Tahun ini kita memperingati 77 tahun International Students’ Day (ISD) atau Hari Mahasiswa Internasional. ISD ini merupakan peringatan internasional dalam komunitas mahasiswa yang digelar setiap tahunnya pada tanggal 17 November. Momentum ini berasal dari peringatan bersejarah atas aksi massa yang dikobarkan mahasiswa universitas-universitas di Cekoslovakia menentang fasisme NAZI Jerman. Meskipun perjuangan mahasiswa dalam menentang fasisme itu akhirnya kalah digilas oleh represi dan reaksi tangan besi pasukan NAZI Jerman namun kita harus mewarisi api juangnya, api juang pemuda mahasiswa dalam melawan penindasan.
Sejarah Hari Mahasiswa Internasional
Dari konteks sejarah, Cekoslovakia sebenarnya merupakan negara yang baru meraih pembebasan nasionalnya. Sebelum kemerdekaannya diraih pada tahun 1918, Cekoslovakia sebelumnya merupakan jajahan Kerajaan Austro-Hungaria. Namun dalam kapitalisme global, negara-negara bekas koloni yang secara formal baru merdeka sekalipun akan terus berisiko menjadi mangsa bagi negara-negara kapitalis yang lebih besar, khususnya mangsa bagi negara-negara Imperialis, bilamana mereka tidak mengalami revolusi sosial proletarian, menjadi negara sosialis, dan menggabungkan diri ke dalam federasi negara buruh sosialis. Hal inilah persisnya yang juga menimpa Cekoslovakia yang terancam Imperialisme Fasis di masa-masa menjelang Perang Dunia II. Apalagi saat itu setelah mencaplok Austria, Adolf Hitler yang menjadi diktator rezim Imperialis fasis NAZI Jerman berambisi memperluas daerah kekuasaannya dengan turut mencaplok Cekoslovakia lewat kerjasama dengan antek-antek fasisnya disana. Daerah utara dan barat Cekoslovakia yang dikenal sebagai Sudetenland dicaplok Jerman lewat Perjanjian Munich pada 29 September antara Jerman, Italia, Prancis, dan Britania tanpa melibatkan Cekoslovakia. Perjanjian antar negara Imperialis inilah yang memandatkan agar daerah Sudeten diserahkan ke Jerman. Berikutnya pada 15 Maret 1939 pasukan Wehrmacht Jerman merangsek masuk ke seluruh sisa penjuru Cekoslovakia dengan tanpa perlawanan dari rezim pemerintahan borjuis Cekoslovakia. Peristiwa ini dari awal menunjukkan bahwa kaum Imperialis punya lebih banyak persamaan di antara mereka daripada dengan rakyat pekerja. Kaum Imperialis dengan senang hati bersekongkol membagi-bagi dunia ke dalam jatah-jatah kue-kue koloni di antara mereka agar para penjajah ini tidak saling berebut jajahan. Kemerdekaan dan hak-hak rakyat yang dijajah bagi mereka adalah perkara remeh yang bisa dikesampingkan. Oleh karena itu persekongkolan kapitalis dan kapitulasi ini membuat banyak rakyat dan prajurit Cekoslovakia yang sebenarnya siap bertempur melawan fasisme menjadi murka. Apalagi waktu itu Uni Soviet sebenarnya sudah menyatakan siap membantu pertempuran melawan kaum fasis.
Maka selanjutnya kaum pemuda, pelajar dan mahasiswa Cekoslovakia yang menolak penjajahan oleh NAZI Jerman serta muak terhadap kepengecutan elit pemerintahnya memutuskan menggelar demonstrasi anti fasisme pada 28 Oktober 1939. Unjuk rasa ini digelar bertepatan dengan hari kemerdekaan Cekoslovakia. Kalap melihat itu, para pejabat penguasa NAZI di Protektorat Bohemia dan Moravia meresponnya dengan menerapkan represi habis-habisan terhadap demonstrasi yang digelar oleh para mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Charles ini. Vaclac Sedlacek, buruh roti sekaligus anggota Serikat Nasional Pemuda Sokol, mati akibat ditembak pas di jantungnya. Kemudian Jan Opletal, demonstran dari Fakultas kedokteran, kena tembak di perut dan gugur tanggal 11 November. Banyak simpatisan kemudian membanjiri prosesi pemakaman Jan Opletal tanggal 15 November. Prosesi pemakaman ini kemudian berevolusi menjadi aksi massa. Rezim fasis NAZI kemudian kalap dan memerintahkan penutupan kampus di Ceko. Lebih dari 1.200 pelajar dan mahasiswa ditangkap dan dikirim ke kamp-kamp konsentrasi. Sembilan mahasiswa dan pengajar dihukum mati tanpa pengadilan pada 17 November. Mereka adalah Josef Matoušek, Jaroslav Klíma, Jan Weinert, Josef Adamec, Jan Černý, Marek Frauwirt, Bedřich Koukala, Václav Šafránek, dan František Skorkovský.
Josef Matoušek adalah seorang dosen sejarah yang mengurusi pemakaman Opletal. Kemudian Jaroslav Klima merupakan mahasiswa Fakultas Hukum sekaligus Ketua Asosiasi Mahasiswa Nasional Ceko di Bohemia dan Moravia. Berikutnya Jan Weinert adalah mahasiswa Bohemistik dan Jermanistik. Selanjutnya Jan Černý adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran. Klima, Weinert, dan Černý, ketiganya adalah para aktivis yang menuntut pembebasan para mahasiswa yang ditangkap Gestapo pada pemakaman Opletal. Lalu ada Josef Adamec, seorang mahasiswa Fakultas Hukum sekaligus Sekretaris Asosiasi Mahasiswa Nasional Ceko di Bohemia dan Moravia. Berikutnya Marek Frauwirth, yaitu mahasiswa Fakultas Ekonomi sekaligus seorang pekerja di kedutaan Slovakia di Praha yang diam-diam membuat paspor palsu bagi orang-orang Yahudi yang ingin melarikan diri dari persekusi NAZI. Lantas ada Bedřich Koula, seorang mahasiswa hukum yang menjabat saat itu sebagai Sekretaris Asosiasi Mahasiswa Nasional Ceko di Bohemia. Terus ada Václav Šafránek, mahasiswa Arsitektur sekaligus Pengurus Arsip Asosiasi Mahasiswa Nasional Ceko di Bohemia dan Moravia. František Skorkovský, seorang ahasiswa Fakultas Hukum sekaligus Direktur Komite Konfederasi Pelajar Mahasiswa Internasional dan Ketua Departemen Luar Negeri Asosiasi Mahasiswa Nasional Ceko di Bohemia dan Moravia. Mereka semua dieksekusi mati oleh rezim Imperialis Fasis NAZI.
Peristiwa ini yang kemudian membuat 17 November dijadikan sebagai momentum peringatan International Students’ Day (ISM) atau Hari Pelajar Mahasiswa Internasional. Peringatan ini pertama kali digelar oleh Dewan Pelajar Mahasiswa Internasional di London, Inggris, pada tahun 1941 yang saat itu banyak memiliki anggota berupa para pengungsi. Tradisi ini kemudian diteruskan oleh Serikat Mahasiswa Internasional bersama dengan Serikat-serikat Mahasiswa Nasional di Eropa.
Pasca kekalahan dan jatuhnya rezim-rezim fasis NAZI dalam Perang Dunia II, Cekoslovakia masuk ke dalam Blok Timur yang berada di bawah pengaruh kuat dominasi Uni Soviet. Namun meskipun secara formal mengaku sebagai negara sosialis, sebenarnya kelas buruh tidak berkuasa secara langsung baik di Uni Soviet maupun di Cekoslovakia dan di negara-negara Blok Timur lainnya. Tidak ada demokrasi buruh, seperti yang muncul di Komune Paris dan Revolusi Oktober dimana buruh dan rakyat pekerja bisa memilih sendiri wakil-wakilnya, yang digaji tidak lebih dari upah buruh terampil, dan bisa ditarik kembali diganti (recall) sewaktu-waktu. Apa yang ada sesungguhnya adalah kediktatoran kaum birokrat dengan mengatasnamakan (dan menyalahgunakan) ajaran Sosialisme. Oleh karenanya dalam sejarah kita menemukan Revolusi Buruh juga meletus dan berkobar di negara-negara yang mengaku ‘Sosialis’ tadi. Misalnya Revolusi Buruh di Hungaria pada tahun 1956 dan Revolusi Polandia tahun 1980.
Pergolakan melawan kediktatoran birokrat juga dikobarkan oleh pemuda mahasiswa di Cekoslovakia. Serikat Pemuda Sosialis (SSM/SZM) menggelar aksi massa dengan memanfaatkan momentum ISD 1989 untuk menentang rezim kediktatoran birokrat revisionis. Lebih dari 15.000 orang hadir dan berpartisipasi dalam peringatan ISD ke-50 itu. Namun aparat polisi huru hara, baret merah, dan pasukan-pasukan lain dari badan hukum Cekoslovakia merespon aksi ini dengan tangan besi. Jatuhlah banyak korban jiwa di kubu pemuda mahasiswa. Baik korban luka-luka maupun meninggal dunia. Pemuda mahasiswa dan para pekerja teater Cekoslovakia kemudian meresponnya dengan mengobarkan aksi gabungan. Rezim kediktatoran birokrat akhirnya ambruk namun sayangnya di tengah ketiadaan perspektif yang jelas dan kepeloporan revolusioner kelas buruh, gerakan ini tidak mampu mengantarkan rakyat pekerja berdaulat dan berkuasa. Sebaliknya malah berakhir memberi ruang bagi restorasi kapitalisme.
Perjuangan pemuda mahasiswa dalam momentum ISD juga memiliki sejarah revolusionernya di Yunani. Tahun 1973, pemuda mahasiswa Yunani mengobarkan perlawanan menentang Junta Militer Yunani. Aksi ini dipimpin oleh para mahasiswa Politeknik Athena. Mereka mengobarkan aksi massa yang digabungkan dengan pemogokan dan pendudukan di kampus Politeknik Athena pada 14 November. Setelah mendirikan barikade untuk membentengi diri dan membangun stasiun radio dari peralatan yang bisa mereka temukan di laboratorium, para mahasiswa memulai siaran yang disiarkan ke seluruh penjuru Athena. Siaran radio mereka memuat propaganda-propaganda dan seruan-seruan pro demokratis untuk melawan Junta Militer yang berkuasa. Ini kemudian memicu ribuan mahasiswa lainnya turut bersimpati dan berpatisipasi dalam aksi anti militerisme. Rezim Junta Militer yang terancam kepentingannya oleh aksi massa pemuda mahasiswa ini kemudian pada dini hari 17 November mengerahkan tank-tank dan pasukan tentara untuk menyerbu kampus.
Restorasi kapitalisme bahkan juga bangkitnya penindasan neoliberalisme demi kepentingan Imperialisme di berbagai negara juga memberikan banyak pukulan mundur pada gerakan pelajar dan mahasiswa kerakyatan. Selama bertahun-tahun peringatan ISD dilakukan secara terpisah-pisah dan tanpa terkoordinasi. Barulah pada tahun 2004, beberapa serikat pelajar mahasiswa internasional seperti OCLAE dan serikat-serikat pelajar mahasiswa nasional seperti Unione degli Studenti yang merupakan serikat mahasiswa anti-fasis kemudian memutuskan meluncurkan kembali peringatan ISM sebagai suatu gerakan pelajar mahasiswa internasional. Tentu saja penting untuk menggarisbawahi bahwa gerakan pelajar mahasiswa yang harus dibangun haruslah berwatak kerakyatan sekaligus melawan komersialisasi pendidikan, melawan Imperialisme, Kapitalisme, Fasisme, dan penindasan dalam apapun bentuknya.
Ada banyak alasan bagi kita untuk menguraikan tugas-tugas kaum mahasiswa dalam situasi saat ini. Oleh karena ia menjadi satu bagian dari sebuah masyarakat. Kaum mahasiswa perlu menyadari arti penting tugas-tugasnya, karena demikianlah juga tugas setiap manusia dalam berbagai dimensinya. Lebih lanjut, ia memiliki kelebihan pengetahuan dan waktu yang cukup untuk menunjukan bukti-bukti ilmiah bagi perkembangan sebuah masyarakat. Penting baginya agar meletakkan seluruh aktivitas berlajarnya, problem-problem pengetahuan dan segenap cita-citanya yang mulia dalam kesatupaduan dengan soal-soal sosial masyarakat yang sedang bergerak. Karena semua ketulusan yang dimiliki hanya akan jatuh dalam jurang subjektivisme, tidak ilmiah dan keliru apabila tidak berakar di dalam kebutuhan masyarakat secara sosial.
Perlu disadari bahwa masyarakat kita tengah bergerak, sekalipun berkembang dalam alur yang semakin tidak menentu. Dan ini sebagai akibat dari ekonomi politik kapitalisme yang membelenggu kemajuan masyarakat. Kita menyaksikan bagaiman neoliberalisme masuk kedalam dunia akademik di indonesia dan memperkuat institusi pendidikan sebagai ladang akumulasi modal. Inilah yang menyebabkan naiknya biaya kuliah serta berbagai biaya tambahan lainnya, menjamurnya pendidikan non reguler (di luar S1 reguler), dan maraknya pemberangusan demokrasi di dalam kampus. Terdapat juga ladang-ladang bisnis yang lainnya seperti lembaga penelitian ataupun jasa konsultasi, ladang bsinis tersebut terutama menguntungkan bagi para intelektual kampus yang memiliki jaringan luas. Proses liberalisasi pendidikan juga telah membuat membludaknya jumlah perguruan tinggi dan para mahasiswa. Pola-pola ‘liberalisasi’ sangat khas menjadikan institusi pendidikan otonom, menanamkan logika kompetisi (persaingan), dan merubah peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Kita menyaksikan bagaimana sistem kerja outsourcing, Honorer yang upah dan jaminan kerjanya jauh dari layak terjadi di kampus. Demikianlah para buruh outsourcing menerima pemotongan upah, buruh kampus bahkan dosen banyak yang menerima upah yang jauh dari upah minimum, bahkan secara esensial pendapatan mereka jauh lebih sedikit dari nilai lebih yang mereka produksi. Belum juga banyaknya di antara mereka yang tidak menikmati jaminan sosial seperti kesehatan, kecelakaan kerja ataupun tunjangan hari tua.
Lebih lanjut, kepentingan atas kebutuhan tenaga kerja terlatih yang dapat digaji dengan upah yang murah, mendorong dibangunnya lebih banyak lagi Perguruan Tinggi (PT). Sampai pada tanggal 1 September 2016, terdapat 4.312 perguruan tinggi telah terbangun di indonesia yang terdiri dari 3.940 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan 372 Perguruan Tinggi Negeri (PTN)[1]. Sedangkan jumlah mahasiswanya ada 2.121.314 laki laki dan 2.304.275 perempuan. ini artinya jumlah perguruan tinggi seluruh indonesia 4.093 dengan jumlah mahasiswa 4,425,589, sangat tidak sebanding dengan lowongan perkerjaan yang tersedia di indonesia. Laporan Understanding Children Work (UCW)[2] menyebutkan satu dari lima pemuda indonesia tidak bersekolah/bekerja, dan satu dari tiga pekerja muda indonesia hanya memiliki pendidikan dasar. Jika kita melihat lebih jauh, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di indonesia pada tahun 2016 sebanyak 7,02 juta orang[3]. Tingginya angka pengangguran adalah salah satu upaya kapitalisme (pasar dunia) agar mendapatkan tenaga kerja murah dalam proses akumulasi modal.
Penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) semakin menunjukkan bahwa rezim yang berkuasa telah secara nyata menghilangkan tanggung jawab Negara terhadap pendidikan. Penetapan regulasi tersebut mengilusi masyarakat dengan dalil-dalil moralis, bahwa mahasiswa yang kaya membantu pembiayaan mahasiswa yang kondisi perekonomiannya kurang mampu (miskin) atau biasa di sebut subsidi silang. Padahal negara seharusnya memiliki tanggung jawab penuh terhadap seluruh masyarakat dalam ranah pendidikan. Selanjutnya, ada pula persoalan fasilitas kampus, kapasitas dosen yang tidak menunjang, dan waktu kuliah yang padat serta penerapan Sistem Kredit Semester (SKS) yang menjadikan mahasiswa sebagai objek di dunia pendidikan oleh birokrasi kampus. Mahasiswa di tuntut agar lebih fokus untuk menyelesaikan pendidikannya, dengan berlomba lomba mendapatkan IPK (indeks prestasi kumulatif) yang tinggi, sehingga membatasi ekspresinya dari persoalan di luar kampus (politik, sosial, budaya, dan sebagainya). Dampak lain yang di timbulkan dari proses tersebut membuat mahasiswa memisahkan diri dari sektor rakyat lainnya (buruh, petani, dan lainnya). Ini semakin membuktikan bahwa pendidikan dalam dunia kapitalisme, hanya menjadikan mahasiswa (peserta didik) sebagai calon tenaga kerja murah.
Dengan demikian, seluruh aktivitas pendidikan yang sejati perlu diarahkan pada usaha penguraian seluruh persoalan yang menghinggapi masyarakat dan perkembangannya. Sebuah aktivitas yang ilmiah sudah semestinya menampung segenap soal kemasyarakatan dengan ragam dinamikanya ini. Termasuk di dalamnya adalah seluruh problem masyarakat demokrasi yang hendak dibangun. Kita mengetahui dengan baik bagaimana kenyataan demokrasi di republik ini. Situasi ekonomi dan politik bahakan hanya menjadikan masyarakat sebagai masyarakat tanpa cita-cita politik. Demikianlah, saat ini kapitalisme sebagai alas ekonomi politik masyarakat modern. Juga Indonesia, sebuah negara berkembang dengan jumlah penduduk terbanyak dan kekayaan alam yang berlimpah. Ini akan menjadi modal bagi perkembangan industri modern dalam kepentingan ekonomi politik kapitalisme. Kita menentang sistem ekonomi-politik ini, karena kesenjangan sosial dan penumpukan kekayaan alam hanya untuk segolongan kelas penguasa dan pengusaha yang juga berakibat pada pengerusakan terhadap sumber daya lingkungan hidup. Oleh karenanya kita harus melawan komersialisasi pendidikan yang diakibatkan oleh kapitalisme itu sendiri.
Pendidikan Apa yang Harus Kita Perjuangkan?
Sebagai ganti dari komersialisasi pendidikan alias pendidikan kapitalistis yang keilmiahannya parsial atau seringkali semu bahkan juga tidak jarang tidak ilmiah, tidak demokratis, bahkan menghamba pada modal, kita harus memperjuangkan sistem pendidikan alternatif. Kita harus memperjuangkan pendidikan bagi rakyat. Pendidikan bagi rakyat jelas secara diametrikal bertentangan dengan konsepsi pendidikan yang melestarikan penindasan dan menghamba pada tirani modal. Pendidikan bagi rakyat harus merupakan sistem pendidikan nasional yang ilmiah, profesional, demokratis, dan kerakyatan. Apa artinya?
Pertama, sistem pendidikan nasional yang ilmiah berarti berorientasi menyebarluaskan, menanamkan, dan mendorong kemajuan ilmu pengetahuan atau sains. Dengan demikian mampu meningkatkan pemikiran dan kehidupan rakyat Indonesia. Keilmiahan ini juga bermanfaat untuk membebaskan rakyat dari belenggu takhayul, mistik, patronase, dan dogmatisme, serta menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan rakyat. Kedua, sistem pendidikan nasional yang profesional berarti pendidikan didasari dengan keahlian dan kecakapan yang diselenggarakan secara bertanggungjawab. Bebas dari sentimen subjektif emosional, kolusi, oligarki kekuasaan (koncoisme), dan segala bentuk penyalahgunaan wewenang lainnya. Ketiga, sistem pendidikan nasional yang demokratis berarti bahwa pendidikan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Artinya bukan hanya gratis dan bisa dijangkau atau aksesibel tapi juga menjamin terpenuhinya segenap hak-hak demokratisnya dalam pendidikan. Hak-hak demokratis dalam pendidikan itu setidaknya harus mengandung sifat-sifat partisipatif, egaliter, adil, dan manusiawi.
- Partisipatif berarti bahwa rakyat memiliki akses penuh untuk berpatisipasi dalam bidang pendidikan. Tidak hanya dalam mengenyam pendidikan namun juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan dan pengevaluasiannya. Dus, rakyat tidak sekadar menjadi objek namun juga subjek atau pelaku pendidikan.
- Egaliter berarti bahwa rakyat, baik peserta didik (siswa dan mahasiswa) pada khususnya dan orang tua/wali peserta didik, pendidik, dan pekerja di area institusi pendidikan ditempatkan dalam posisi setara dalam bidang pendidikan. Bukan hanya kesetaraan para aktornya namun juga kesetaraan sebagai cita-cita perjuangan. Termasuk disini adalah kesetaraan gender, artinya pembebasan kaum perempuan dari seksisme. Kemudian juga kesetaraan hak, yaitu penghapusan diskriminasi terhadap kaum Lesbian Gay Biseksual Transgender dan Interseks (LGBTI). Termasuk juga bentuk-bentuk kesetaraan lainnya, seperti kesetaraan ras, etnis, dan suku bangsa.
- Adil berarti bahwa semua kebijakan dalam bidang pendidikan dibuat dan dijalankan dengan keberpihakan dan sesuai kepentingan rakyat banyak. Khususnya kepentingan kelas buruh dan rakyat pekerja.
- Manusiawi berarti pendidikan menghargai dan memperjuangkan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Bebas dari kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal, serta bebas dari segala bentuk perploncoan yang merupakan warisan rasisme dari kolonialisme Hindia Belanda. Sekaligus bebas dari penggencetan atau bullying yang merupakan buah dari ketimpangan dan penyalahgunaan kuasa akibat masyarakat kelas.
Keempat, sistem pendidikan nasional yang kerakyatan berarti pendidikan diarahkan sepenuhnya untuk membangun kedaulatan rakyat dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan rakyat.
- Membangun kedaulatan rakyat berarti pendidikan bertujuan membantu perjuangan agar rakyat berdaulat, merdeka dari Imperialisme, bebas dari belenggu tirani modal, kabut sisa-sisa budaya feodalisme, serta kekejaman imperialisme. Untuk itu pendidikan harus diarahkan untuk membangun industri dasar nasional yang kuat (lepas dari ketergantungan alat produksi imperialis) dimana pengelolaannya ada di bawah kontrol buruh dan rakyat pekerja dan dengan diiringi program mewujudkan kesejahteraan rakyat.
- Menyelesaikan permasalahan-permasalahan rakyat berarti semua bidang/cabang ilmu pengetahuan harus diorientasikan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan rakyat. Dengan demikian tidak lagi mengabdi pada kepentingan imperialisme dan tidak lagi menjadi pabrik pencetak intelektual maupun tenaga kerja pendukung rezim dan sistem penindas.
Terakhir, kesemua sifat tersebut harus dirangkum dalam suatu sistem pendidikan nasional. Sistem Pendidikan berarti semua kebijakan, skema, metode, prosedur, dan lain-lain haruslah terstruktur dan terorganisir secara rapi. Sedangkan Nasional berarti bahwa penyelenggaraannya merupakan tanggung jawab negara dan harus dilaksanakan di semua daerah di Indonesia.
Tentu saja perlu kita sadari sepenuhnya bahwa perjuangan untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang ilmiah, profesional, demokratis, dan kerakyatan demikian bukanlah tugas semudah membalikkan telapak tangan. Sebaliknya perjuangan itu akan menemui kesulitan besar dan penentangan hebat. Karena hal itu berarti melawan penindasan imperialisme dan rezim borjuasi yang berkuasa di Indonesia. Dus, sistem pendidikan nasional yang kita perjuangkan hanya akan bisa menang dan terwujudkan melalui pendirian negara buruh sosialis yang hanya bisa berdiri dengan penumbangan negara borjuis dan sistem kapitalismenya.
Oleh karena itu untuk menumbangkannya kita perlu menyelesaikan masalah dalam gerakan mahasiswa yang belakangan terjangkit penyakit sektarianisme. Kita di hadapkan dengan situasi dimana dominasi mahasiswa masih mengurung pengetahuannya di dalam kelas berikut dengan doktrin teori untung rugi para dosen yang tak boleh di bantah. Berlomba-lomba mendapatkan IPK tertinggi tanpa pernah bersentuhan langsung dengan realitas. Alhasil, IPK tinggi tersebut, tidak sama sekali berarti bagi kesehari-hariannya bersama lingkungan masyarakat. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan gerakan mahasiswa yang menghilangkan peran gerakan kelas buruh dan rakyat dalam perubahan sejarah. Baru-baru ini kita melihat gelombang gerakan mahasiswa dalam menolak mahalnya biaya pendidikan terjadi di berbagai kampus di indonesia. Mulai dari Aksi yang di gelar oleh Universitas Gajah Mada (UGM) yang mampu menggerakkan sebanyak 8.000 mahaisiswa, begitupun di kampus kampus lainnya seperti, Universitas Soedirman, Universitas Hasanuddin (UNHAS), Universitas Mulawarman (UNMUL), Universitas Veteran, Universitas Sumatara Utara (USU). Namun penyakit sektarianisme yang menghinggapi mahasiswa membuat gerakannya tidak mampu melihat permasalahan pendidikan sebagai bagian dari masalah yang diakibatkan kapitalisme. Hal tersebut mengakibatkan gerakan mahasiswa yang berkembang justru menekankan individualisme absolut, menolak adanya kemampuan untuk mendapatkan kebenaran objektif.
Ada juga kelompok mahasiswa, yang menganggap bahwa para elit politik borjuislah yang bisa melakukan perubahan. Perlawanan yang muncul seringkali berada dalam kerangka liberal. Seperti yang juga kita saksikan sebelumnya, pada tanggal 20 mei 2015, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menuntut agar Jokowi-JK turun dari jabatannya, selang beberapa hari setelahnya tuntutan berubah menjadi “mengawal kebijakan Jokowi-JK”. Padahal jelas jelas rakyat (termasuk mereka sendiri) tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam proses penyusunan program Jokowi-JK. Lalu aksi aliansi mahasiswa cipayung plus dalam beberapa bulan terakhir, yang mengevaluasi dua tahun kepemimpinan jokowi. Mereka meneriakan berbagai selogan seperti “rakyat semakin tertindas”, sumpah serapah, Jokowi tidak becus dan sebagainya, tetapi di lain hal malah menuntut agar Jokowi-JK agar lebih serius dalam melihat persoalan rakyat. Masih terdapat harapan bahwa di tangan Presiden yang dipilih dari demokrasi borjuis dan berwatak kelas kapitalis, kesejahteraan rakyat dapat dicapai. Inilah akibat dari gerakan mahasiswa yang memuja kebebasan di tengah masyarakat berkelas. Menganggap bahwa negara akan berlaku adil pada rakyat tanpa menyadari bahwa negara adalah milik keas berkuasa (baca: Borjuasi) dan sudah pasti tidak akan berpihak pada rakyat tertindas. Mereka seolah-olah memberikan perlawanan namun pada akhirnya menitipkan nasibnya pada elit politik.
Di tengah kesadaran massa rakyat tertindas, dan dibawah hegemoni badai propaganda ideologi Kapitalisme yang mengilusi kesadaran massa, hingga ke sum-sum tulangnya. Propaganda lewat media massa borjuis yang mereka miliki melalui film, tayangan-tayangan mistik dan lewat penjaga ideologi mereka yang berada dalam alat Negara, misalnya lembaga pendidikan dan lain-lain seolah-olah membenarkan keberadaan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang ada dan baik bagi kelas pekerja dan mengkaburkan penindasan kelas kapitalis terhadap massa rakyat. Membenarkan segala bentuk penindasan kelas borjuis terhadap kaum tani dan kelas proletar berupa perampasan tanah, sistem kerja upahan kontrak dan outsourcing, pendidikan mahal dimana rakyat juga harus berpartisipasi dalam pendanaan pendidikan dan Negara perlahan-lahan melepaskan tanggung jawab terhadap pendidikan. Kesimpulannya bukan hanya hanya pelajar, pemuda, mahasiswa yang ditindas komersialisasi pendidikan. Namun juga kelas buruh dan rakyat pekerja.
Urgensi Persatuan Buruh dan Mahasiswa Melawan Kapitalisme dan Komersialisasi Pendidikan
Oleh karena itu, mahasiswa bersama dengan dosen-dosen yang mendapatkan upah murah, satpam, sampai petugas kebersihan yang masih ditindas dengan sistem kerja kontrak, outsourcing haruslah mengambil alih kekuasaan di kampus dan merebut demokrasi sejati. Kemudian membentuk badan-badan atau organisasi yang menghimpun seluruh kekuatan mereka dan memiliki posisi yang sejajar dengan kampus. Seluruh kebijakan kampus dari kurikulum, jaminan kesejahteraan, pergantian birokrasi, kampus, dan sebagainya harus di putuskan bersama mereka. [4] Namun, kekuasaan politik di kampus seperti itu, adalah mustahil dicapai dalam situasi dimana kekuasaan alat-alat produksi, politik, ekonomi, dan media massa masih di tangan segelintir borjuis.
Seperti yang kita ketahui bahwa, kelas borjuis tidak akan dengan mudah menyerahkan kekuasaannya kepada massa rakyat. Akan selalu ada upaya yang di lakukan oleh kelas borjuis mulai dari intimidasi, kriminalisasi, sampai represi untuk merebut kemenangan yang telah di raih oleh rakyat. rakyat juga selalu di kaburkan dari musuh utamanya dengan menggunakan berbagai macam cara seperti rasisme, seksisme, serta fasisme untuk memecah belah gerakan rakyat. Termasuk juga istilah organisasi ekstra intra di dalam gerakan mahasiswa. Perlu disadari bahwa penindasan yang diakibatkan kapitalisme, tidaklah memandang darimana agamanya, jenis kelaminnya, negaranya, sukunya, rasnya, bagi kelas borjuis, yang penting adalah keuntungannya terus bertambah. Oleh karena itu, persatuan antara gerakan mahasiswa dengan rakyat tertindas lainnya harus segera di bangun dengan lintas identitas suku, agama, ras, dan golongan lainnya, dengan dibangun di atas basis anti-kapitalisme.
Kapitalisme dalam perkembangannya telah mendorong antagonisme tajam antara kelas pekerja (kelas yang tidak memiliki apapun untuk bertahan hidup selain menjual tenaga kerjanya) dengan kelas borjuis (individu yang mengklaim monopolinya atas alat alat produksi dan mengatur kehidupan mayoritas manusia lainnya). Lebih lanjut, kelas borjuis mendapatkan keuntungan dari hasil menghisap tenaga dan waktu kaum buruh. Demikianlah kelas buruh dipaksa mencurahkan waktunya untuk menambah pundi-pundi kekayaan kelas borjuis. Sehingga, hampir tidak ada waktu bagi kaum buruh untuk belajar dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Mahasiswa dalam segala waktu yang ia gunakan untuk belajar dan berdiskusi, harus melibatkan diri dan ikut serta berjuang bersama gerakan buruh dan rakyat tertindas lainnya.
Revolutionary Vanguardism atau Kepeloporan Revolusioner Juga Harus Dibangun di Kampus
Namun kita harus menyadari bahwa mahasiswa dan para pekerja di pendidikan (baik para pengajar seperti guru dan dosen maupun buruh di instansi pendidikan seperti pekerja administrasi, pekerja kebersihan, pekerja keamanan, pekerja peralatan, pekerja katering, dan sebagainya) memiliki kesadaran yang beraneka ragam. Ada pekerja yang punya kesadaran maju, sadar kelas, bahkan kritis. Ada yang kesadarannya menengah. Namun ada juga yang kesadarannya terbelakang. Begitu pula mahasiswa. Bahkan karena mahasiswa datang dari latar belakang kelas yang beraneka ragam, ada mahasiswa dari keluarga kelas pekerja, orang tuanya guru, orang tuanya pekerja kantoran, hingga orang tuanya buruh toko, dan lainnya, bahkan ada mahasiswa yang terpaksa menjalankan kerja sambilan. Ada mahasiswa dari keluarga petani. Ada mahasiswa dari keluarga lebih mapan, anak pengacara, anak dokter, dan sebagainya. Serta ada pula mahasiswa dari latar belakang kelas penguasa, anak pejabat, anak konglomerat, dan sebagainya. Sebagai golongan non-kelas demikian, otomatis kesadaran mahasiswa juga beraneka ragam. Dari yang kritis, naif, semu, bahkan palsu dan reaksioner. Bahkan sebagai tambahan di satu sisi ada mahasiswa yang ingin lekas mentas dari kelas rendahnya namun di sisi lain ada pula mahasiswa dari kelas tinggi yang bersimpati bahkan bisa mendukung perjuangan kelas buruh dan rakyat pekerja.
Oleh karena itu perjuangan buruh dan mahasiswa dalam melawan kapitalisme serta komersialisasi pendidikan tidak cukup hanya berupa pengorganisiran organisasi-organisasi massa, seperti serikat-serikat bagi kelas buruh, termasuk buruh di dunia pendidikan di Indonesia yang saat ini tingkat (ber)serikatnya masih sangat minim bahkan mendekati nol bila dibandingkan dengan Australia, Britania, dan Amerika. Perjuangan buruh dan mahasiswa juga perlu mengorganisir Revolutionary Vanguardism atau Kepeloporan Revolusioner. Dengan kata lain, pengorganisiran lapisan-lapisan paling maju, paling sadar kelas, dari kelas buruh ke dalam organisasi politik revolusioner demi menarik lapisan-lapisan yang lebih luas untuk dimenangkan ke politik revolusioner sekaligus sebagai perwujudan kekuatan politik proletarian melawan musuh-musuh kelasnya. Organisasi politik revolusioner ini bukan suatu entitas terpisah dari kelas buruh melainkan merupakan bagian organik dari kelas buruh yang mencapai kesadaran sosialis berkat dialektika perjuangan kelas dan edukasi teori-teori revolusioner.
Tentu saja walaupun menempatkan kelas buruh sebagai posisi dominan dan memimpin di jantung hati Kepeloporan Revolusioner ini, organisasi politik revolusioner, atau partai buruh revolusioner atau partai sosialis ini, tidak menutup keanggotaan kepada kelompok di luar kelas buruh, artinya juga membuka keanggotaannya kepada pemuda dan mahasiswa. Pemuda, baik pemuda buruh maupun pemuda mahasiswa, menduduki posisi penting dalam perjuangan kelas. Apalagi perjuangan kelas itu juga menyertakan elemen-elemen non-proletar (termasuk pemuda mahasiswa) yang bersepakat, bergabung, dan berpartisipasi dalam perjuangan melawan kapitalisme untuk mendirikan sosialisme. (Meskipun tetap harus digarisbawahi bahwa yang paling berkepentingan dalam penghapusan kapitalisme adalah kelas buruh. Bukan tani yang kepentingan pokoknya adalah tanah maupun mahasiswa yang kepentingan pokoknya adalah pendidikan). Apalagi sebagai golongan sosial non-kelas, mahasiswa saat lulus nanti tidak mungkin semuanya naik kelas menjadi kelas penguasa. Tidak ada cukup ‘lowongan’ dan tempat di kursi penguasa bagi puluhan juta sarjana. Artinya banyak dari mahasiswa atau sarjana ini nantinya juga akan terlempar masuk ke kelas buruh. Walaupun buruh kantoran atau pekerja kerah putih, bukan buruh pabrik atau pekerja kerah biru.
Lewat dan bersama Revolutionary Vanguardism, mahasiswa bukan hanya berkeharusan untuk selalu berada di garis massa dan garis kelas berjuang bersama dengan massa dan kelas tertindas dalam perjuangan kelas mereka untuk menghapuskan penindasan. Mahasiswa bukan hanya berkewajiban ikut serta dalam perjuangan rakyat atas persoalan dan tuntutannnya sehari-hari (pengorganisiran perlawanan), membangun organisasi perjuangan mereka (pembangunan organisasi massa). Namun juga harus menyikapi semua bentuk penindasan, termasuk penindasan di dunia pendidikan, serta menjelaskan persoalan rakyat demikian dengan menghubungkannya pada akar masalah, yakni sistem kapitalisme; mendorong kesadaran kelas tertindas khususnya kaum buruh (sebagai satu-satunya kelas yang paling berkepentingan terhadap revolusi) untuk mencapai kesimpulan revolusionernya yaitu perlunya penumbangan tirani kapitalisme, dan perebutan kekuasaan ke tangan kelas buruh, serta pendirian sosialisme. Merebut demokrasi seutuh-utuhnya dan membangun masyarakat adil makmur di seluruh dunia: Masyarakat Sosialisme.
ditulis oleh Dipta Abimana, Kader KPO PRP
tulisan ini merupakan versi lebih panjang dari tulisan dengan judul yang sama di Arah Juang edisi 11
[1] Kementrian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan tinggi, Jumlah Perguruan Tinggi di indonesia per 01 september 2016 http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/statistik-5/, di akses tanggal 11 November 2016
[2] Understanding Children Work (UCW) merupakan sebuah program kemitraan antara Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) UNICEF dan Bank Dunia
[3] BPS : Pengangguran Terbuka di Indonesia Capai 7,02 Juta Orang, https//m.tempo.co/read/news/2016/05/04/173768481/bps-pengangguran-terbukadi-indonesia-capai-7-20-juta-orang, di akses tanggal 11 November 2016
[4] Nelsen D, Siapa Membunuh Demokrasi Di Kampus?, Koran Arah Juang edisi mei-juni 2016
[…] 77TH ISD 2016 : Mahasiswa dan Buruh Bersatulah Lawan Kapitalisme dan Komersialisasi Pendidikan. http://www.arahjuang.com/2016/11/16/77th-isd-2016-mahasiswa-dan-buruh-bersatulah-lawan-kapitalisme-d…, di akses tanggal 25 November […]