berkuasa tidak sepatutnya ia bersekutu dengan para penindas. Justru sebaliknya kelas buruh harus menggandeng seluruh kaum tertindas, khususnya kaum tani, dan memimpin rakyat untuk menggulingkan tirani. Hal ini menuntut adanya Kepeloporan Revolusioner.

Revolutionary Vanguardism atau Kepeloporan Revolusioner adalah strategi dimana lapisan paling maju dan paling sadar kelas dari kelas buruh membentuk organisasi demi menarik lapisan-lapisan lebih luas dari kelas buruh dan memenangkannya ke politik revolusioner dan menjalankan fungsi perwujudan kekuatan politik proletar melawan musuh-musuh kelasnya. Kepeloporan Revolusioner ini bukan merupakan organisasi yang terpisah dari kelas buruh itu sendiri melainkan suatu bagian organis dari kelas buruh yang sudah mencapai kesadaran sosialis sebagai hasil dari dialektika perjuangan kelas.

Vangardisme Revolusioner, Kepeloporan Revolusioner, Partai (Buruh) Revolusioner, Partai Sosialis, Partai Komunis, atau berbagai nama lainnya, yang pada hakikatnya adalah partai pelopor, memainkan peran kepemimpinan bagi perjuangan kelas terutama dalam revolusi. Dalam Resolusi yang Dirumuskan Marx dan Engels, diadopsi dalam Konferensi Internasional Pertama Pertama di Hague, dinyatakan: “Dalam melawan kekuatan gabungan para kelas penguasa hak milik, kelas buruh tidak bisa bertindak sebagai suatu kelas kecuali dengan menyusun dirinya ke dalam suatu partai politik yang berbeda dan melawan semua partai-partai lama kelas-kelas penguasa hak milik.”

Selain itu Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis menyatakan:

“Oleh karena itu kaum Komunis, pada satu sisi secara praktis adalah seksi yang paling maju dan tegas dari partai-partai kelas buruh di setiap negeri, bagian yang mendorong maju semua bagian lain-lainnya, seksi yang mendorong semua seksi kelas buruh lainnya; dan di sisi lain, secara teoretis mereka mempunyai kelebihan di bandingkan massa besar proletariat dalam bentuk pemahaman tentang garis perjalanan, syarat-syarat, dan hasil-hasil umum terakhir dari gerakan proletar. Tujuan terdekat dari kaum Komunis adalah sama dengan tujuan semua partai proletar lain-lainnya: pembentukan proletariat menjadi suatu kelas, penggulingan kekuasaan borjuasi, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat.”

Mengapa kelas proletar, khususnya melalui kepemimpinan Kepeloporan Revolusioner harus memimpin perjuangan demokrasi? Dalam konteks di Indonesia dan di negara-negara kapitalis terbelakang, ini karena hanya kelas buruh yang paling berkepentingan atas demokrasi dan paling memiliki kekuatan potensi revolusioner untuk mengemban tugas-tugas perjuangan revolusi demokratis nasional. Sebagaimana dikatakan Lenin dalam Dua Taktik Demokrasi Sosial dalam Revolusi Demokratis:

“Singkat kata, agar menghindari dirinya terikat tangannya dalam perjuangan melawan demokrasi borjuis yang inkonsisten, proletariat harus menjadi sadar kelas dan cukup kuat untuk membangkitkan kesadaran revolusioner tani, memandu serangannya, dan oleh karena itu secara independen memperjuangkan garis demokratisme proletarian yang konsisten…Borjuasi akan selalu inkonsisten. Tak ada yang lebih naif dan sia-sia selain upaya merumuskan syarat-syarat dan poin-poin, yang bila dipenuhi, akan memungkinkan kita menganggap bahwa demokrat borjuis adalah teman baik rakyat. Hanya proletariat yang bisa menjadi pejuang demokrasi secara konsisten. Ia bisa menjadi seorang pejuang yang berjaya untuk demokrasi hanya bila massa tani terlibat dalam perjuangan revolusionernya. Bila proletariat tidak cukup kuat untuk ini maka borjuasi akan ada di pucuk revolusi demokratis serta akan menorehkan sifatnya yang inkonsisten dan mementingkan diri sendiri kepadanya. Tak ada selain kediktatoran demokratis revolusioner proletariat dan tani yang bisa mencegah hal ini.”

Hiperaktivisme dan Radikal Bebas, Dua Hambatan ‘Kiri’ dalam Pembentukan Keleporan Revolusioner

Bagaimanapun juga pembentukan Kepeloporan Revolusioner ini menghadapi dua hambatan utama dari sayap ‘kiri’ itu sendiri. Pertama, ada hambatan berupa tendensi hiperaktivisme. Kedua, hambatan berupa tendensi radikal bebas. Sebagaimana kami tulis lewat koran Arah Juang di Tema Utama Edisi Mei-Juni 2016: “Tendens radikal bebas di Indonesia—yang paling kuat direpresentasikan Indoprogress—yang merupakan campuran dari mutasi Stalinisme di Indonesia yang menghendaki kolaborasi kelas dengan borjuasi nasional  ‘progresif’, cenderung ingin bersatu dengan siapa saja bahkan kelompok rasis sekalipun, orientasi intelektual di balik meja yang menjauhi praksis perjuangan kelas, sekaligus penolakan terhadap kewajiban kaum sosialis untuk berdisiplin, berorganisasi, dan berpartai.”

“Sedangkan di sisi lain kita mendapati tendensi hiperaktivisme. Suatu kecenderungan untuk membuntut pada setiap perkembangan gerakan serta menghabiskan semua waktu dan tenaga di lapangan atau bahkan jalanan untuk aksimaupun advokasi. Akibat tindakan hiperaktifnya, mereka menunda, mengabaikan, atau bahkan meninggalkan sepenuhnya tugas-tugas membangun ideologi, edukasi, analisis, dan wacana Marxis secara sistematis. Kecenderungan aktif—bahkan hiperaktif—ini membuat mereka lari dari satu isu ke isu lain, dari satu kampanye ke kampanye lain, sampai habis daya dan upaya. Sehingga tidak ada tenaga tersisa untuk mngkaji Marxisme, membaca, dan mendiskusikan tulisan-tulisan dari Marx sampai Lenin, apalagi menulis, menerbitkan, dan mengedarkan koran revolusioner. Ini seringkali diperparah sikap memonopoli pengetahuan ideologi di kalangan beberapa pimpinan hiperaktivisme yang diiringi dengan tindakan menakut-nakuti anggota-angota yan ingin mempelajari Marxisme. Bacaan-bacaan revolusioner justru dijauhi dan disembunyikan. Padahal Lenin jauh-jauh hari sudah memperingatkan, “tidak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner.”

Problem hiperaktivisme yang melanda gerakan buruh mendorongnya membuntut pada kesadaran massa yang terbelakang. Pastinya dalam situasi sekarang merupakan kesadaran dari mayoritas besar massa. Sedangkan di sisi lain melupakan perannya sebagai pelopor. Termasuk secara umum melupakan tugas-tugasnya untuk menjelaskan kepentingan-kepentingan demokratik dan sosialis dari kelas buruh. Tendensi hiperaktivisme ini pula yang rentan tertarik ikut Aksi Bela Islam yang mampu memobilisasi ratusan ribu orang. Akhirnya menjerumuskan pada kesalahan besar dan bahkan malapetaka bagi gerakan buruh.

Tekanan pada spontanitas (baik yang dilakukan oleh kaum hiperaktivisme maupun kaum radikal bebas) akan menghilangkan peran dan kepemimpinan dari partai revolusioner itu sendiri. Padahal peran dan kepemimpinan yang tidak bisa muncul secara spontan, kepemimpinan partai revolusioner tidak akan secara spontan diterima oleh kelas buruh tentunya. Itu semua harus dibangun sejak sedari awal, sesulit apapun situasinya.

Sebagaimana kami sampaikan dalam tulisan “May Day 2016: Bangkitkan Internasionalisme dan Persatuan Sosialis Revolusioner”: “Kita memahami pentingnya mengorganisir perlawanan terhadap penindasan kapitalisme. Namun kita tidak bisa hanya berkutat pada persoalan yang bersifat membela diri saja. Selama masih ada kapitalisme—apalagi saat krisis, selama itu pula akan terus ada pencurian nilai lebih, perendahan terhadap upah buruh, penaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, perampasan tanah, penggusuran, dan berbagai macam penindasan lainnya. Justru kita harus membangun partai buruh revolusioner, bukan hanya karena itu merupakan memori kolektif perjuangan kelas buruh, bukan hanya karena itu satu-satunya organ yang mampu memberikan kita kesatuan politik dan pemahaman akan tugas yang perlu kita lakukan, namun juga karena itu adalah instrumen ofensif/senjata serang untuk memimpin kelas buruh dalam perjuangan merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme sehingga bisa menghabisi biang kerok dari banyak penindasan dan penghisapan hari ini.”

Lenin mengatakan “berikan kami organisasi revolusioner dan kami akan mengjungkirbalikan Rusia”. Ditengah gelombang naiknya politik rasis kebutuhan itu semakin mendesak.

ditulis oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP

tulisan ini merupakan versi panjang dan diperlengkap dari tulisan yang berjudul sama dan dimuat di Arah Juang versi cetak Edisi 12, I-II Desember 2016.

sambungan dari Menolak Persatuan Gerakan Buruh Dengan Kaum Reaksioner

Loading

Comments (1)

  1. […] bersambung ke Menolak Persatuan Gerakan Buruh Dengan Kaum Reaksioner (Bagian II) […]

Comment here